Harmonisasi perbedaan Etnis di Sumatera Utara
Ibarat permen dengan aneka rasa dan warna, Kota Medan yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, memiliki keragaman yang luar biasa. Bagaimana tidak? Medan merupakan titik bertemunya berbagai golongan, mulai dari agama, budaya, bahasa, hingga etnis. Di sana, setiap golongan tidak hanya bertemu, tetapi juga hidup dalam kerukunan.
Bila Anda berencana untuk melancong ke Kota Medan, pastikan Anda datang saat perayaan tahun baru Imlek. Ribuan warga etnis Cina akan melakukan beberapa ritual secara meriah. Usai bersembahyang di wihara, ada berbagai macam atraksi menarik seperti barongsai, pelepasan lampion dan pesta kembang api.
Bukan hanya warga beretnis Cina saja yang akan Anda temui, tetapi juga warga atau pengunjung beretnis Jawa atau Batak dan warga beragama Islam, Kristen, Katholik, Buddha, maupun Hindu. Tak ada rasa canggung di antara mereka, apalagi permusuhan. Para warga dan pengunjung tampak menikmati suasana sambil memotret atau sekedar jalan-jalan di sekitar wihara terbesar di Asia Tenggara.
Sementara itu, di Kuil Shri Mariamman, Binjai, para umat Hindu merayakan hari raya Thai Pusam. Thai Pusam sendiri merupakan hari raya umat Hindu Tamil untuk bersyukur kepada Dewa Murugan. Para warga serta pengunjung yang datang disambut oleh para remaja berjilbab yang berdiri berjajar sebagai penerima tamu. Ada juga sekelompok warga etnis Cina memainkan barongsai dan beberapa remaja beretnis India Tamil menabuh kendang klasik India serta alat musik sejenis rebana yang terbuat dari rotan. Mereka berdansa mengikuti irama sambil bernyanyi menggunakan bahasa Tamil.
Dari situ, tim Ekspedisi Sabang-Merauke Kota & Jejak Peradaban melintasi Desa Purba Baru, Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Mandailing Natal. Saat singgah, tim berbincang dengan sejumlah santri dari Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Para santri berasal dari bermacam-macam wilayah, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua.
“Di sini semua ada, dari Sabang sampai Merauke. Kami belajar bersama dan hidup rukun,” ujar Tarmizi (16), seorang santri muda yang berasal dari Pasaman, Sumatera Barat.
Warga lain yang tak beragama Islam pun hidup berdampingan dengan para santri yang tinggal di pondok-pondok kecil buatan warga. Betapa indahnya pluralisme di Sumatera Utara, terutama di Kota Medan dan sekitarnya. Keindahan ini bukanlah sesuatu yang tercipta begitu saja, tetapi melalui proses panjang sejarah peradaban.
Bagaimanakah sejarah berdirinya Kota Medan? Pada awal abad ke-16, Belanda berinisiatif membangun kota dan peradaban di tengah lahan kosong, yang kemudian dinamai Medan. Uniknya, kota tersebut didesain dengan mendatangkan orang-orang beretnis Jawa, Cina, Melayu dan Sigh. Setiap etnis dipilih berdasarkan tenaga dan keahlian mereka masing-masing.
Menurut Sejarawan Universitas Negeri Medah, Ichwan Azhari, Belanda mendatangkan orang-orang Sigh beserta sapi-sapinya dari India untuk memenuhi kebutuhan pangan, tepatnya susu. Disusul dengan kedatangan etnis Cina yang dipekerjakan sebagai buruh di bidang angkutan. Sedangkan kebanyakan etnis Jawa bekerja sebagai buruh perkebunan atau di bidang kesehatan dan pendidikan.
Belanda menjadi katalis dalam proses pembangunan ini. Belanda juga memasukkan nilai-nilai internasional di Kota Medan yang lebih bercorak egaliter. Contohnya saja, para priayi dari Jawa tidak segan untuk minum kopi bersama kaum jelata meskipun berbeda suku. Padahal, feodalisma di Jawa pada masa itu sangat kuat. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab tidak adanya budaya yang lebih dominan di Kota Medan.
Hingga saat ini, interaksi sosial antaretnis maupun agama selalu dinamis. Perbedaan atau masalah pasti ada, namun solidaritas warga Medan begitu kuat, sehingga tak pernah terjadi perpecahan konflik. Setiap golongan memiliki filosofi dan kearifannya sendiri dalam menghadapi segala sesuatu. Semoga kerukunan dalam perbedaan yang telah tercipta selama ini dapat terus terjaga.
Sumber Kompas Travel