Ini Orang Batak yang Disebut Pertama Injakkan Kaki di Eropa
Sebagai bangsa perantau, wajar jika orang Batak ada di mana-mana, termasuk di sejumlah belahan benua. Amerika, Eropa, Australia, bahkan sampai Afrika.
Sebagai tempat berawalnya peradaban modern, Eropa menjadi tempat tujuan awal perantauan orang Batak secara khusus, dan orang Indonesia secara umum. Rata-rata mereka pergi ke Benua Biru untuk menuntut ilmu.
Lalu, siapa orang Batak yang pertama kali injakkan kaki di Eropa?
Sejumlah sumber merujuk pada satu nama: Willem Iskander Nasution. Pria Batak Mandailing ini sudah menginjakkan kaki di Eropa pada 1857 atau hampir separuh abad sebelum Soekarno lahir (1901).
Dia lahir di Pidoli, Mandailing Natal, pada 1840 dengan nama Sati Nasution, dan bergelar Sutan Iskandar. Setelah dibaptis di Arnhem pada 1858, dia lebih sering menggunakan nama Willem Iskandar.
Bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Raja Tinating Nasution dan Si Anggur ini adalah generasi ke-11 dari klan Nasution.
Di tanah kelahirannya, Willem dikenal sebagai penulis dan tokoh pendidikan. Sebab, sekembalinya dari Belanda pada 1861, dia mendirikan sekolah di Mandailing.
Lalu bagaimana Willem bisa sampai ke Belanda?
Setelah lulus Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Panyabungan Kota, Mandailing Natal (1853-1855), Willem diangkat menjadi guru di sekolahnya tersebut pada usia 15 tahun.
Selama menjadi guru, dia juga bekerja sebagai jurutulis bumiputra (Adjunct inlandsche sehrijfer) di kantor resident Mandailing-Angkola.
Nah, kepergian Willem ke Belanda adalah dalam rangka melanjutkan sekolahnya. Bersama Alexander Philippus Godon, dia berangkat ke Negeri Kincir Angin itu pada 1857.
Pertama ia belajar di Vreeswijk. Dibantu oleh A P. Ghodon dan Prof. H.C. Milles (guru Filsafat, Sastra dan Budaya timur di Utrecht), Willem mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Belanda di Sekolah Guru (Oefenschool).
Dia kemudian lulus dan mendapat ijazah Guru bantu (Hulponderwijzer) pada 5 Januari 1859.
Sekembalinya dari Belanda, Willem atas dukungan pemerintahan kolonial Belanda dan kepala-kepala kampung mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tano Bato. Sekolah ini didirikan secara swadaya dengan gedung sekolah yang sangat sederhana.
Tahun 1874, sekolah ini ditutup dan dipindahkan ke Padangsidempuan karena Willem pergi ke Belanda melanjutkan sekolah untuk mendapatkan Ijazah Guru Kepala (Hoofdonderwijzer).
Dia berangkat bersama Benas Lubis (Muridnya), Raden Mas Sunarso dari Kwekschool Surakarta, Mas Ardi Sasmita dari Majalengka.
Bagaiamana kehidupan pribadinya?
Willem menikah dengan Maria Jacoba Christina Winter 27 Januari 1876. Namun sayang, pernikahannya hanya berumur 103 hari karena sang istri meninggal diidap penyakit serius. Mereka tidak mempunyai keturunan.
Atas jasa dan pengabdiannya, Willem Iskander diabadikan sebagai nama jalan di Mandailing Natal dan di Medan. Selain itu merupakan nama sebuah SMK di Mandailing Natal, dan nama Sanggar Seni di Tebet, Jakarta Timur.
Willem Iskander juga pernah mendapat penghargaan Hadiah Seni dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 1978, KEPRES No 101/M/Tahun 1978. Ini lantaran dia aktif menulis karya sastra dalam bahasa Mandailing.
Apa saja karya Willem Iskander?
Berikut karya Sastra Willem Iskander dalam Bahasa Mandailing yang diterjemahkan oleh Basyral Hamidy Harahap ke dalam Bahasa Indonesia:
- Adong halak ruar (Ada orang luar)
- Na mian di Panyabungan (Yang berdiam di Panyabungan)
- Tibu nian ia aruar (Moga cepat ia keluar)
- Harana boltok madung busungan (Karena perutnya sudah buncit)
- Laho hita marsarak (Saat kita akan berpisah)
- Marsipaingot dope au (Aku berpesan kepadamu)
- Ulang lupa paingot danak (Jangan lupa mengingatkan anak)
Manjalaki bisuk napeto (Agar selalu mencari kebenaran)Willem meninggal dunia dunia pada 1876 dan dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam.