Tobatabo
 
Posted 18-02-2019 00:12  » Team Tobatabo

Pentingnya Peranan dan Posisi Tulang Dalam Adat Batak Toba Bagian Pertama

 
Foto Caption: Tulang mangalehon Ulos

Tulang pada Batak-Toba memiliki fungsi, peran sangat strategis sehingga keberadaan Tulang pada ulaon adat tidak boleh diabaikan atau disepelekan yang merupakan salah satu unsur Dalihan Na Tolu (DNT) yakni Hula-Hula (hula-hula, tulang, bona tulang, bonaniari, tulang rorobot, hula-hula namarhaha-maranggi, hula-hula na poso/parsiat, hula-hula simanjungkot), Dongan Tubu, Boru/Bere.

Namun pada era belakangan ini keberadaan tulang cenderung tidak begitu dipentingkan oleh sebahagian orang terlebih setelah berumah tangga/kawin (baca: marhasohotan) dengan perempuan bukan boru ni tulang (baca: ndang mangalap boru ni tulang).

Si Bere cenderung hanya menghormati dan mementingkan mertuanya dibandingkan tulangnya hingga muncul adagium “tulang ni na mate” yang mencerminkan kerenggangan hubungan antara tulang dengan berenya.

Bila hubungan tulang dengan bere selalu harmonis semasa hidup tidak akan muncul istilah “tulang ni na mate”. Tetapi pasca perkawinan seorang bere tidak pernah lagi berhubungan dengan tulangnya sebab si bere cenderung hanya berfokus pada mertua (baca: simatua)  yakni hula-hula dari istrinya.

Padahal fungsi dan peran tulang terhadap bere pada Batak-Toba sungguh paling penting sejak dari lahir, berumah tangga/kawin, meninggal, dan mengongkal holi.

Selanjutnya, ada ungkapan Batak-Toba menyatakan “tulang tidak bisa diganti, sedangkan mertua bisa diganti “ yang menunjukkan betapa tingginya eksistensi tulang pada Batak-Toba. Mengganti dan/atau menambah istri (baca: na nialap) bisa terjadi sedangkan mengganti ibu/mamak (baca: inang pangintubu) tidak bisa.

Tulang  adalah saudara laki-laki ibu/mamak sedangkan mertua (baca: simatua) adalah hula-hula istri. Misalnya, jika seseorang mempunyai dua istri (baca: marsidua-dua) maka mertuanya (baca: hual-hula) tentu saja menjadi dua sedangkan tulang tidak bisa diganti atau ditambah.

Pemahaman demikian harus diketahui dengan baik dan benar sehingga tidak ditemukan istilah “tulang ni na mate” atau menganggap enteng terhadap tulangnya sembari mengagung-agungkan mertuanya saja.

Sementara bila terdesak misalnya ketika meninggal akan mencari-cari tulangnya agar ada pasahat ulos Saput atau ulos Tujung.

Fenomena pembentukan perkumpulan (baca: punguan marga) Batak-Toba yang tidak mengikutsertakan bere patut dicermati dengan seksama sebab boru tidaklah berarti apa-apa bila tidak berketurunan (baca; ndang marrindang).

Arti penting boru terletak pada anak-anaknya (baca: ianakhon) sehingga tidak memasukkan bere (baca: laki-laki) ke dalam perkumpulan (baca: punguan marga) Batak-Toba perlu dianalisis dengan cermat agar punguan marga jangan menjadi “tulang ni na mate”.    

Tulang do sitopak parsambubuan.

Ketika anak pertama lahir (baca: anak buha baju) maka mertua membawa sipanganon aek ni unte sekaligus mamoholi si anak baru lahir tersebut.

Dan ketika si anak berumur beberapa bulan maka orang tua si anak membawa anaknya ke rumah ompung baonya dengan membawa sipanganon na tabo songon tungkol tangga karena baru pertama kali si bayi tersebut datang ke rumah ompung baonya (orang tua si perempuan melahirkan).

Setelah sampai di rumah ompung baonya maka orang tua si anak paabingkon si bayi kepada tulangnya, dan biasanya pada saat itulah tulangnya menggunting (baca: manimburi) rambut berenya.

Orang tua si bayi selanjutnya memberikan sipalas roha ni tulang si anak tersebut. Menggunting rambut (manimburi) bertujuan agar ubun-ubun (baca: parsambubuan) si bayi menjadi kuat dan keras yang bermakna supaya si bayi sehat-sehat dan panjang umur.

Tulang si bayi selanjutnya mengatakan,” magodang ma ho bere, dao ma sahit-sahit sian ho. Magodang-godang ansimun ma ho, ulluson pura-pura”. Asa songon nidok ni umpasa “Dangka ni sitorop tanggo pinangait-aithon, simbur magodang ma ho bere sitongka ma panahit-nahiton”.

 Selanjutnya, bila si orang tua bayi telah merencanakan nama bayinya maka tulang bisa menambah nama berenya. Karena itu, fungsi, peran tulang terhadap berenya sangatlah penting sebagai sitopak parsambubuan.

Dan selanjutnya tulang akan memberi ulos Parompa (kain gendongan) terhadap berenya sembari mengatakan,” marompa anak dohot boru ma on dongan mu marsipairing-iringan”. 

Oleh sebab itu, paabingkon bere tu tulangna merupakan salah satu ulaon Batak-Toba yang menggambarkan betapa perlu, pentingnya tulang pada Batak-Toba.

Tetapi pada era belakangan ini ulaon paabingkon bere kepada tulangnya, sekaligus memangkas rambut bere pertama kalinya sepertinya sudah jarang dilakukan terlebih di perantauan dan kota-kota besar.

Padahal paabingkon bere, memangkas rambut (baca: manimburi) merupakan penghormatan paling pertama dari seorang bere kepada tulangnya. Makna tulang sitopak parsambubuan sudah cenderung sebatas kata-kata saja yang lama kelamaan hilang begitu saja.

Akibatnya, fungsi, peran tulang terhadap berenya semakin menipis bahkan hilang sama sekali.

Tulang paborhat laho Mangoli.

Salah satu jenis ulaon Batak-Toba adalah Manulangi Tulang setelah berenya beranjak dewasa (baca: naeng marhasohotan/mangoli).

Orang tua membawa anak-anaknya manulangi tulang dengan maksud agar tulangnya memberi restu kepada berenya melangkah dan/atau kawin/berumah tangga (baca: mangoli/marhasohotan) karena sudah lajang (baca: doli-doli) sehingga sudah pantas membentuk rumah tangga atau kawin.

Jika pada saat itu anak perempuan (baca: boru) ni tulang ada anak gadis (baca: anak boru) maka biasanya Batak-Toba “menawarkan” anak gadisnya tersebut kepada berenya untuk dipersunting (baca: dioli) sebab menurut adat Batak-Toba boru ni tulang adalah pariban anak ni namboru yang memiliki hak saling mengawini satu sama lain seperti ungkapan mengatakan, “Situngko-tungko ni dulang tu si pusuk ni langge, Si boru ni tulang ima iboto ni lae”.

“Si lak-lak ni singkoru si rege-rege ni ampang, Si anak ni namboru ima ibebere ni damang”. (Raja Patik Tampubolon, 1974). Artinya, bahwa anak ni namboru berhak untuk mengawini boru ni tulang, sebaliknya boru ni tulang berhak mengawini anak ni namboru sebab menurut adat Batak-Toba “Tampuk ni bulung bona ni sangkalan” tentang harta pusaka namboru terletak pada maen (baca: boru ni iboto).

Karena itu pula lah pada masa lalu anak ni namboru bisa memaksa boru ni tulangnya (baca: manangkup di tonga dalan) untuk dijadikan istri (baca: pardijabuna, parsondukna) walaupun paribannya  tidak suka dengan anak ni namborunya itu.

Akan tetapi, bila pada saat Manulangi Tulang anak gadis tulangnya tidak ada yang tepat, baik boru tulang na marhaha-maranggi maka tulang merestui berenya untuk mempersunting perempuan lain dengan memberikan “ulos tali-tali laho mangoli”.

Karena itu timbul ungkapan mengatakan,”Hot pe jabu i hot margulang-gulang, manang ise pe dialap bere i, tong doi boru ni tulang”. Artinya, perempuan mana pun yang dipersunting berenya dia menganggap borunya sendiri.

Sehingga makna ulaon Manulangi Tulang adalah menghormati tulang sekaligus meminta restu untuk melangsungkan perkawinan, baik dengan boru ni tulang maupun kepada perempuan lain.

Perkawinan boru ni tulang dengan anak ni namboru pada masa-masa belakangan ini sudah semakin jarang, termasuk melaksanakan ulaon Manulangi Tulang sebelum melangsungkan perkawinan padahal ulaon Manulangi Tulang merupakan salah satu instrumen penting untuk menanamkan pemahaman hakiki peran dan fungsi tulang pada Batak-Toba. 

Tulang pasahat ulos Tintin Marangkup/Siungkap Hombung. 

Sebagaimana telah diuraikan pada poin “Tulang paborhat laho mangoli” bahwa saat itu boru ni Tulang tidak ada yang tepat untuk dipersunting  maka Tulang merestui berenya kawin dengan perempuan lain karena anak perempuan (baca: boru) nya tidak ada yang tepat dan cocok “diberikan” atau dijadikan kepada berenya saat itu. 

Ketika si bere melangsungkan pesta perkawinan (baca: mangadati/marunjuk/ manggarar sulang-sulang ni pahompu dohot ulaon na gok) maka tulang memberikan ulos Tintin Marangkup/Siungkap Hombung.

Pemberian ulos Tintin Marangkup/Siungkap Hombung pada Batak-Toba apabila si bere kawin (baca” mangalap boru) dengan perempuan lain. Sedangkan apabila kawin dengan boru tulang kandung (baca: tulang sitoho-toho) maka pemberian ulos Tintin Marangkup/Siungkap Hombung tidak ada. Sebab tulang sekaligus menjadi mertua setelah mempersunting paribannya sendiri

Pada Batak-Toba seorang mertua sangat dipantangkan menyebut atau memanggil nama langsung menantunya, tetapi apabila bere jadi menantu maka hal itu tidak berlaku karena mertua adalah tulang sekaligus.

Sehingga bila seorang mertua memanggil atau menyebut nama menantu hal itu menandakan bahwa menantunya itu adalah bere kandung. Demikian sebaliknya, jika menantu adalah maen maka mertua laki-laki tidak pantang memanggil nama menantu (baca: parumaen) karena si mertua adalah amang boru.

Sedangkan apabila menantu (baca: hela) bukan bere kandung atau parumaen bukan maen kandung (baca: tutur manolbung) maka sangat dipantangkan memanggil nama langsung(baca: goar sadanak) menantu, cukup dengan memanggil marganya saja.

Batak-Toba sering mengatakan,”Ndang holi-holi sinuanhon, huling-huling ni dalhophon” bermakna bahwa bukanlah keluarga (baca: tutur) baru tetapi sudah memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan terus menerus sehingga tida asing lagi satu sama lain.

 Dalam sistem kekeluargaan atau kekerabatan Batak-Toba yang menganut sistem garis keturunan patrilineal (baca: laki-laki) Tulang memiliki hak Ungkap Hombung terhadap bere laki-laki yakni memiliki akses langsung (baca: na niambangan) atas harta pusaka berenya.

Sementara mertua memiliki akses langsung (baca; na niambangan) terhadap anak perempuannya (baca: borunya). Karena itu lah pada saat memberikan Sinamot Tintin Marangkup dari orang tua perempuan (baca: simatua ni bere) kepada tulang selalu muncul ungkapan mengatakan,”Molo hami di jolo hamu ma dipudi nami, molo hamu di jolo hami ma dipudi muna) artinya, bahwa ketika si laki-laki meninggal maka tulang lah paling berhak (baca: na ni ambangan), tetapi sebaliknya, bila si perempuan yang meninggal maka orang tua si perempuan (baca: hula-hula) lah paling berhak (baca: na ni ambangan).

 Perlu dipahami bahwa kedudukan Tulang Ungkap Hombung (baca: tulang laki-laki) dengan hula-hula (baca: simatua laki-laki) pasca perkawinan adalah hubungan pertalian dalam ulaon adat, bukan hubungan satu marga (baca: sabutuha) sehingga kurang tepat jika ada yang menyebut haha-anggi nami sebab marhaha-maranggi atau sabutuha hanya untuk satu marga saja.

Sehingga lebih tepat menyebut haha-anggi paradatan marhite bere nami atau marhite hela nami, dan seterusnya.

Pemahaman demikian perlu dibumikan dengan baik dan benar agar tidak terjadi kekeliruan memosisikan urgensi tulang pasca perkawinan Batak-Toba. Artinya, jangan setelah kawin hanya memerlukan dan mementingkan mertuanya saja padahal peran dan fungsi tulang di setiap ulaon adat Batak-Toba tidak bisa terlepas atau diabaikan begitu saja karena merupakan elemen dasar Dalihan Na Tolu (DNT).

 Pada Batak-Toba posisi tulang merupakan pertama dan utama bukan sebaliknya memosisikan  hula-hula segala-galanya hingga ada menyepelekan atau melupakan arti penting tulang di dalam kehidupan sehari-hari.

Melupakan tulang sama artinya dengan melupakan atau tidak menghargai ibu/mamak (baca: inang/inong pangintubu) sembari mengagung-agungkan istri (baca: pardijabu, parsonduk bolon) karena hanya mengutamakan hula-hula atau orang tua istri. 

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada manusia di atas dunia ini bisa kawin (baca: marruma tangga, mangoli) tanpa pernah dilahirkan oleh ibunya ? Bukankah seseorang bisa kawin setelah memasuki usia dewasa ?

Karena itu lah maka posisi tulang pada Batak-Toba merupakan paling pertama dan utama  dibandingkan dengan hula-hula istri. Sehinggga amat sangat keliru apabila hubungan antara tulang dengan bere terputus pasca perkawinan yang menimbulkan stigma negatif “tulang ni na mate”.

Bersambung...

Baca lanjutan artikelnya di Pentingnya Peranan dan Posisi Tulang Dalam Adat Batak Toba Bagian Kedua