Cari

Hai Anak Muda, Ini Penjelasan Mangalua Atau Kawin Lari Dalam Adat Batak Toba

Posted 15-08-2013 00:31  » Team Tobatabo

Perkawinan merupakan suatu bentuk ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin, atau antara seorang pria dan seorang wanita di mana mereka mengikatkan diri untuk bersatu dalam kehidupan bersama.

Proses ini melalui ketentuan yang terdapat dalam masyarakat laki-laki yang telah mengikatkan diri dengan seorang wanita setelah melalui prosedur yang ditentukan dinamakan suami dan wanita selanjutnya disebut sebagai istri.

Mangalua adalah kawin lari. Secara bebas, manga adalah melaksanakan dan lua adalah membawa atau lari. Secara leksikal berarti melaksanakan kegiatan membawa lari atau melarikan.

Secara konseptual berarti sepasang muda-mudi yang kawin dengan cara di luar prosedur perkawinan ideal karena satu atau beberapa hal, seperti karena masalah ekonomi (masalah pembayar sinamot yang kurang), masalah sosial (perbedaan status ditengah kehidupan masayarakat) ataupun masalah yang lainnya.

Dalam hal ini berarti kawin tanpa melalui prosedur pembayaran sinamot terlebih dahulu. Dalam mangalua ini seakan akan adalah soal belakang, yang penting adalah mereka kawin dulu.

Adat menyebut perkawinan mangalua ini bahwa si pemuda mengandalkan kekuatan, mengabaikan hukum (pajojo gogo), papudi uhum. Biasanya si perempuan tidak akan mau berlama-lama dalam situasi mangalua ini ( dalam situasi belum diadatkan atau mangadati).

Dalam pelaksanaan mangalua ini ada dua cara yang dikenal yaitu:

Kedua calon pengantin yang mangalua atau ditemani oleh satu atau dua orang yang bertindak sebagai pihak ketiga, demi menjaga kehormatan kedua calaon pengantin.

Sebagai langkah pertama mereka pergi kerumah salah satu keluarga pengetua atau terpercaya, dan dirumah tersebut calon pengantin perempuan dititipkan. Berikutnya laporan kepada orangtua, pengetua adapt atau pemimpin agama minta pemberkataan atau restu.

Perempuan itu langsung dibawa oleh si pria kerumahnya tanpa lebih dulu diberkati atau direstui. Perkawinan seperti ini disebut juga marbagas roha-roha (berumah tangga sesuka hati). Namun perkawinan telah terjadi, kewajiban atau pertanggungjawaban adat wajib dilaksanakan di kemudian hari.

Tatacara mangalua

Dalam perkawinan mangalua ini tentu ada cara yang lazim dilakukan oleh pelaku-pelakunya. Sepasang muda-mudi memutuskan untuk melaksanakan kawin lari ketika mereka berpacaran karena melihat berbagai hal yang akan menghambat mereka untu kadapt hidup bersama.

Yang sering terjadi bahwa keluarga si lelaki yang memegang peranan dalam pelaksanaan mangalua ini, sedangkan pihak perempuan tidak tahu sama sekali.

Ada juga kasus mangalua dimana kedua belah pihak keluarga mengetahui dan memberi ijin untuk melaksanakan hal tersebut, karena memang cara itulah yang dianggap tepat pada saat itu agar perkawinan tetap bisa dilaksanakan.

Dalam mangalua ini si perempuan pergi meninggalkan orang tuanya, mengikuti kekasihnya untuk melaksanakan perkawinan. Biasanya siperempuan langsung dibawa kerumah pemuka agama yang berda di lingkungan tempat tinggal keluarga pihak laki-laki.

Tetapi ada juga terjadi dimana pasangan itu lari meninggalkan orang tuanya masing-masing dan pergi kesuatu tempat lain apabila keluarga kedua belah pihak betul-betul tidak ada yang setuju. Sesudah sekian lama berumah tangga mereka akan kembali untuk meminta maaf dan melaksanakan adat perkawinan secara penuh.

Dahulu kala bila seorang perempuan akan mangalua, maka sebagai tandanya dia akan meletakkan daun sirih di dalam lemari pakaiannya, sebagai pengganti dirinya yang hilang atau yang telah pergi.

Sekarang hal tersebut telah digantikan dengan meninggalkan sepucuk surat sehingga keluarga perempuan dapat mengetahui bahwa anak gadisnya telah mangalua.

Setelah mereka mangalua dan menetap di suatu tempat, maka adat menuntut agar prosedur selanjutnya dilaksanakan, yakni segera setelah kawin datang kerumah orangtua si perempuan untuk memberitahukan bahwa anak mereka telah menjadi paniaran (menjadi salah satu keluarga mereka), dimana kegiatan ini disebut manurohan bao-bao na tinangko (melapor dan membawa tanda anak mereka telah diambil).

Setelah semua undangan pihak perempuan hadir maka dipersiapkan makanan yang dibawa oleh rombongan pihak lelaki (paranak) tadi, dan mereka semua makan bersama-sama. Setelah selesai maka acara selanjutnya adalah manghatai atau bercakap-cakap mengenai maksud kedatangan mereka.

Pembicaraan ini dimulai oleh pihak keluarga pihak perempaun yang diwakili oleh abang si perempuan yang telah berkeluarga. Isi pembicaraan mereka adalah ucapan terimakasih kepada pihak keluarag laki-laki (paranak).

Kemudian abang dari ayah si perempuan juga berbicara mengucapkan terimakasih atas kesediaan para tamu untuk datang ke acara tersebut dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

Perlu kita ketahui bahwa adat Batak ada suatu kebiasaan, walaupun mereka sebenarnya sudah tahu tujuan kedatangan suatu kelompok, tetapi mereka akan menanyakan serinci mungkin melaui kata-kata yang berupa pantun-pantun dan pepatah-pepatah. Seperti dikatakan :

Sai marangkup do na uli, mardongan do na denggan.
On pe di paboa ampara niba ma tangkas siangkupna.
Songon na handul, sidongannna songon na mardalan.

Secara bebas artinya menanyakan apakah maksud kedatangan mereka atau pihak paranak atau lelaki tersebut. Biasanya pembicaran itu diwakili oleh abang dari ayah si perempuan. Tetapi sebelum pihak paranak menjawab, terlebih dahulu diberi kesempatan kepada dongan sahuta. Teman sekampung atau dongan sahuta ini secara adat menuntut antara lain :

  1. Upa sangke hujur (upah pengawal kampung, agar kemarahan atau sikap bermusuhan dihentukan terhadap si lelaki yang melahirkan gadis kampung mereka).
  2. Upa ungkap harbangan (upah untuk para penjaga pintu gerbang kampung. Penghormatan diberikan kepada mereka, agar si pria tersebut diijinkan masuk ke komplek kampung tersebut).
  3. Upa raja huta (upah untuk ketua kampung yang bertanggungjawab atas keamanan atau masalah-masalah lainnya dari seluruh penduduk huta atau kampung tersebut).

Dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut diatas, maka pembicaraan kepada mertua baru bisa dimulai. Sudah menjadi ketentuan adat, bahwa suami istri yang kawin lari tidak diperkenankan berkunjung kerumah orang tua si perempuan sebelum acara manuruk-nuruk ini.

Setelah dengan sahuta menerima upah akan dilanjutkan dengan pembicaraan oleh paranak yang menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh keluarga parboru dengan nada menyembah (dalam hal ini tentu pihak parboru tersebut adalah huta-huta mereka, dimana dalam adat Batak kelompok ini merupakan kelompok yang harus selalu disembah dan dihormati.

Kedatangan mereka dalam acara manuruk-nuruk ini bermaksud untuk menyembah atau minta maaf kepada pihak paranak telah bersalah mengambil anak perempuan pihak paranak tanpa izin. Dengan nada menyesal pihak paranak akan mengatakan :

Ndang tarbahen be turak, si nungga sor gok tagan.
Ndang tarbahen be turak, si nungga sor sun mardalan.

Artinya memang mereka merasa bersalah tetapi apalah daya hal tersebut telah terjadi.selanjutnya pihak parboru akan membalas perkataan mereka itu.

Pertama dikomentari masalah makanan yang dibawa oleh paranak tadi, yang telah dimakan bersama-sama, ketika selesai makan memang dikatakan oleh parboru bahwa makanan yang dibawa paranak tersebut enak sekali rasanya, tetapi pada pembicaraan berikutnya dikatakanalah bahwa makanan itu sebenarnya pahit sekali rasanya.

Hal ini karena pihak paranak mereka anggap telah pajolo gogo, papudi uhum (mengandalkan kekuatan atau membelakangkan hukum).

Mereka menanyakan pihak paranak sampai hati berbuat itu kepada meteka. Karena pada dasarnya perkawinan dengan cara mangalua ini sebisa-bisanya dihindari oleh orang Batak karena menimbulkan kesan yang kurang baik dari berbagai pihak.

Kalau perkawinan menurut ideal, hal yang harusnya dipenuhi terlebih dahulu sebelum perkawinan adalah membayar sinamot, tetapi setelah terjadi mangalua dalam acara manuruk-nuruk yang dibicarakan adalah somba-somba.

Apabila keadaan sudah mengijinkan baik dalam soal materi, waktu dan sebagainya, maka ditempuh acara memenuhi adat lengkap yang dinamai mengadati.

Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang perlu diperhatikan yaitu :

  1. Apabila keluarga yang diadati belum mempunyai anak dikatakan bahwa upacara mengadati itu bertujuan untuk : manggohi adat uhum, songgon dalan manomba hula-hula huhut mangido pasu-pasu.
  2. Bila keluarga yang diadati sudah mempunyai anak, maka dalam hal ini upacara dimaksudkan untuk : pasahathon sulang-sulangna tabo, dalan manggphi adat dohot uhum, manomba hula-hula huhut mangido pasu-pasu.

Hal lain yang menbedakan adalah setelah terjadi mangalua pihak parboru tidak dapat lagi menentukan besarnya sinamot yang harus diserahkan pihak paranak.

Berapapun yang diberikan oleh pihak paranak pihak parboru terpaksa menerima karena anak perempuan mereka telah berada di pihak lelaki atau paranak. Dan biasanya sinamot pada perkawinan mangalua ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah sinamot pada perkawinan ideal.

Dalam keadaan ini kita lihat bahwa bentuk perkawinan mangalua ini akan lebih sedikit memakan biaya apabila dibandingkan dengan perkawinan lazimnya. Karena ada proses yang tidak dilaluinya, sehingga mengurangi aktifitas dan biaya untuk suatu perkawinan.

Faktor Suku Dan Agama Sebagai Penyebab Malua

Orang Batak Pada umumnya kuat idealismenya dalam hal kesukuan dan keagamaan. Kitra dapat melihat bahwa dimanapun orang Batak berada selalu menunjukkan ke batakannya. Hal itu dijelaskan dengan adanya konsep halak hita dan bukan halak hita.

Memang dalam kemajuan dewasa ini sering kita dengar bahwa hal-hal kesukuan seperti itu lambat laun telah mulai dihilangkan, dengan tidak begitu, membedakan kesukuan dan keagamaan dalam kehidupan bermasayarakat.

Tetapi kenyataanya kita lihat dalam masayarakat batak masaalh ini sering menghalangi seseorng menuju jenjang perkawinan dan factor ini melihatnya dari kasus berikut ini.

Faktor Pendidikan Sebagai Penyebab Malua

Masalah pendidikan adalah tinggi rendahnya pendidikan yang telah diperoleh seseorang secara formal maupun non formal dalam membentuk sutru pemikiran yang lebih maju daripada orang-orang yng tidak menjalaninya.

Sering dikatakan bahwa dengan lebih tingginya pendidikan seseorang akan kurangnya keinginan untuk melaksanaknan perkawinan dengan cara mangalua, Karena seseorang itu dianggap lebih maju memikirkan akibat-akibat negative dari mangalua tersebut.

Memang hal itu dapat kita terima, dengan adanya pemikiran yang lebih jeli sebelum melaksanakanya.

Faktor Ekonomi Sebagai Penyebab Malua 

Faktor ekonomi dikatakan merupakan salah satu penyebab dilaksanaknanya mangalua. Hal ini dihubungkan dengan mata pencaharian, serta jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tangga, sehingga ada pengelompokkan kaya, menengah dan miskin. Hal ini dapat lihat dalam kasus berikut.

Dalam hal ini pihak keluarga laki-laki mempunyai taraf perekonomian yang lebih rendah dari keluarga perempuan, dimana jumlah qanggota keluarga juga turut berperan bagi unrtuk mangalua.

Melihat dari jumlah anggota keluarga, pelaku mangalua tersebut minimal berjumlah 6 orang, bahkan ada yang anggota, bahkan ada yang anggota keluarganya sampai berjumlah 10 orang.

Semakin banyak jumlah anggota keluarga dalam rumah tanggga maka semakin berat pula beban yang ditanggung oleh keluarga tersebut dalam kehidupan yang berlaku pada masyarakat batak toba semakin sulit oleh mereka yang tergolong rendah tingkat perekonomiannya, sebab perkawinan secara ideal itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk menghindari semua itu ditempuh cara mangalua.

Akhibat Mangalua

Perkawinan dengan cara mangalua, ternyata telah menimbulkan banyak permasalahan baik itu bagi pelaku mangalua yang bersangkutan, dipihak perempuan, dipihak lelaki maupun di tengah-tengah masyarakat batak toba sendiri. Walaupun nanti akan ada upacara mangadati yaitu suatu proses upacara adat untuk mensahkan pasangan pelaku mangalua tersebut dalam perkawinan menurut adat tidak berarti langsung melenyapkan permasalahan ysng pernah ada.

Umunya keluarga pihak perempuan sangat menyesali tindakan mangalua ini, karena pihak laki-laki telah mengambil anak perempuan mereka tanpa ijin. Tindakan pihak laki-laki itu diaggap telah mencorengkan arang di muka keluarga perempuan. Seharusnya sebagai hula-hula kedudukan mereka merupakan yang tertinggi dalam struktur dalihan na tolu dan harus dijunjung tinggi serta struktur dalihan na tolu harus dijunjung tinggi oleh pihak laki-laki.

Pada umumnya pihak laki-lakilah yang memegang peranan penting dalam pelaksanaan mangalua sebab si perempuan di bawa si lelaki ke rumah orang tua ataupun keluarga terdekatnya. Akibatnya mangalua ini bagi pihak laki-laki sebenarnya tidaklah menjadi permasalahan, karena pihak laki-laki ini secara tidak langsung ikut mengusulkan dan membantu terjadinya perkawinahn mangalua ini. Bila ditinjau dari segi ekonomi sebenarnya menguntungkan bagi pihak laki-laki sebab mereka tidak dibebani lagi dengan sejumlah sinamot yang diminta oleh keluarga perempuan.

  1. Suatu alternative yang terpaksa oleh sepasang kekasih untuk melaksanakan perkawinan, karena jalan mereka menuju perkawinan menghadapi berbagai hambatan.
  2. Sinamot adalah sesuatu yang harus diserahkan oleh keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik berupa uang dan benda lain seperti tanah, ternak dan sebagainya.
  3. Orang-orang kampung untuk memuaskan hati dimana mereka minta pembayaran kepada pihak paranak karena telah mengambil seorang perempuan dari lingkup mereka.
  4. Sesuatu yang harus diserahkan oleh keluarga pihak lelaki kepada pihak perempuan, baik berupa uang dan benda seperti tanah, ternak dan lainnya atau bisa juga diartikan sama dengan sinamot.
  5.  Upacara peresmian secara adat, dimana kedua mempelai sebelumnya telah berumah tangga dengan cara mangalua.
  6. Untuk memenuhi adat dan hokum sebagai jalan menyembah hula-hula serta meminta berkatnya.
  7. Menyampaikan penghormatan, memenuhi adapt dan hokum sebagai jalan menyembah hula-hula serta minta berkatnya.
  8. Selalu dibedakan antara kelompok orang Batak dan bukan orang batak.