Cari

Ahu Sisingamangaraja: Kisah Gugurnya Raja Sisingamangaraja XII dalam Pertempuran di Sionom Hudon

Posted 29-01-2018 14:15  » Team Tobatabo
Foto Caption: Peta Tapanuli Dan Samosir, Batak Warriors (Pejuang Batak), Shaman (Datu)

Gugurnya Ompui Raja Sisingamangaraja XII setelah marhuraba 30 tahun melawan pendudukan Belanda.

Selama berabad-abad hingga tahun 1800-an orang Batak Toba hidup di pedalaman dengan kultur dan tradisi sendiri, cenderung terasing dari dunia luar. 

Selama berabad-abad dengan keterasingannya, masyarakat Batak Toba tenang menikmati sifat khusus alam kehidupannya dalam jiwa kemerdekaan bak Shangrila, splendid isolation. 

Batak Toba berhubungan dengan dunia luar secara terbatas melalui daerah pheriperynya, seperti Singkil, Barus, Air Bangis di pantai Barat, dan Buluh Awar, Labuan Deli, Batu Bara, dan Tanjung Balai di pantai Timur.

Tahun 1830an Belanda menguasai Minangkabau di Selatan Batak Toba. Dan segera berikutnya Belanda bergerak ke Utara menduduki Mandailing, Angkola, Sipirok, sampai Barus.

Tibalah saatnya daerah aman damai terisolasi itu akan segera berhadapan dengan kehadiran Belanda. 
Pada tahun 1846, Ompui Raja Sisingamangaraja XI mengirim surat kepada Belanda sebagai sapaan kepada Zendeling Burton.

partukkoan

Partukkoan Masyarakat Batak (Google)

Waktu berjalan. Pada tahun 1867, Ompu i Raja Sisingamangaraja XII menggantikan ayahnya. Sementara itu Belanda terus melakukan agitasi dan sudah masuk hingga daerah Silindung. 

Tahun 1877, Ompui Raja Sisingamangaraja XII bersafari keliling Batak Toba, berunding dengan para Bius di masing masing Horja untuk menyatukan pemikiran perlawanan. Safari ini mengerucut dengan diambilnya keputusan mufakat untuk melakukan Pulas. Perang mengangkat senjata kepada orang luar.

Deklarasi Pulas dilukiskan dalam bentuk sebuah Ubi kayu yang diukir menyerupai manusia dan ditusuki tombak kecil. Patung ubi kayu itu diikatkan pada sebatang kayu arang, dan beserta surat yang dituliskan dalam 3 potong bambu dikirimkan ke Tangsi Belanda di Sipoholon. 

Dengan menyatakan Sumpah Pulas berarti Belanda dianggap Musu Tibus, musuh di terang hari maupun di gelap hari. 
Setelah ultimatum Pulas ini Belanda memperkuat pasukannya dengan mendatangkan personil dan artileri dari Singkil, Sibolga, dan Padang.

Dalam pertempuran tak seimbang di medan Silindung, Ompui Raja Sisingamangaraja menderita kehilangan mencapai seribu pasukan setianya. Ompui Sisingamangaraja dipaksa bertempur sembari mundur hingga daerah Tangga Batu. 
Belanda dengan komando yang lebih lihai segera mengetahui kekuatan Ompui Raja Sisingamangaraja adalah di Balige dan Laguboti, bukan di Bakkara atau daerah Utaranya. Belanda segera melakukan serangan gencar dengan membakari pemukiman disana. Bahkan beberapa gereja yang dicurigai sebagai tempat perlindungan ikut dihancurkan.
Panglima Ompu Raja Alapiso Siahaan yang dengan gigih (nagebu, istilah Batak Toba) mempertahankan Balige akhirnya takluk. 

Ompui Raja Sisingamangaraja mundur ke Lintong. Belada mengejar ke Bakkara, membumi hanguskan Jabu Bolon di Baktiraja dan juga pemukiman penduduk.

Tahun ketahun kekalahan itu sungguh menyakitkan. Namun semangat Ompui Raja Sisingamangaraja dan pengikut setianya untuk menegakkan kepala menjungjung Baringinnya Tano Batak tidak pernah padam. Sekitar 5 tahun mengobati luka luka dan menyusun kekuatan baru, tahun 1883 di bulan Mei, Ompui Raja Sisingamangaraja dengan mengerahkan tak kurang dari 50 Solu Bolon berangkat dari Horsik dan Sigapiton. Attacking point adalah Motung. Di Motung sudah berkumpul pasukan setia dari Sibisa, Lumbanjulu, SipanganBolon, dan dari tempat sejauh Sipiak (sekarang Parapat). Pasukan yang terkumpul waktu itu diperkirakan sampai 8000 orang. Pasukan pertama-tama menghancurkan kekuatan Belanda di Laguboti. Komptroler Welsink kewalahan dan mundur ke Balige. 
Welsink melaporkan kekalahan mereka di Laguboti dan minta pengerahan pasukan bantuan dari Padang Sidempuan dan Padang. 

Pasukan Ompui Raja Sisingamangaraja mendekati Balige di akhir bulan Juni 1883. Menyusun pertahanan di Lumbangorat. 

Weslink datang dengan formasi pasukan baru yang lebih lengkap. Pertempuran di Balige untuk keduakalinya dimenangkan pasukan Belanda. Sementara itu bantuan pasukan Belanda semakin bertambah. Ompui Raja Sisingamangaraja kembali ditekan bertempur sporadis sambil mundur melalui Sigaol, Sigapiton, dan akhirnya akibat korban yang semakin banyak, mundur menyeberang ke Tomok.

huta batakHuta ~ Perkampungan Batak (Google)

Mengingat kemuliaan Ompui Raja Sisingamangaraja pada masa itu. Masyarakat Batak tidak pernah menduga pertempuran besar Balige kedua akan menjadi titik awal jatuhnya Batak Toba ke Belanda. Masa itu memang banyak Figur besar di masing masing daerah. Ada Ompu Palti Raja di Samosir, dan Ompu Jonggi Manaor di Sianjur Mulana Limbong Sagala. Tetapi Ompui Raja Sisingamangaraja dihormati lintas daerah. Inisiatifnya melawan aneksasi Belanda dengan segenap jiwa raga, menambah rasa hormat itu. 

Ompui Raja Sisingamangaraja mulai menyadari kekuatan bersenjatanya tidak dapat mengimbangi pasukan Belanda dalam perang frontal. Beliau memilih srategi Marhuraba, menyergap dengan kejutan dan terus mundur menghilang. Benteng huraba, benteng semesta. Geurilla warfare. 

Bakkara sudah dibumi hanguskan kembali oleh Belanda.

Strategi Marhuraba ini berlangsung hingga belasan tahun. Tanpa dapat dideteksi oleh Belanda, Ompui Raja Sisingamangaraja dan pengikutnya berdiam di Salak Dairi, mendirikan pemukiman disana dilengkapi Bale Pasogit, sehingga para pengikutnya bisa hidup dalam tatanan adat, ritual, dan uhum yang berlaku.

Ompui Raja Sisingamaraja melaksanakan itu sambil berusaha menyusun kekuatan kembali. Memperbaiki persenjataan dengan mengganti bodil pamurhas yaitu senapan locok dengan bodil begu atau senapan seperti sekarang, yaitu peluru dengan mesiu di selongsongnya. Usaha ini dibantu oleh Ompu Ogung, seorang pedagang senjata yang ikut mendukung.

Pelabuhan Haranggaol - Tampak kesibukan onan Solubolon hilir mudik

Pelabuhan Haranggaol dengan transportasi Solubolon (Google)

Ompui Raja Sisingamangaraja dalam kurun waktu itu setidaknya dua kali berangkat ke Aceh, ke Huli Singkil di pantai Barat dan Keumala di pantai Timur, untuk bertukar pikiran dan menggalang perlawanan bersama terhadap aneksasi Belanda. Karena Belanda pun, pada waktu yang sams sudah menyerang kerajaan Aceh.

Untuk bisa cepat menjatuhkan Ompui Raja Sisingamangaraja, Belanda menjalankan jebakan perundingan. Belanda memanfaatkan Ompu Raja Tungtung, Ompu Tahilan, dan Ompu Porhas untuk mendekati Ompui Raja Sisingamangaraja dan membujuknya ke perundingan. 

Ajakan ini diterima dengan baik dan dianggap oleh Ompui Raja Sisingamangaraja sebagai harapan kepada kehidupan yang damai.

Perundingan yang merupakan jebakan ini berakhir kalut. Pasukan Belanda yang disiapkan menyergap, menembaki ke tengah kemah perundingan dan pasukan Batak. Ompui Raja Sisingamangaraja dapat meloloskan diri, namun banyak kehilangan pasukan. Ompu Raja Tungtung ikut gugur tertembak. 

Ompui Raja Sisingamangaraja kembali mencari tempat persembunyian baru di Huta Rea. Jauh dari tempat kegiatan pengejaran Belanda.

Untuk mempercepat penguasaan Aceh, angkatan perang pemerintahan Hindia Belanda membentuk sebuah pasukan komando dengan nama Corps Marechausee di Cimahi Jawa Barat, marsose.

Corps di bawah pimpinan Van Daalen ini merekrut anggotanya dengan standard keberanian, ketahanan, kekejaman, dan kecepatan. Mereka datang dari berbagai bangsa dan suku. Ada yang dari Afrika, Eropa, Jawa, dan Maluku. 
Corps ini terbukti segera meredam perlawanan di Aceh. Pertempuran di Galung dan Batee Ilii menghancurkan pasukan Aceh yang berjuang gigih. Corps Marsose yang terdiri dari 5 divisi, 60 brigade, terus merengsek dengan kejam, maju terus siang malam. Tahun 1899, Teuku Umar gugur, Perlawanan berganti pimpinan kepada pejuang perempuan Tjut Nyak Dhien.

Pasukan Van Daalen terus mengejar pejuang Aceh dan justru semakin ke Selatan mendekati pertahanan Ompui Raja Sisingamangaraja. 

Pada bulan Juli tahun 1904, pecahlah pertempuran besar terjadi di Kuta Reh. Pasukan Aceh yang merupakan orang kebanyakan yang terdiri dari campuran orang Gayo, Alas, Singkil, Pakpak, Karo, Toba, dan Simalungun, bergabung berjuang dengan dengan semangat dan seluruh kemampuan mereka. Mereka benar benar menderita kekalahan besar. 

Pasukan Marsose dengan cepat mendekati Kuto Meang, Tanduk tanduk, dan sampai di Sidikalang. Malalui hutan lebat, pasukan harimau ini masuk ke Lau Renun.

Sementara itu diplomasi Belanda untuk mengadakan pendekatan kepada figur figur Batak Toba juga terus berjalan dan membuahkan hasil. 

Ompu Raja Jonggi Manaor berhasil didekati, demikian juga Ompu Babiat yang tadinya ikut berperang berhasil dibujuk untuk kembali ke kampungnya. Namun belakangan secara diam diam Ompu Babiat tetap memberi dukungan terhadap perjuangan Ompui Raja Sisingamangaraja. 

Semuanya itu, ditambah berita tentang jatuhnya Aceh, memberi kesan seakan mengurangnya kekuatan pasukan Ompui Raja Sisingamangaraja. Namun justru semakin mengeraskan semangat juang. 

Waktu itu Welsink sudah berani jumawa memberikan tawaran agar Ompui Raja Sisingamangaraja dan keluarga menyerah tanpa syarat. Mereka akan diasingkan dan diberi tunjangan.

Karena tidak ada jawaban datang, Welsink menyusun rencana pengejaran ke Sionom Hudon. Untuk itu dibangun pos militer penunjang di Sidikalang.

Dari pos militer Sidikalang dikirimlah Ompu Ogung teman dekat dan menantunya untuk membujuk agar Ompui Raja Sisingamangaraja. 

Namun jawabannya adalah tetap, bersedia berdamai atau mardenggan, tetapi tidak akan menyerah. 
Welsink putus akal, lalu pada Maret 1906 dia mengirimkan Ompu Sosuhaton membawa surat ultimatum agar dalam waktu seminggu Ompui Raja Sisingamangaraja menyerahkan diri bersama keluarga ke Parbuluan. Bila tidak akan dilakukan pengejaran dengan kekerasan. 

Seminggu kemudian Ompu Sosuhaton kembali dengan sebuah surat dari Patuan Nagari, isinya Ompui Raja Sisingamangaraja harus tetap duduk sebagai raja mengatur rakyatnya dan daerahnya, bila tidak pasukan tidak akan keluar.

Welsink dan pasukan Marsose memburu pasukan Ompui Raja Sisingamangaraja di sekitat Tano Siogung Ogung
Setelah beberapa bulan pencarian tak berhasil, karena diam diam pasukan Batak sudah berpindah ke daerah Bululage. Akhirnya di bulan Juni Welsink kembali ke Balige.

Gubernur Jenderal Van Heutz mengirim telegraph meminta agar Ompui Raja Sisingamangaraja segeta ditaklukkan. Untuk itu upaya yang diperlukan sepwri menambah pasukan harus segera dilakukan. 

Pada Maret 1907. kapten Christofel dan pasukan baru diberangkatkan dari Cimahi. Pasukan Marsose yang diberi nama Garnizoens Compagnie van Tapanoeli ini mendarat di Sibolga pada April 1907.

Komptrolir Kok masih menawarkan penyerahan diri dengan mengirim Ompu Somba Debata Situmorang yang merupakan mertua Ompui Raja Sisingamangaraja. Usaha ini tidak melemahkan tekad Ompui Raja Sisingamangaraja untuk berjuang tak kenal menyerah sampai akhir. 

Pasukan Marsose dipimpin oleh Christofel segera bergerak ke arah Harianboho. Dari informasi intelijen, mereka menyergap sekelompok pejuang, ternyata adalah pasukan dari Ompu Babiat. Ompu Babiat menyelamatkan diri dari sergapan dan mundur ke arah Pinem. 

Pasukan Marsose mengejar ke Pinem. Pertempuran terjadi, kembali Ompu Babiat dan Ompui Raja Sisingamangaraja selamat bersama sisa pasukannya mundur ke daerah Solok. 

Pasukan Marsose yang mengejar dihadang di Sungai Passinaron. Sejumlah pejuang kembali menjadi korban di pertempuran ini.

Saat posisi pasukan Ompui Raja Sisingamangaraja ada di Pangguhon datanglah Ompu Partahan Batu dari Sosor Lutung Muara. Beliau menyampaikan keprihatinan atas perjuangan yang berat dari Ompui Raja Sisibgamangaraja dan menyampaikan simpati dan dukungan dari pendukung setianya.

Akhirnya terasa juga firasat sang Raja. Bahwa waktunya sudah tiba. Ompui Raja Sisibgamangaraja meminta dilangsungkan upacara perpisahan. 

Upacara sulang sulang baginya dilakukan. Selesai upacara Sulang sulang dan pemberian petuah. Keluarga, petempuan dan anak anak diberangkat dengan pengawalan. Oleh Partahi Kius, Partahi Ompu Tumanggor, dan Partahi Bonggal. Rombongan ini ditemukan pasukan Marsose dan dibawa ke Tangsi militer Sidikalang. 

Pasukan Marsose mengejar pasukan Batak, dan kontak terjadi di Alahan. Pasukan Marsose terus mengejar hingga di Sionom Hudon. Pertempuran terjadi, dan Ompui Raja Sisingamangaraja dengan sisa pasukannya undur lagi ke arah Pearaja, terus ke Sitindas di dolok Sipatongan yang harus menyeberangi sungai Lae Sibulbulon dan Lae Rahu yang berair deras. 

Christofel si Macan Aceh terus memburu dengan pasukannya yang memang terlatih baik dan berjiwa baja. Mereka terus bergerak mencari membuntuti siang dan malam seperti tak ingin melepas jejak sisa pasukan yang diburunya. 
Pertempuran jarak dekat pun tak terelakkan lagi. Putri Lopian tertembak. Ompui Raja Sisingamangaraja yang bertubuh tinggi besar membopong putrinya mencoba lari menghilang. 

Rupanya seorang serdadu Marsose bernama Hamisi asal Tobelo berhasil menangkap siluet sang Raja yang disebut hilang kemampuan mistisnya setelah bergelimang darah putrinya yang dibopongnya. Sang Raja yang tersudut berbalik mencabut pisonya. Hamisi berteriak keras tidak sampai hati.. tarok rencong... tarok rencong! Maksudnya supaya Ompui Raja Sisingamangaraja yang berlari mendekatinya meletakkan kembali pisaunya, sambil terus membidikkan senapannya. Christofel yang berada dekat mendengar dan segera merespon berteriak kepada Hamisi. ...jangan pasang !!!!!

Namun terlambat sudah. Suara tembakan senapan Hamisi menggelegar di tengah hutan belantara Sindias Sionom Hudon Dairi. Lalu terdengar teriakan keras yang mengaum mendirikan bulu roma Christofel dan pasukan Marsose di pengepungan itu.... AHU SISINGAMANGARAJA !!!