Cari

Limbahnya Rugikan Masyarakat Laguboti, PT Hutahaean Dituntut Bayar Rp 60 Juta

Posted 27-02-2019 14:44  » Team Tobatabo
Foto Caption: Harangan Wilmar Hutahaean pemilik PT Hutahaean

MEDAN - Menjalankan usaha pabrik tapioka di Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatra Utara,PT Hutahaean dinyatakan telah menimbulkan kerugian bagi warga di enam desa. Desa Pintu Bosi, Desa Ujung Tanduk, Desa Sipituama, Desa Pardomuan Nauli, Desa Gasaribu dan satu desa lainnya.

Kendati diakui keberadaan usaha PT Hutahaean, yang merupakan kepunyaan pengusaha besar di Riau yang berasal dari Laguboti telah memperkuat perekonomian masyarakat setempat, tetapi dalam delapan tahun terakhir (sejak 2011), warga justru menderita.

Dalam pertemuan dengan Komisi A dan Komisi D DPRD Sumut, di gedung dewan, Jalan Imam Bonjol, Medan, Selasa (26/2/2019), perwakilan masyarakat yang terdiri atas sejumlah kepala desa dan kepala Badan Perwakilan Desa menjelaskan kerugian yang mereka derita. Rapat yang dipimpin Hanafiah Harahap tersebut dihadiri Kapolres Tobasa, AKBP Agus, Dinas Lingkungan Hidup Tobasa, Camat Laguboti, serta manajemen PT Hutahaean, yakni GM Dungdung Simanjuntak.

Kata kepala Desa Gasaribu, Mangatas Hutahaean, limbah yang dihasilkan pabrik tapioka Hutahaean tidak dikelola lebih dulu di peralatan IPAL sebelum dialirkan. Bak penampungan yang berjarak sekitar 2 KM dari pabrik tidak menggunakan pipa saat limbah dialirkan, tetapi menggunakan aliran irigasi yang fungsinya untuk mengairi sawah warga. Akibatnya, lendir limbah tapioka diduga mencemari air. Selanjutnya usaha budidaya ikan dan pertanian yang dijalankan masyarakat mengalami kerugian.

"Sejak 2011 kami tidak bisa lagi berusaha budi daya ikan karena bermatian. Tanaman padi membusuk dan tidak berbuah. Penyebabnya karena air berlendir dari limbah tepung tapioka PT Hutahaean," ujar Mangatas.

Pernyataan tersebut dikuatkan Kepala BPD Gasaribu, Arnold, yang menyebutkan akibat limbah tepung tapioka 3.000 ton padi yang seyogianya dihasilkan jadi gagal. Lumpur dari limbah pabrik membuat air jadi mengandung lendir dan membuat tanaman padi mati.

Pada 2016, ungkap Mangatas, sesungguhnya sudah ada kesepakatan di DPRD Tobasa disaksikan Kapolres sebelumnya AKBP Jidin Siagian. Ketika itu disepakati PT Hutahaean mengganti kerugian warga senilai Rp 60 juta. Akan tetapi tidak berjalan, perusahaan ingkar janji. Hingga kemudian Kapolres yang baru menjabat, kerugian yang dialami warga terus berlangsung.

Dungdung Simanjuntak menyatakan, pembayaran kesepakatan Rp 60 juta tidak berjalan karena keberatan komisaris. Mereka tidak setuju uang tersebut dikatakan sebagai ganti rugi. Dia membenarkan bahwa limbah dari pabrik ke bak penampungan tidak menggunakan pipa tetapi aliran irigasi petani.

Terhadap fakta-fakta yang disampaikan warga dan manajemen PT Hutahaean, anggota Komisi D Leonard Samosir meminta agar perusahaan tidak lagi mengalirkan limbahnya dari aliran irigasi. Tetapi segera memasang pipa agar tidak menyebabkan air untuk sawah dan budidaya ikan oleh warga di enam desa tidak tercemari. Ganti rugi sebesar Rp 60 juta diminta dibayarkan.

"Segeralah dipasang pipa aliran limbah itu dan bayarkan kesepakatan ganti rugi Rp 60 juta kepada warga," ujar Leonard yang berasal dari Partai Golkar.

Anggota Komisi D lainnya, Sarma Hutajulu, menyatakan hal serupa. Diharapkan pada saat pihaknya melakukan kunjungan kerja ke Laguboti, Tobasa, kedua hal tersebut sudah dijalankan PT Hutahaean.

Dungdung yang menyebutkan produksi tepung tapioka PT Hutahaean 60 ton per hari tidak membantah atau menyampaikan keberatan terhadap permintaan Komisi D. (Parlindungan Sibuea)