Sedekade Merdi Sihombing Geluti Kain Tenun
Dengan mengenakan sarung dan ikat kepala etnik, laki-laki paruh baya itu tampak mencolok di antara banyak orang yang hadir di Palalada Restaurant, Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia pada Selasa siang (12/8). Mencolok lantaran pakaian tradisionalnya, apalagi ia ada di sebuah mal para elite nan modern itu. Rupanya ia adalah Merdi Sihombing, si empunya hajat acara yang saya hadiri siang itu, peluncuran buku “Perjalanan Tenun” karya Merdi Sihombing dan pembukaan “Pameran Karya Satu Dekade Perjalanan Merdi Sihombing”.
Sekaligus bertindak sebagai MC, Merdi Sihombing membuka acara tersebut dengan memperkenalkan diri dan menguraikan secara singkat kiprahnya dalam dunia desain dan kain tenun selama satu dekade. Sepuluh tahun bukan rentang waktu yang singkat, apalagi untuk seorang Merdi Sihombing yang berusaha “mengangkat” kain tenun dari sekadar kain tradisional sehari-hari menjadi produk industri kreatif yang membanggakan Indonesia. Keluar-masuk daerah pedalaman ia lakoni untuk mengajari para penenun lokal dan memberdayakannya. Meskipun masih terus berproses, toh Merdi sudah mulai merasakan hasilnya dengan adanya apresiasi dari dunia, di antaranya dengan adanya undangan untuk mengikuti pameran-pameran di luar negeri.
Sebagai pihak pemerintah yang mendukung industri kreatif, hadir Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu. Dalam sambutannya, Ibu Marie menuturkan rasa bangganya melihat geliat masyarakat yang mulai memakai kain tradisional, semakin banyaknya anak muda yang bekerja di industri kreatif menenun dan membatik, dan semakin banyaknya penggunaan pewarnaan alami. Ia pun menyambut baik penerbitan “Perjalanan Tenun” yang diharapkan bisa mengangkat warisan budaya lewat fashion, menginspirasi desainer lainnya, dan menguatkan rasa cinta kepada Indonesia.
Acara dilanjutkan dengan fashion show hasil desain Merdi Sihombing. Ternyata, dari kain tenunan penenun lokal yang diwarnai secara alami, lahir busana-busana cantik nan elegan seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Fashion show mengakhiri acara peluncuran buku “Perjalanan Tenun” dan pembukaan “Pameran Karya Satu Dekade Perjalanan Merdi Sihombing”.
Pameran Karya Satu Dekade Perjalanan Merdi Sihombing
“Mbak, fotonya jangan terlalu dekat,” tegur seorang pria yang berpakaian hitam-hitam saat saya memotret kain tenun tepat pada bandrolnya. Mungkin dia takut saya berkoar-koar tentang harga kain Merdi Sihombing. Saya cuma melongo memandang pria itu, mengira-ngira apa alasan larangannya dan dia lanjut berkata, “Pak Merdi ini menghidupi banyak orang.” Dan saya masih belum tahu hubungannya antara dia melarang saya memotret dan jasa Merdi Sihombing yang menghidupi banyak orang. Namun, saat melihat lanyat yang dikalungkan di leher saya, si pria itu jadi lebih bersahabat. Ternyata tadi dia pikir saya ini konsumen. Setelah tahu saya dari media, dia pun bercerita panjang lebar tentang Merdi Sihombing yang tidak lain adalah pamannya. “Nulis yang banyak ya, Mbak,” katanya. “Oh pasti,” jawab saya.
Setelah tragedi foto bandrol terselesaikan, si pria yang mengaku (tapi kayaknya sih bener) bernama Anggia itu bercerita tentang beberapa kain sutra yang digantungkan tinggi-tinggi dalam pameran itu. Sekilas saya lihat harganya Rp 12.500.000,00. Mungkin dia lihat saya melirik harganya, makanya dia ngasih tahu kalau harga kain sutra memang belasan juta. Katanya, kalau ada yang lima juta misalnya, itu pasti sudah banyak campuran bahan lainnya. Dan dia menjelaskan kalau kain sutra yang saat itu sedang saya pegang itu adalah kain sutra dari benang ulat sutra yang makan alpukat. Hah? Saya sampai nanya dengan ngulang kata-katanya saking wownya dapat pengetahuan baru itu. Saya lalu tanya apa kalau si ulat sutra makanannya beda, benangnya pun beda. Tapi saya lupa jawabannya. Anggap saja beda ya benangnya :D
Kembali ke pernyataan bahwa Merdi Sihombing menghidupi banyak orang, Anggia lalu cerita bagaimana relasi Merdi dengan para penenun lokal. Jadi, Merdi tidak asal mengambil kain tenun dari penenun lokal lalu mendesain, menjahit, dan menjualnya. Lebih dari itu, Merdi juga mengajari para penenun lokal, misalnya tentang pewarnaan alami dan filosofi motif kain tenun. Selain mengedukasi, Merdi juga arif dalam memberikan harga kepada penenun lokal dalam arti tidak “mencurangi” penenun lokal. “Mencurangi” dalam hal ini misalnya membeli dari penenun lokal dengan harga yang rendah (tidak pantas) sementara dia sendiri menjualnya dengan harga sangat mahal. Wah, sungguh arif caranya mengangkat kearifan lokal dalam bentuk kain. Tsah…. Pantas saja Anggia tidak rela saya mengobrak-abrik kiprah Merdi dengan cara memotret bandrol (yaelah, tetep :p).
Yang lebih menakjubkan lagi, Merdi (Anggia juga sering ikut ke daerah-daerah pedalaman) tidak hanya memberdayakan para penenun di satu daerah. Daerah-daerah pedalaman yang dirambah Merdi untuk diberdayakan para penenun lokalnya itu Baduy, Papua, Muaro Jambi, Mentawai, Alor, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Sukunya ya suku Dayak Benuaq, Dayak Iban, Baduy, Melayu. (Mungkin ada lagi. Saya nyatetnya cuma itu.) Nah, dari semua daerah itu, yang dihadirkan di pameran ada booth (mungkin kurang tepat penggunaan istilah “booth” dalam hal ini) Batak, Baduy, Alor, Borneo, dan Papua. Di setiap booth tersebut disertai catatan filosofis yang bikin dada sesek saking jadi cintanya kepada Tanah Air.
“Kehilangan budaya merupakan sesuatu yang sangat menakutkan”. Suku yang berdiam di dataran tinggi terdiri dari lima puak: Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Tapanuli Selatan (Sipirok, Angkola Mandailing) yang masing-masing mempunyai kain tenun dan kerajinan yang mewakili. Sayangnya belum mengalami proses kreatif yang maksimal.
Dikerjakan oleh sekelompok penenun remaja yang masih duduk di bangku sekolah dan ibu usia muda yang tinggal di Kabupaten Samosir. Dukungan dimulai dengan bantuan CSR perusahaan asing dan Austria “Lenzing/Spv, Chrystilize Swarofsky dan diteruskan dengan kerja sama Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Bank BNI, yang telah berakhir setahun yang lalu.
Motifnya melambangkan sifat para raja yang harus mampu sebagai pemersatu/pengikat (tumtum = ikat). Pada kedua ujungnya terdapat dua motif yang melambangkan kehidupan (pinarhalak Baoa = laki-laki & pinarhalak Boru = perempuan)
Pas lihat-lihat booth ini, belum ada kertas catatannya tuh. Panitianya masih belum selesai siap-siap kali :(
“Ikat dan keindahan alam bawah laut menjadi inspirasi kreatif dan produk 100% Indonesia”. Biota laut (teripang, cumi, rumput laut, dan lainnya) sangat bermanfaat bagi rakyat Alor, dan limbahnya juga bermanfaat bagi kain tenun ikat dan ditenun menggunakan kapas yang juga ditanam sendiri oleh para perajinnya. Ikat dan pemandangan bawah laut Alor yang indah menjadi inspirasi kreatif untuk Merdi Sihombing dengan melakukan pemotretan bawah laut. Proyek ini didukung oleh Kementerian Perindustrian, Direktorat IKM Wilayah III.
“Hutan tropis dan eksotika Dayak harus dikembalikan sebagai identitas Indonesia”. Hutan tropis sebagai paru-paru dunia hanya dimiliki oleh Indonesia dan suku Dayak Iban yang terkenal dengan kearifan budayanya, seperti anyaman, ukiran, musik, tari, dan budaya tenun ikatnya yang khas, “pua kumbu”. Tetapi sangat disayangkan, dunia mengenalnya sebagai milik negara tetangga, Malaysia dan Brunei. Ulap doyo, ikat khas Dayak Benuaq yang terbuat dari serat anggrek liar juga harus dilestarikan.
“Membajukan Papua dengan baju mereka sendiri”. Tas khas Papua yang dirajut tangan terbuat dari serat anggrek liar diwarnai dari tumbuh-tumbuhan. Istilah noken juga digunakan dalam berdemokrasi bagi penduduk Papua yang tinggal di daerah dataran tinggi (pegunungan). Noken harus tetap dipelihara dan dilestarikan serta dikembangkan untuk kekinian, demikian juga sistem berpolitik mereka.
Kalau buat Kompasianer sih, istilah noken dalam politik di Papua nggak usah dijelaskan ya. Secara pada mantengin copras-capres, ya pasti hafal :D
Tertarik mengunjungi pameran karya Merdi Sihombing? Yang saya bagi itu cuma sedikit lho. Pameran masih akan berlangsung hingga 1 September. Tempatnya di Alun-alun Indonesia, West Mall Level 3 Grand Indonesia, Jl. MH Thamrin No. 1, Jakarta.
Konferensi Pers Menparekraf
Selepas putar-putar di ruang pameran, saya dan beberapa teman awak media mendekati Bu Marie Elka untuk wawancara. Agak kaget juga denger pertanyaan satu orang. Pertanyaannya kayak pertanyaan wartawan gosip (kalau saya sih kayak wartawan majalah “Misteri”). “Ibu bagus banget pakaiannya. Kuning oranye,” kata salah satu di antara mereka. Trus Ibu Marie jawab sambil pegang-pegang baju dan kainnya, kurang lebih begini, “Oya? Tadinya saya mau pakai songket, tapi….” Lupa terusannya, hehe…
Tapi ada poin penting kok. Menurut Bu Marie, kain tenun itu harta karun Indonesia. Terkait AFTA 2015, ia optimis akan peluang kain tenun karena cuma kita yang punya, baik bahan baku maupun keterampilan membuatnya. Namun, yang perlu dilakukan adalah memotong mata rantai dari penenun ke orang kreatif agar harga yang diterima si orang kreatif tidak terlalu mahal karena banyak pihak di antara penenun dan orang kreatif. Namun, pembagian keuntungan di antara keduanya juga harus adil.
Selain itu, si orang kreatif harus mengerti bisnis atau perhitungannya agar harga yang ia patok tidak terlalu mahal atau terlalu murah. Misalnya, ia juga harus bisa menghargai keterampilannya dengan harga yang pantas. Bu Menteri yang sering memilih pakai kain songket palembang untuk acara malam dan songket flores kalau ke luar negeri ini pun berharap makin banyak orang kreatif yang bisa menghidupkan dan menciptakan nilai lebih pada kearifan lokal.
Konferensi Pers Merdi Sihombing
Kalau membaca catatan kecil di booth-booth yang fotonya saya pajang di atas, Merdi Sihombing jelas bukan desainer biasa. Setuju? Dari beberapa sambutan peluncuran bukunya sih ada yang bilang Merdi itu desainer sekaligus periset. Yang jelas dia tahu banget kearifan lokal di setiap daerah yang kain tenunnya digelutinya. Ya iyalah, selama sepuluh tahun dia bolak-balik tinggal di daerah-daerah itu. Namun, menurutnya, perjalanannya menekuni kain tenun tidak mungkin akan mencapai satu dekade kalau saja dia tidak bisa menundukkan egonya. Dengan menundukkan egonya, ia bisa menundukkan ego para penenun lokal. (Tenang, ini bukan pelajaran filsafatnya Sigmun Freud kok). Salah satunya ya dengan kesabaran. Misalnya kalaupun kain tenun yang dihasilkan penenun lokal ada yang kurang sesuai dengan harapannya, Merdi tetap membelinya.
Oya, dalam proses menghasilkan kain tenun, langkah awalnya Merdi mengajukan proposal idenya kepada sponsor (bisa pemerintah maupun swasta). Setelah disetujui, Merdi memesan kain kepada penenun dengan standar motif dan sebagainya. Setelah itu, kain pesanan itu dibeli dari penenun, dijahit, dan dijual. Sementara itu, dalam kerja sama dengan penenun, Merdi berusaha menanamkan rasa memiliki kain tenun pada diri para penenun. Ke depannya, Merdi berencana terjun ke bisnis retail dan bersaing di pasar global. Selain itu, ia pun ingin membuat film.
Apa yang dicapai Merdi hari ini sebenarnya berawal dari keprihatinannya melihat orang Indonesia yang dinilainya kurang berkarya. Lagi-lagi yang ia saksikan di kancah internasional selalu orang asing. Lulusan Institut Kesenian Jakarta ini pun bertekad suatu saat ia-lah yang akan menjadi pembicara dalam suatu ajang internasional. Ternyata, impian itu sudah dipenuhinya. Orang-orang pun respek kepadanya. Setidaknya, itulah yang saya lihat dari perlakuan rekan-rekannya yang hadir dalam acara itu (Yuni Shara dan Iis Dahlia juga dateng lho). Bahkan, salah seorang rekannya berbicara kepada kami saat berpamitan kepada Merdi, “Bukan hanya kain tenun yang perlu dilestarikan, tapi juga Merdi. Totalitasnya itu lho.” Semoga makin bergairah mengharumkan nama Indonesia, Merdi. Good luck selalu :)
Pas saya liputan ini kok rasanya ribet banget. Bentar-bentar motret, setelah itu rusuh nyatet. Khawatir nggak punya bahan buat ditulis. Giliran nulis, eh malah nggak pengen berhenti (ditambah fotonya banyak) sampai-sampai ini tulisan dan foto dipangkas sana-sini biar nggak kepanjangan. Itu aja saya belum nuangin ide-ide cemerlang saya buat memajukan industri kreatif Indonesia. Gaya bahasanya pun nggak konsisten. Di awal kayak baca “Dunia dalam Berita”, makin ke bawah makin kayak corat-coret buku bon. Anyway, semoga bermanfaat ya :)
Jakarta, 13 Agustus 2014
Sumber Kompasiana
Penulis: