Tobatabo
 
Posted 22-02-2017 15:14  » Team Tobatabo

Sebuah Kisah Dari Saya Tentang Gulamo Na Tinutung

 
Foto Caption: Gulamo, ikan asin bakar

Tahun lalu aku ada dinas ke Palu-Sulawesi Tengah. Palu adalah kota Propinsi yang cukup sederhana, baik dari bangunannya maupun dari orang-orangnya. Ditengah kota masih banyak kita temukan pohon kelapa. Jumlah kendaraan belum begitu banyak sehingga tidak akan pernah terjadi kemacetan.

Satu hal yang sangat menarik bagiku di kota Palu, yaitu ikan bakarnya. Makan ikan Bakar di sebuah restaurant yang berada persis di bibir pantai. Bangunan panggung dengan dinding terbuka. Kita bisa memandang jauh ke tengah lautan. Suara ombak jelas terdengar dan angin laut berhembus menerpa wajah.

Waktu itu kami memesan menu banyak sekali. Ada berbagai jenis ikan yang dibakar, ada kepiting rebus, ada udang goreng dan bakar, ada otak-otak, lengkap dengan berbagai macam sambal. Sambal terasi, sambal kacang, sambal kecap, sambal mangga dan yang paling khas adalah dabu-dabu. Rasanya “mak nyos” meminjam istilah pak Bondan. Ikan bakarnya benar-benar nikmat. Itulah ikan bakar paling enak yang pernag aku makan.

Beberapa bulan yang lalu aku ke Surabaya. Disana aku diajak makan ikan bakar di sebuah restaurant yang pengunjungnya ramai sekali. Aku membayangkan kalau ikan bakar di restaurant itu pasti sangat enak.

Pengunjungnya saja sampai mengantri dan pesanan kami baru bisa kami nikmati hampir satu jam setelah kami pesan. Tetapi aku sedikit kecewa karena ikan bakar tsb tidak se-luar biasa yang aku bayangkan.

Sudah sejak lama saya sangat menyukai ikan bakar. Apabila di satu pilihan menu ada tersedia ikan bakar, biasanya aku akan memilih menu tersebut.

Mungkin penyebabnya karena sejak kecil saya sudah diperkenalkan oleh orang tua saya dengan menu ikan bakar spesial yang kami kenal denga “GULAMO NA TINUTUNG”

Sampai sekarang saya belum tau dari mana asal kata  “gulamo”. Gulamo yang juga kami kenal dengan nama “gabbas” adalah ikan laut yang diawetkan dengan cara diasinkan sehingga tahan sampai berbulan-bulan bahkan sampai tahunan.

Di kampung saya semua orang mengenal gulamo. Gulamo merupakan lauk utama sahabat nasi di waktu makan. Ibuku membeli gulamo di pekan Tigaraja setiap hari pekan, hari sabtu.

Cara mengolah gulamo memjadi lauk yang siap disantap sangat gampang. Gulamo biasanya digoreng kering, digoreng sambal atau yang paling praktis “ditutung” (di bakar di atas bara api).

Dengan cara ditutung inilah cara yang paling sering dilakukan, sehingga dikenallan gulamo na tinutung. Waktu gulamo berada di atas bara api, aromanya yang khas akan tercium sampai jauh, bahkan sampai jarak ratusan meter.

Siapapun yang mencium aroma itu akan merasa lapar dan ingin segera makan dengan gulamo na tinutung sebagai lauknya.

Waktu yang dibutuhkan untuk membakar gulamo ini sangat singkat (dalam hitungan menit, bahkan ada yang hanya dalam hitungan detik). Kalau membakarnya kelamaan, gulamo akan cepat gosong dan tidak dapat dimakan lagi.

Gulamo ini harus segera disantap setelah dibakar, disaat masih hangat dan aroma khasnya masih tercium. Rasanya sangat nikmat apalagi ditemani dengan sayur daun singkong tumbuk, sambal andaliman dan lalap pete atau jengkol.

Rasanya luar biasa. Tetapi sering kali gulamo natinutung ini hanya menemani nasi putih saja tanpa sayur dan yang lainnya. Namun tetap saja nikmatnya tiada tara.

Ada satu ungkapan masa kecil yang aku percayai saja tanpa memikirkan apakah ungkapan itu masuk akal. “Jangan makan gulamo banyak-banyak, nanti kulitmu akan bersisik!”.

Sebuah ungkapan banyak orang tua di kampung kami kepada anak-anaknya. Sekarang setelah aku pikirkan, ternyata ungkapan itu sengaja diciptakan agar persediaan gulamo di rumah tidak cepat habis.

Selain situasi ekonomi kala itu yang sulit sehingga uang untuk membeli gulamo terbatas, juga karena gulamo hanya bisa diperoleh sekali seminggu di pekan tigaraja. Dengan ungkapan tersebut persediaan gulamo akan tetap ada sampai hari pekan berikutnya tiba.

Gulamo na tinutung telah menjadi sahabat masa kecil saya. Aroma gulamo natinutung telah membius saraf hingga terbang ke langit ke tujuh. Menembus awan-awan menuju kayangan dengan kepuasan makan yang tiada bandingnya.

Tetapi hari ini saya berpikir bahwa seandainya masa kecil saya selalu makan ikan laut yang segar yang penuh gizi, bukan gulamo natinutung yang gizinya telah terbang bersama proses pengawetan, mungkin kualitas hidup saya akan jauh lebih baik. Perkembangan otak saya pun mungkin akan lebih sempurna.

Gulamo natinutung…. Rinduku padamu…

Saya berencana pulang kampung beberapa hari lagi, imajinasiku telah mencium bau khas gulamo natinutung. Aku tak peduli apakah gulamo itu penuh gizi atau tidak. Aku ingi segera menikmatinya lengkap bersama sayur daun singkong tumbuk, sambal andalimandan dan lalap pete. Nikmat sekali……

Dikutip dari soponasio