Cari

Ini Alasan Pria Batak Mengambil Boru Jawa Sebagai Pendamping! Baca yuk

Posted 08-06-2017 18:55  » Team Tobatabo
Foto Caption: Ilustrasi Pernikahan

Pernikahan antarsuku sudah lama menjadi bagian masyarakat Batak. Khususnya setelah halak hita mulai merantau keluar dari kampung halamannya pada abad ke-19.

Menjadikan Pulau Jawa - utamanya Jakarta - sebagai tujuan utama, para perantau Batak akhirnya banyak yang menikah dengan suku Jawa.

Karena begitu banyaknya pernikahan antara pria Batak dan wanita Jawa kala itu, maka dikenal lah istilah ‘marboru Jawa’ (beristrikan Jawa).

Uniknya, istilah ‘boru Jawa’ tidak hanya dipakai orang Batak untuk wanita yang berasal dari suku Jawa saja. Tapi, siapapun wanita dari suku yang banyak tinggal di Pulau Jawa. Sebut saja, wanita Sunda, Betawi, dan sebagainya.

Banyak alasan pria Batak menikahi Boru Jawa, kendati sebenarnya orangtua mereka rata-rata masih menginginkan anaknya menikahi boru ni tulang (putri saudara lelaki ibu), atau setidaknya sesama orang Batak.

Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan utama kenapa para pria Batak akhirnya memilih boru Jawa, ketimbang boru Batak.

Alasan ini tidak main-main, karena harus diakui pernikahan adat Batak, misalnya Batak Toba, membutuhkan banyak biaya.

Setidaknya ada 2 (dua) elemen yang membuat biaya pernikahan adat Batak tinggi. Pertama adalah sinamot atau tuhor, yakni mas kawin dalam adat Batak Toba yang diberikan pihak laki-laki (paranak) kepada pihak perempuan (parboru) pada saat pesta pernikahan.

Dulu sinamot bisa berupa hewan ternak, namun setelah adanya mata uang, hampir semua sinamot sekarang berbentuk uang. Ya, sekali lagi UANG! :)

Uang sinamot inilah yang kerap memberatkan pria Batak untuk mempersunting Boru Ni Raja. Apalagi jika tuntutan keluarga pihak perempuan terlalu tinggi. Bisa-bisa rencana pernikahan akhirnya batal.

Elemen utama kedua biaya pernikahan adat Batak adalah biaya pesta itu sendiri, utamanya biaya makan (katering).

Perlu diketahui, salah satu unsur penting dalam pesta nikah (unjuk) adalah persembahan daging dan nasi oleh paranak kepada parboru (pihak perempuan).

Paranak menyebut upacara itu sebagai tanggo juhut (daging dipotong-potong). Sementara, parboru dan kerabatnya menyebutnya sebagai mangallang tuhor ni boru atau mangan juhut ni boru (makan boli ni boru atau makan daging boru, arti kiasan).

Tidak ada yang bisa melawan cinta. Begitulah kira-kira ungkapan para pria Batak yang akhirnya memilih boru Jawa untuk pendamping hidupnya, kendati masih ada boru ni tulang-nya yang masih jomblo.

Bukannya tidak mau menghargai adat, para pria Batak yang memilih boru Jawa ini kebanyakan beralasan cinta adalah yang utama, adat hanya memperkuat. Apalagi, jika calon istrinya juga seiman, sehingga mereka menganggap tidak ada penghalang yang berarti.

Bagi pria Batak yang menghargai adat, namun memilih boru Jawa, biasanya dia membuat acara khusus untuk tulang-tulangnya sebelum dia melangsungkan pernikahan. Tujuannya, meminta izin kepada tulang agar dia boleh menikahi wanita yang bukan paribannya.

 Karena kesopanan si bere (keponakan), si tulang biasanya mengizinkan. Bahkan, mereka akhirnya bisa berkata kepada si bere: “Anggaplah wanita pilihanmu itu juga sebagai boru ni tulang”. Luar biasa bukan adat Batak itu

Alasan lain bahwa banyak pria Batak akhirnya memilih boru Jawa adalah adat Batak tidak sekaku yang dibayangkan. Buktinya, dalam adat Batak, ada yang namanya mangain boru (mengangkat anak perempuan/memberi marga).

Dengan mangain boru ini, pria Batak bisa menjadikan boru Jawa sebagai boru Batak. Tentu yang mengangkat marga bukanlah keluarga pihak pria sendiri, melainkan keluarga lain yang telah ditentukan menjadi orangtua angkat si boru Jawa.

Jika ingin menikah secara adat Batak Toba, orangtua angkat untuk boru Jawa adalah wajib, kendati dia masih mempunyai orangtua kandung yang setuju dengan pernikahan tersebut.

Nah, jika sudah diangkat lewat acara adat mangain boru, wanita yang terlahir bukan sebagai orang Batak itu akan dianggap sepenuhnya sebagai boru Batak. Tidak boleh ada hak-hak dia sebagai boru Batak yang dikurangi, sekalipun dia menjadi Batak lewat pentahbisan secara adat.

Jika ada kalangan yang mempersoalkan hal tersebut, mereka berarti sama saja mempertanyakan proses adat mangain boru yang sudah dilakukan.

Meski terlahir sebagai orang Batak, banyak pria halak hita yang ternyata sudah tidak memegang teguh adat istiadatnya. Hal ini yang akhirnya membuat mereka merasa tidak ada keharusan untuk menikahi pariban-nya atau setidaknya boru Batak.

Jika sudah demikian, ya apa mau dikata. Memang setiap orang mempunyai kebebasan untuk berpikir dan bersikap sesuai apa yang dia anggap benar. Meski mungkin mereka tidak tahu bahwa adat Batak tidak sekaku yang dibayangkan dan banyak membawa nilai positif.

Nah, dalam masyarakat Batak yang memiliki kekerabatan yang erat, mereka yang ‘meninggalkan’ adat ini biasa akan diberi label negatif. Misalnya, dicap sebagai ‘batak dalle’ (Batak tersesat), dan sebagainya.