Agama dan Adab: Tradisi Martabartabar
Di pelosok-pelosok Samosir, sampai pertengahan 70-an, ada satu tradisi yang sampai sekarang menyisakan "trauma" yang menakutkan bagi saya, yakni tradisi martabartabar. (Apakah di antara kalian teman dan kerabat pengguna Facebook, khususnya sesama orang Samosir mengingatnya, khususnya yang lahir dalam tahun 50-an hingga 60-an? Bila tak, tanyalah orangtua atau kerabat kalian. Barangkali masih mereka ingat).
Martabartabar adalah ritual yang dilakukan warga suatu atau beberapa kampung, sejak pukul delapan malam hingga buhabuha ijuk (menjelang fajar). Sepanjang malam, mereka memukul-mukul dinding rumah, peralatan dapur, sambil meneriakkan "tabar-tabar-tabar!" Tradisi tersebut dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat (begu, hantu) yang diyakini telah menebarkan penyakit dan menelan korban jiwa di kampung tersebut maupun di kampung tetangga.
"Orang pintar" atau dukun (namalomalo) yang diminta saran atau pendapat, lantas menyuruh agar warga melakukan upacara manguras huta (membersihkan kampung) dan malamnya dilakukan acara tabar-tabar. Sepanjang malam, yang bagi saya, anak kecil dan menuju remaja, menjadi malam yang menggelisahkan. Dari kejauhan terdengar suara ramai, riuh, serempak: "tabar-tabar-tabar!" Warga kota kecil Pangururan, umumnya memang tak lagi melakukan tradisi tersebut, namun di pinggiran, seberang danau, masih.
Suasana kampung-kampung yang melakukan upacara, gelap gulita, menyeramkan. Para orang dewasa sepanjang malam memukuli dinding dan apa saja yang menimbulkan bunyi. Upacara tersebut diyakni akan membuat hantu, begu, setan, takut, lalu menjauh. Orang sakit akan bisa disembuhkan, nyawa warga tak lagi terancam. Ada begu ganjang, begu antuk, begu nurnur, dan begu lain yang menyerbu kampung. Menakutkan, menyeramkan.
Mereka percaya, kedatangan atau invasi hantu-hantu yang menyebabkan penyakit dan menyambar nyawa itu akibat ulah seseorang atau beberapa orang, yang bermaksud jahat pada mereka. Kecurigaan pun merebak, tuduhan bisa menyasar pada siapa saja tanpa pertanggungjawaban yang layak atau setidaknya pakai akal. Irasionalitas dihadapi dengan perbuatan irasional.
Para rohaniawan (Kristen dan Katolik) pun sibuk mengunjungi kampung-kampung yang melakukan agar menghentikan ritual tersebut, menyarankan agar memilih berdoa, melantunkan kidung rohani--sesuai kepercayaan kristiani--bila memang dipercayai ada hantu-hantu yang tengah meneror. Namun, acapkali tak berpengaruh, masyarakat kampung tetap melakukan hingga pagi dini.
Kepercayaan. Keyakinan. Betapa tak mudah diuraikan.
Meski mengaku beragama--setidaknya terdaftar di satu denominasi gereja--masyarakat kampung yang masih percaya kuasa roh jahat, begu, mistik, bullebulle (santet), tak mudah digiring agar menggunakan akal sehat dan nalar. Walau ilmu kedokteran telah mampu menjelaskan asal-usul atau penyebab suatu penyakit dan bisa disembuhkan (tak selalu) melalui perawatan dan pengobatan, masih banyak warga yang meyakini ada kekuatan jahat yang membuat seseorang sakit atau mati.
Gereja (atau lembaga keagamaan) berusaha meyakinkan orang banyak bahwa hantu tak punya kuasa, walau dalam beberapa nats dalam Bible ada disebut mengenai kuasa-kuasa kegelapan yang memiliki kemampuan, dan bisa dahsyat. Tetapi memang, para rohaniawan harus menyampaikan dan meyakinkan warga bahwa hantu tak perlu diakui "eksistensinya." Berpedomanlah pada iman-kepercayaan, dijauhilah kepercayaan-kepercayaan yang meresahkan, dan menakutkan.
Para penentang agama Samawi (Abrahamik) boleh menuduh bahwa kedatangan (misi) Kristen-lah penyebab memudarnya sebagian budaya, adat, kearifan, dan tradisi masyarakat Batak hingga (seperti) tercerabut dari akar kulturalnya. Akibat Zending (misi) yang dibawa penginjil dari Jerman dan negara lainlah maka identitas Batak jadi bergeser. Pula yang mendiskreditkan orang-orang yang dituduh sipele begu (penyembah roh atau hantu) yang masih setia dengan adat, budaya, tradisi, dan kepercayaan-kepercayaan turunan.
Tetapi, suka atau tidak, banyak yang merasa lebih nyaman dengan meninggalkan keyakinan-keyakinan yang berasal dari tradisi. Dan, tradisi martabartabar pun perlahan lenyap--seperti halnya melakukan upacara pemanggilan roh, arwah orang mati, melalui medium sordam (alat tiup, mirip suling Sunda namun ukurannya lebih besar) atau gondang mandudu atau gondang malim, yang keduanya membutuhkan medium manusia yang disebut namalomalo atau dukun.
Saya tak hendak menyebut bahwa tradisi atau kepercayaan martabartabar, marsordam, margondang malim, sebagai bentuk kesesatan--walau tak menganutnya. Pantang bagi saya menghakimi keyakinan orang lain, termasuk agama yang berbeda. Sejak semula saya sependapat bahwa kepercayaan, iman, merupakan sesuatu yang pelik, spesifik, irasional, namun memiliki daya pukau yang membuat penganutnya merasa nyaman atau tenang, dengan "iming-iming" harapan. Terutama harapan akan ikut menghuni sorga kelak, sesuai dengan keyakinan masing-masing, dan menjadi misi utama agama-agama Abrahimik.
Paradoksalnya, dan juga tragisnya, manusia-manusia yang beragama demi harapan yang amat indah yakni ikut menghuni alam surgawi, yang menghujat paganisme dan kepercayaan yang disebut animisme, penyembah berhala, sejak dua ribu tahun lalu kerap melakukan perbuatan sadis, barbar, kejam, karena dorongan agama-kepercayaan. Kecurigaan, kebencian, dan perilaku barbarian pun masuk dalam catatan sejarah hitam penyebaran agama, demi iman-kepercayaan yang dijunjung.
Maka, adakalanya saya bertanya: Sesungguhnya apa yang jadi pembeda penting antara penganut agama-agama Samawi (Abrahimik) dengan mereka yang dituduh sipele begu, penganut paganisme atau animisme itu. Mestinya, pikiran dan perilaku yang lebih mengedepankan adab. Mestinya.***
Penulis Suhunan Situmorang
Postingan Facebook 9 November 2016
Judul Asli Agama dan Adab
Foto Ilustrasi Keluarga Batak Marsomba (Karine Eye: Flickr.com)