Cari

Tortor Dan Gondang Sebagai Isyarat Kesetaraan Dan Kebersamaan Dalam Adat Batak

Posted 24-06-2016 13:33  » Team Tobatabo

Ada hal menarik dari temu diskusi kecil dalam satu acara informal kampus Univ HKBP Nommensen baru-baru ini, ketika budayawan ahli budaya Batak (Batakolog) Manguji Nababan SS berbincang dengan sejumlah rekannya, antara lain Ir Parlin Manihuruk dan Mangaliat Simarmata SH, tentang kondisi dan prediksi budaya Batak sekarang ini, khususnya menjelang hari atau masa 109 tahun wafatnya Raja Sisinga Mangaraja XII, pada 17 Juni pekan depan.

Salah satu topik bahasannya adalah tentang tetarian atau Tor-tor dalam salah satu elemen kesenian Batak, khususnya yang kebetulan tertulis dalam bukum historis karangan Walter Bonar Sidjabat (alm) yang berjudul: Ahu Sisingamangaraja.

"Setidaknya ada dua nilai positif yang bisa kita peroleh atau kita pelajari dan wujudkan dari tradisi tarian khas Batak yang dikenal dengan Tor-tor itu. Pertama, tarian khas Batak itu punya misi dan makna khusus bahwa sesungguhnya orang Batak dulunya bisa dan harus kompak satu langgam irama dan satu langkah atau sahata jala saroha, sebagaimana diingatkan penulis Batak Walter Bonar Sidjabat dalam bukunya Ahu Sisingamangaraja. Kedua, melalui tetarian Batak itu juga sebenarnya kita bisa menjajaki potensi atau status untuk mengetahui siapa sebenarnya pihak yang harus disembah atau di-somba dalam arti menghormati, dan pihak siapa yang harus dibantu atau didampingi dan disayangi. Secara umum, rahasia adat dan budaya Batak itu sesungguhnya tersimpan sebagai asset atau 'pustaka abadi' yang disebut 'Hombung' (baca: semacam lemari atau peti tempat barang-barang pusaka), yang bisa terungkap atau diungkap maknanya melalui tetarian atau opera Serindo dan sebagainya," papar Manguji Nababan kepada SIB, Kamis (9/6).

Dalam perkembangannya, khususnya pada setiap acara yang menyajikan tetarian atau sesi mengungkap suatu wacana dan cerita melalui seni tari, orang Batak selama ini (baca: belakangan ini) tampak terjebak dalam fenomena ego sektoral yang digambarkan dengan aksi gerak tari 'keberdiri-sendirian' (sesuka hati) dengan langgam masing-masing. Ini sangat berbeda dengan gerakan  Tortor sesungguhnya yang tampak dan terus seragam dan seirama atau saroha jala sahata dalam setiap perkara atau rencana, khususnya terkait adat istiadat dan budaya keluarga atau marga-marga.

Nababan menegaskan, WB Sidjabat dalam buku tersebut (Bab III poin -1 di halaman 68 alinea ke-4) menegaskan bahwa gerak atau langgam tari yang mengesankan sikap 'keberdirisendirian' itu sebenarnya merupakan warisan sifat Radja- Radja Toba (RRT-istilah WB Sidjabat dfalam buku tersebut), yang sebenarnya harus menyatu dengan langgam dan iramanya sesuai alunan dan tuntunan musik pada 'gondang' dan tarian Batak tersebut.

"Apa yang ditulis WB Sidjabat di buku ini, tentu tak terlepas dari fakta bahwa gerak sendiri-sendiri yang tergambar dalam tarian itu juga menunjukkan kita, termasuk Orang Batak jadi lupa dengan kebersamaan. Akibatnya, banyak kita Orang Batak kini menilai atau memandang sesuatu dengan 3 Tas atau Trio-tas yaitu: kualitas, popularitas, dan isini-tas. Nyaris tak lagi hanya memandang kualitas dari sesorang yang punya popularitas dan kapasitas, tapi juga sudah memandang isi-ni-tas alias hepeng (uang di dalam tas)",  katanya mengutip istilah yang diipopulerkan mantan Bupati Dairi Drs SI Sihotang menyebutkan istilah '3 Tas' yang memfenomenal saat ini.

Untuk itu, ujar Manguji Nababan, perwujudan sifat dan karakter orang Batak melalui berbagai sesi yang dilengkapi dengan tetarian atau Tor-tor hendaknya tidak hanya menjadi acara tampilan seremionial belaka, melainkan bisa menjadi ajang atau momen pelestarian karakter yang sejalan dengan perbaikan sifat, mental, dan prilaku. Soalnya, tetarian juga mengandung misi trilogi sebagai kekompakan terhadap sesama, penghormatan pada orang tua (atasan) dan penyembahan pata Tuhan.

Selain menjadi momen pemulihan sikap orang Batak untuk kembali satu langkah dan satu irama dalam kehidupan bermasyarakat, pemulihan makna dan misi tarian Batak itu juga akan akan mendorong para generasi Orang Batak di manapun berada saat ini, hendaknya tetap eksis dan peduli dengan nilai-nilai seni termasuk seni tari yang mengandung aspek karakter dasar positif kaum (orang) Batak.

 Dalam tarian yang digambarkan WB Sidjabat sebagai gerak atau langgam satu irama itu, jelas tak ada atau tak tampak perbedaan strata atau kemewahan seseorang, bukan penonjolan diri, dan mampu bertahan lelah atau lama, itulah yang sebenarnya terbersit pada nilai tarian Tortor. Dalam tarian itu yang tampak adalah kebersamaan satu gerak untuk satu tujuan dari orang-orang yang berbeda marga atau huta (kampungnya). Mereka bersatu menggalang kekompakan dan memuja Tuhan (Debata). Jadi, tarian Batak itu bukan sekedar tarian tampilan saja. Ke depan, semua tarian Batak itu agaknya perlu ditampilkan rutin dalam berbagai forum acara sebagai eksistensi karakter dan pelestarian nilai solidaritas Batak itu sendiri, baik berupa festival budaya, acara adat marga atau keluarga bahkan remaja.Horas. (Ads Franse Sihombing)

Dikutip dari harianSIB

Tari dan Gondang Batak, Isyarat Batak Sesungguhnya: Satu Langkah dan Irama
* Manguji Nababan SS: Rahasia Budaya Batak Itu Tersimpan Abadi dalam Hombung
Sabtu, 11 Juni 2016 | 18:40:26