Cari

Renaisansce Jambar Horja

Posted 26-01-2018 17:31  » Team Tobatabo
Foto Caption: Mangalahat Horbo (Afriadi Hikmal/Flickr)
Suatu hari saya mengikuti sebuah Horja Bolon di daerah Tapanuli. Dalam prosesi pelaksanaan adat Horja, ada sebuah hal menarik menggelitik keingintahuan saya.

Teknis "parjambaron" pada saat itu mengorbankan "Sigagat Duhut/Gaja Pokki" (Kerbau) dilakukan dengan cara melempar dan membanting "Jambar" ke tengah "alaman" Raja Parhata. Diiringi dengan teriakan lantang parhobas "manjouhon" memanggil sipenerima "jambar" serangai membanting gumpalan daging segar tersebut, membuat para hadirin terkejut dan sedikit bertanya-tanya.

Penuh selidik saya tanyakan perihal teknis pembagian "jambar" tersebut kepada para sesepuh yang hadir disana. Menurut mereka pada awalnya teknis pembagian-nya (red: jambar) dahulu kala persis seperti itu, "potong dan lempar" langsung dari "Para-Para" tempat pemotongan hewan kurban ke "alaman" halaman ritual adat dilaksanakan dan langsung dibagikan atau diterima oleh yang ber-hak menerimanya.

Sembari mengikuti dan memperhatikan proses pembagian "jambar", saya bisa menyaksikan dan menangkap sikap "Totalitas" dan adanya "Holong" saling mengasihi dalam pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu tersebut.

Rasa bangga dan sikap menghargai oleh Suhut untuk para kerabat yang hadir, dipresentasikan melalui potongan "jambar" terbaik (hibul, besar, fresh, dan utuh). Dalam adat Horja, hal ini memaknai bahwa prilaku adil dan merata selalu dijungjung untuk setiap elemen Dalihan Na Tolu yang hadir. Suhut (Panitia pelaksana acara) juga memastikan bahwa pelaksanaan adat sudah sesuai dengan tugas dan posisi masing-masing dalam Horja tersebut.

***

Banyaknya kasus "penyelewengan", akulturasi serta minimalisasi dalam adat Batak, terkadang telah mengikis bentuk tatacara dan tatalaksana budaya-budaya asli Batak.

Hal ini semakin umum dan sering terjadi seiring tuntutan jaman dan pola kehidupan sosial yang serba modern dan simple. Fenomena tersebut banyak memberi kekhawatiran bari para tokoh adat, yang semakin pesimis bahwa budaya dan adat jaman sekarang, tidak mampu lagi bertahan atau sekedar mempresentasikan kearifan lokal yang menjadi awal terbentuk dan dibentuknya budaya ini.

Tapi saya masih menyimpan sedikit optimisme, bahwa adat Batak akan tetap lestari dan kembali ke nilai sebenarnya dengan usaha dan upaya "Renaissance" atau penggalian kembali nilai-nilai asli adat tersebut, dibarengi teknis "Akulturasi" yang tepat dalam pengadaptasian dengan gaya hidup masyarakat Batak jaman sekarang, dan menerapkan secara langsung, untuk bisa dilihat, diikuti, dilaksanakan dan dijaga para generasi muda Batak dan mampu tetap eksis mengikuti perkembangan berbagai budaya di jaman yang serba modern ini.