Cari

Nawa Cita Masyarakat Batak Yang Harmonis Dalam Kanvas Dingding Sekolah

Posted 29-11-2017 13:22  » Team Tobatabo
Foto Caption: Cuplikan Foto Parmalim sedang melaksanakan ibadah di Huta Tinggi, Laguboti (google.com)

Akhir 90-an semarak piala dunia sepakbola di Prancis ikut mewabah anak-anak ingusan seperti kami. Tak pelak komplek SD Simare-marejae yang tidak jauh dari rumahku, berubah menjadi stadion mini pertandingan sepakbola anak kampung sekitarnya. Tapi ada ritual khusus yang kerap aku lakukan setiap datang bertanding di halaman SD tersebut. Berkeliling menikmati pameran graffiti yang terlukis di dingding setiap kelas SD Simare-marejae.

Dalam setiap graffiti, terlukiskan motivasi dan pesan-pesan moral tersendiri yang dialamatkan buat penikmat khususnya murid SDN Simare-marejae. Tapi ada sebuah graffiti yang cukup menarik minatku. Lukisan di depan kelas 1 yang menggambarkan sekompok orang menggunakan pakaian adat Batak, dengan berbagai aktivitas semacam ritual di dalamnya. Tampak sekelompok orang melakukan ritual mangalahat horbo, sekelompok pargonsi, dan uduran (barisan) pria dan wanita manortor di tengah halaman rumah. 

SDN Simare-marejae Laguboti

Lukisan ini tampak mencolok dipadu dengan gambar rumah ibadah serta jemaat-nya (saat itu pemerintah hanya men-sahkan 5 agama) di setiap diding kelas lainnya. Dan pada dingding terakhir, melukiskan ke Lima penganut agama tampak berpelukan harmonis dengan sosok orang menggunakan pakaian adat Batak.

Penasaran, saya coba bertanya kepada teman sepermainan yang sekolah di SDN Simare-marejae (saya sekolah di SDN 173551 Laguboti) apa makna graffiti tersebut.

Pada awalnya saya menebak lukisan pertama menggambarkan pesta gondang adat Batak, dan pria berjubah Batak dengan ke Lima penganut agama adalah Sisingamangaraja ke-12.

Ternyata diluar dugaan jawaban teman saya, "Itu agama Parmalim?". Dengan alis menyergit saya bertanya "Apa itu Parmalim?".

"Sipele Begu" jawabnya simpel (*Kala itu agama Parmalim kerap dideskritkan sebagai agama yang jauh dari konsep berketuhanan)

Takjub dengan lukisan tersebut saya balik bertanya "Ise manggobbar on? (Siapa pelukisnya)", "Pak Burian" jawabnya. Sedikit puas dengan nama pelukis, saya kembali melanjutkan sepakbola kami hingga petang.

***

Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat untuk memberi kebebasan kepada aliran kepercayaan untuk mencantumkan identitas agama dalam administrasi sipil negara, seakan membuka lembaran baru dan pemahaman masyarakat akan konsep ketuhanan aliran kepercayaan tersebut. Hal ini didukung juga dengan reaksi positif yang diberi oleh Kementerian Dalam Negri yang diwakili oleh Tjahjo Kumolo yang menyatakan akan melaksanakan dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Hal ini membawa aku ingatanku kembali kepada lukisan di dingding SDN Simare-marejae Laguboti Toba Samosir. Sebuah impian dalam konsep toleransi, yang diguratkan dalam graffiti dingding sekolah puluhan tahun silam, telah menjadi nyata pada tahun 2017. Sebuah lukisan yang menyiratkan impian kebersamaan diterimanya Parmalim sebagai salah satu unsur Kebhinekaan Indonesia.

Sebuah cita-cita yang hanya bisa tercurahkan melalui goresan di tembok sekolah yang lahir akibat diskriminasi agama Parmalim yang kerap terjadi saat itu.

Seandainya pak Siburian masih memiliki umur panjang, entah bagaimana ekspresi beliau saat ini.

Sayang pak Siburian yang dulu merupakan salah satu guru agama dan seni di SD Simare-marejae sudah lama meninggal dunia, sama seperti lukisan tersebut telah hilang dimakan waktu tergantikan cat dan warna baru yang lebih monoton tanpa kreasi kini.

SDN Simare-marejae Laguboti

Note

Semasa hidup Guru Siburian juga aktif sebagai seniman, budayawan, pande gorga, hingga akhirnya meninggal dunia akibat Lakalantas di jembatan Aek Alian Balige.

Satu yang paling berkesan, Guru Siburian dulu kerap diperankan sebagai Yesus dalam teatrikal natal desa karena jambangnya yang khas, dan aksinya yang dramatis hehehe.. Semoga beliau diberi kedamaian kini.

Ditulis Oleh Ondo Alfry Simanjuntak

~ Teman Sebangsa Setanah Air