Kisah Misteri Yang Terselubung Dibalik Kemunculan Sigale-gale
Boneka Sigale-gale, begitulah sebutannya. Sebuah boneka yang selalu tampil rapi dan khas dengan balutan busana adat Batak lengkap dengan kain Ulos dan memiliki ukuran hampir sebesar manusia, adalah pemandangan yang wajar ditemukan di depan rumah tradisional warga Pulau Samosir, Sumatera Utara.
Meskipun sudah tidak banyak warga Samosir yang menyimpan Sigale-gale, namun masih ada sekitar 4 rumah yang masih ‘memelihara’ Sigale-gale dalam kondisi yang bagus dan masih bisa dibuat menari.
Boneka Sigale-gale memiliki beberapa versi cerita yang melatarbelakangi sejarah kemunculan Sigale-gale. Versi yang pertama dan yang paling dipercaya adalah kisah anak dari seorang raja setempat yang meninggal disaat perang namun tidak mendapat keikhlasan dari orangtuanya.
Akhirnya dibuatlah sebuah boneka kayu yang merupakan perwujudan anak sang raja sekaligus diberi nama yang sama, yaitu Manggale. Boneka tersebut menemani sang raja hingga akhir masa hidupnya, dan pada saat kematiannya, boneka itu menari disamping jenazah sang raja.
Versi cerita yang lain adalah, konon ada sepasang suami istri yang tidak dikaruniai keturunan. Sang suami yang merupakan dukun bernama Datu Partoar kemudian pergi ke hutan dan menemukan sebuah boneka mirip anak perempuan dan Datu mengubahnya menjadi seorang anak manusia yang diberi nama Nai Manggale.
Nai Manggale dirawat oleh orangtua yang menemukannya dan menari disamping jenazah mereka ketika mereka meninggal, namun Nai sedih karena ia tidak bisa memiliki anak seperti mereka.
Pada akhirnya Nai membuat sebuah boneka patung seperti dirinya lagi untuk bisa ia angkat sebagai anak juga—dan lama-kelamaan kebiasaan ini menurun pada warga Samosir ketika mereka menginginkan anak namun tidak bisa mendapatkannya/kehilangan.
Boneka Sigale-gale akan menari saat dilantunkan musik daerah Batak, dan benang-benang yang menggerakkan tubuh Sigale-gale konon berjumlah sama dengan urat yang ada di tubuh manusia. Sigale-gale memiliki makna religius dan unsur klenik yang kental.
Tarian Sigale-gale biasanya dilakukan ketika ada seorang anak yang meninggal (terutama laki-laki) atau di keluarga yang berduka karena tidak memiliki anak laki-laki.
Mereka percaya arwah orang yang telah meninggal akan bersemayam didalam Sigale-gale. Seringkali Sigale-gale menari dengan sendirinya tanpa ada yang menggerakan. Boneka ini pun sering ditemukan sedang menitikkan air mata. Namun begitu, Sigale-gale memiliki nilai kasih sayang yang kental yang berkaitan dengan hubungan orangtua dan anak.
Nilai mistis lain yang terkandung dibalik keberadaan Sigale-gale adalah di pembuatannya. Setiap orang yang membuat boneka Sigale-gale harus menyerahkan seluruh jiwanya agar boneka tersebut dapat bergerak selayaknya manusia hidup.
Karena itu pula-lah masyarakat Batak percaya bahwa siapapun yang membuat boneka Sigale-gale akan meninggal sebagai tumbal setelah pembuatannya terselesaikan. Untuk mencegah hal tersebut, masyarakat membuat bagian-bagian tubuh Sigale-gale secara terpisah, misalnya satu orang membuat tangan, satu orang lagi membuat kaki, lalu orang lain membuat kepala atau badan.
Dengan pembuatan yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda, maka tidak ada yang menjadi tumbal. Unsur seram lainnya dari Sigale-gale adalah, boneka ini hanya bisa ditempatkan di peti mati, bahkan menari pun diatas peti mati. Karena sesungguhnya Sigale-gale memang diciptakan untuk mengantar kematian seseorang.
Namun seiring dengan berkembangnya jaman dan makin sedikitnya keberadaan Sigale-gale, maka unsur mistisnya pun mulai surut dan beralih menjadi kekayaan budaya tradisional.
Sigale-gale sekarang lebih sering dipertunjukkan ke para turis dan wisatawan yang mau melihat tarian Sigale-gale secara langsung. Tidak lagi disamping jenazah, Sigale-gale kini bisa menari kapanpun di depan para turis yang menginginkannya dan cukup dengan bayaran seikhlasnya.
Dikutip dari Wonderful Danau Toba