Bius Tano Batak Menurut Sitor Situmorang dan WKH Ypes (Bagian 2)
Menurut Sitor Situmorang dalam buku Toba Na Sae, berdasarkan kelengkapan organisasi aparatnya, Bius di tano Batak dapat dibagi menjadi tiga tingkatan:
1. Bius Klasik atau Bius Tempo Doeloe.
Bius jenis ini dapat ditemukan di pantai barat, pantai selatan danau Toba dan di Samosir yang dipandang sebagai asal kebudayaan Toba. Disini ada Dewan Pemimpin (kolegial) Bius yang membawahi beberapa Horja sebagai bagian Bius yang berwenang mengelola Golat (hak ulayat). Horja membawahi puluhan Huta.
Struktur pemerintahan inilah bentuk ideal yang selalu diusahakan untuk diwujudkan menurut model Sianjur mula-mula. Kondisi di sekitar tepi danau Toba memungkinkan untuk menerapkan struktur semacam ini.
Seperti halnya model Sianjur mula-mula, Bius tempo doeloe mempunyai organisasi Parbaringin yang sifatnya turun-temurun dan tetap. Parbaringin bertugas mengatur jadwal bercocok tanam, mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi (bondar), pemekaran wilayah persawahan baru dll.
2. Bius Transisi atau Bius Migrasi.
Bius ini terjadi karena adanya perkembangan migrasi dari daerah asal disekitar danau membentuk Bius-Bius baru ke dataran tinggi di kawasan selatan danau dan kawasan barat (Humbang, Silindung, Pangaribuan dan Pahae). Kepemimpinan Bius masih kolegial, tetapi parbaringin tidak selalu ditemukan disini dan kalaupun ada tidaklah selengkap di daerah Bius Klasik.
Oleh karena itu fungsi pekerjaan parbaringin dalam aneka ritual dirangkap oleh pemimpin sekuler Bius dan ini tidaklah bersifat tetap. Sesudah menjalankan ritual, tokoh sekuler itu kembali ke status semula, yaitu rohaniawan setempat. Hal ini wajar terjadi karena areal persawahan tidak seluas di Bius klasik sehingga tidak melahirkan kelas atau organisasi para rohaniawan.
3. Bius Kecil.
Bius Kecil umumnya dijumpai di pinggiran wilayah Toba. Karena situasi setempat maka aparatnya tidak lengkap. Kepemimpinan sering terjadi hanya dijalankan seorang saja.
Aparat pemerintahannya tidak memadai dan karena areal persawahannya sempit, maka tidak memerlukan rangkaian ritual pertanian serumit Bius klasik. Medannya hutan belukar dan berbatasan dengan dunia luar Toba, sehingga mengharuskan adanya pemimpin tunggal untuk pengambilan keputusan yang cepat.
WKH Ypes, mantan residen Tapanuli peminat Etnologi dan Antropologi yang dalam hal ini, adalah orang yang berjasa mendokumentasikan peta marga-marga yang yang ada di tano Batak.
Setelah meneliti marga-marga dan Bius di seluruh Toba, Ypes mengatakan terdapat 86 Bius yaitu Silindung 4 bius, Humbang 19 bius, Toba Holbung 40 bius, Samosir 23 bius (ada pendapat lain mengatakan jumlahnya mencapai 150 Bius).
Sebagai tambahan dari van der Tuuk, di Pangaribuan terdapat satu Horja yang hanya ditangani satu Bius utama yaitu Huta Pakpahan yang sekarang tercatat sebagai ibukota Kecamatan Pangaribuan. Di Onanrunggu tercatat satu Horja dengan Bius Utama Sosor Pasir.
Itu semuanya, catatan tempo doeloe ketika wadah demokratis asli Batak itu masih berfungsi dan berkiprah sebagaimana mestinya. Sekarang, data baru tentang Bius sudah sulit didapat, meski para pegiat sosial dan sejumlah LSM di bawah naungan Yayasan tetap bersikeras bahwa lembaga Bius masih hidup dan menjalankan fungsinya di tano Batak. Tapi faktanya, tetap tak kita jumpai apa dan bagaimana hasil kerja Bius dimaksud?
Datu Ronggur Diadji sebagai studi kasus
Di masa kini, tanpa ada keinginan untuk menghidupkan kembali Bius dan kemudian melestarikannya sebagai aset tersembunyi tano Batak, lembaga Bius yang sudah memudar itu dipastikan musnah ditelan sejarah.
Kita ambil contoh Pangaribuan Taput (Tapanuli Utara). Ketika Datu Ronggur Diaji (generasi ke-empat clan Pakpahan) asli pembawa clan Pakpahan asal Sosor Pasir Samosir eksodus dari Samosir dan membuka Huta (pemukiman pertama) di Pangaribuan Taput, dia tidaklah sendirian. Ada clan-clan lain di sekitarnya.
Terbukti dari artefak yang pernah ada dan folklore setempat, terjadi serangkaian konflik antara Datu Ronggur Diadji Pakpahan dengan clan lain di Pangaribuan.
Kalau dilihat mengapa secara keseluruhan tanah adat yang diwariskan kepada generasi penerus seperti di Desa Pakpahan (Pakpahan 1 dan Pakpahan 2 sekarang), di Sibingke, di Tagahambing dan di Lumban Gaol terletak di daerah sangat luas dan mendatar di antara bukit-bukit yang banyak terdapat disana, juga areal persawahannya sebagaimana dapat dilihat di Saba Bolak yang juga adalah daerah luas mendatar dan penuh dengan mata air di bagian yang dekat ke bukit Lumban Julu.
Pewarisan tanah adat itu adalah bukti tak terbantahkan bahwa Datu Ronggur Diadji adalah seorang penakluk yang mendapatkan kekuasaannya atas tanah terbaik di Pangaribuan setelah menundukkan marga-marga lain. Dialah Raja Bius pertama di Pangaribuan.
Setelah Datu Ronggur Diadji berlalu dari sejarah, Horja yang membawahi puluhan Huta memang pernah diterapkan oleh generasi penerus. Di luar tanah adat warisan Datu Ronggur yang kemudian menjadi tanah Golat atau tanah Ulayat clan Pakpahan sebagai penakluk kawasan strategis dan tersubur yang sampai sekarang tetap menjadi sentrum Pangaribuan, terdapat perkampungan yang dihuni oleh clan lain seperti Panjaitan, Sormin, Pasaribu, Sinaga, clan Sirajasonang seperti Gultom dan Harianja, juga ada Nainggolan di Pansur Natolu, ada Tambunan di Sigotom dst. Mereka Raja-Raja Bius itu semua ada dalam satu kesatuan Horja di Pangaribuan dengan Bius utama Desa Pakpahan selaku sentrum Pangaribuan.
Dengan masuknya tatanan modern ke tano Batak sejak zaman kolonial Belanda. Mulailah dikenal istilah Kapala Nagari. Seiring dengan masa kolonialisme Belanda di tano Batak, Horja pun pudar dan Bius Pakpahan juga hanya tinggal dalam catatan sejarah saja. Itu sebabnya memori kolektif clan Pakpahan tak tersimpan dengan baik dalam memori Bius, termasuk memori Bius di Pangaribuan.
Mereka sulit bersatu, karena di wilayah Biusnya masing-masing di luar Desa Pakpahan selaku sentrum Pangaribuan, mereka berjalan sendiri dengan tafsir diri sendiri masing-masing. Hampir semua clan di tano Batak mengalami hal seperti ini.
Menjadi jelas bahwa sulitnya orang Batak bersatu justeru dimulai dari clan itu sendiri. Datu Ronggur hanyalah case study bagi kita. Tak heran orang Batak di masa kini mengalami kesulitan dalam memperjuangkan kepentingan atas nama komunitas Batak di kampung halamannya sendiri.
Tak heran pula, Kepala Desa, Camat dan Bupati menjadi sangat dominan tanpa mau tahu lebih jauh apa dan siapa itu warga setempat dengan segala hak sejarah dan hak adat yang dimilikinya. Kalaupun ada pegiat sosial dan banyak LSM yang mempunyai sumber keuangan tetap dari Yayasan yang memayunginya.
Mereka tentu hanya bisa nyinyir kalau urusan solusi politik untuk sebuah kepentingan atas nama warga dan kawasan menthok seperti halnya kasus TPL, KJA dan kini menyusul BODT (Badan Otoritas Danau Toba) yang untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan Danau Toba harus memiliki lahan seluas 500 Ha yang perlu dan harus disiapkan di kawasan Tobasa sesuai amanat Perpres 49/2016 yang direlease awal Juni lalu.
Pranata sosial modern
Generasi pembenci dan pemberang yang Asbun (Asal Bunyi) dan Astul (Asal Tulis) sekarang, boleh jadi salah tafsir dan salah memaknai apa dan bagaimana kita seharusnya berdemokrasi di kampung halaman sendiri. Mari kita periksa bersama. Sesungguhnya telah ada pembaharuan yang berkaitan dengan ketentuan perundangan tentang Desa di Indonesia, yang dalam hal ini mengacu pada prinsip otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana intisari UU No 32 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah. UU No 6 tahun 2004 tentang Desa yang berlaku sekarang pada hakekatnya telah menjawab kegundahan kita tentang Demokrasi Asli tano Batak yang berada dalam posisi “Mati Segan Hidup Tak Mau”.
Pada Bagian Kedua tentang Lembaga Adat Desa pada pasal 95 ayat 1 sampai dengan ayat 3 disebutkan sebagai berikut :
- Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa
- Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa
- Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dijelaskan lebih lanjut pada pasal 152 sebagai berikut : (1) Pembentukan lembaga adat Desa ditetapkan dengan peraturan Desa; (2) Pembentukan lembaga adat Desa dapat dikembangkan di desa adat untuk menampung kepentingan kelompok adat yang lain.
Berdasarkan UU No 6 tahun 2014 dan PP No 43 tahun 2014, Demokrasi Asli kita justeru diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Ketentuan perundangan itu hanya mensyaratkan agar Bius cukup dikukuhkan dengan Peraturan Desa setelah melalui musyawarah desa tentu dan kemudian dilaporkan keberadaannya ke Departemen Dalam Negeri melalui Pemerintah Daerah setempat dan akhirnya dicatat pada Lembaran Daerah.
Akhir wacana
Dalam rangka membangkitkan dan melestarikan semua warisan asli Demokrasi Batak, kita harus dan wajib menghidupkan kembali lembaga Demokrasi asli kita yaitu Bius clan dalam katakanlah federasi clan sesuai tempat dan kepentingan rakyat sekawasan. Biarlah Horja pudar, karena tak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tapi lembaga Bius yang bermuatan para Cendekiawan, tokoh Adat dan tokoh Masyarakat harus dihidupkan dan disesuaikan seperlunya sejalan dengan perkembangan zaman.
Dengan hidupnya kembali Bius, memori kolektif kita tentang semua warisan akan kembali dan wibawa kita dalam menjaga dan merawat Demokrasi asli Batak tidak seenak perutnya lagi ditafsir sesuka hati oleh sebarisan pemabuk dan pemberang yang hanya bermodalkan Asbun dan Astul sebagaimana diperagakan selama ini.
Orang Batak di masa kini haruslah mau berlapang dada menyadari bahwa kegagalan apapun yang diperjuangkan selama ini, entah itu Protap, KJA, TPL dst, bukankah karena kita sendiri yang justeru membiarkan UU No 6 tahun 2004 tak berjalan sebagaimana mestinya dan kita malah membiarkan para Kepala Daerah, Camat dan Kepala Desa “raja padoha” alias merajalela dalam menafsirkan follow-up dari UU strategis dimaksud.
Adakah yang terketuk pintu hatinya untuk itu? Mari berendah hati dengan menjawab Ya, tapi tentu harus langsung ditindaklanjuti di lapangan. (habis)
Penulis : Parlin Pakpahan
Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial dan budaya