Cari

Mengupas tata cara marsipanganon

Posted 26-08-2013 23:34  » Team Tobatabo
Foto Caption: Pasahat Tudu Tudu ni Sipanganon di Acara adat Batak

Makan bersama atau rap marsipanganon sangat penting dan bermakna khusus bagi komunitas Batak. Tidak ada suatu pembahasan atau kegiatan penting yang boleh dilakukan sebelum makan bersama. 

Ingkon di ginjang ni sipanganon do pangahataion na marsintuhu. (percakapan penting harus dilakukan sesudah makan). Seperjamuan atau sapanganon adalah tanda persekutuan, kebersamaan dan perdamaian, jadi bukan sekadar aktifitas mengenyangkan perut saja.

Ada bermacam bentuk makan bersama dalam kultur Batak. Ada tradisi mamboan sipanganon(membawa makanan ke rumah seseorang) dan ada pula mamio (mengundang orang datang untuk makan), memberi makan pihak “atas” (manulangi) dan atau pihak “bawah” (mangupa), memberi makan dalam rangka meminta sesuatu dan ada juga hanya untuk mentraktir (manggalang), makan merayakan sukacita (mangan haroan, mamoholi, pesta unjuk) atau menghayati kedukaan (mangan indahan sipaet-paet/ togar-togar).

Kultur Batak secara umum menyebutkan makan sebagai mangan indahan na las (makan nasi hangat) dan manginum aek sitio-tio (minum air bening).

Indahan na las dohot aek sitio-tio adalah simbol kehidupan penuh sukacita dan kejujuran. Makan bersama sebab itu bertujuan merayakan kehidupan dan kebenaran.

Menarik, bahwa bahasa Batak sama-sama menggunakan kata las untuk menyebutkan hangat maupun sukacita. Kata tio berarti bening, digunakan untuk air maupun pandangan juga niat hati.

Air yang bening adalah simbol transparansi, kejujuran dan ketulusan yang sangat dijunjung tinggi dan dihargai oleh kultur Batak.

1. Tudu-tudu Sipanganon

Tudu-tudu sipanganon yang arti harafiahnya penanda perjamuan (bila dalam keadaan lengkap disebut na margoar atau bagian-bagian hewan yang diberi nama sesuai dengan yang berhak menerimanya dalam parjambaran atau pembagian daging hewan) adalah bagian-bagian tertentu hewan sembelihan yang diletakkan di tengah-tengah sebagai simbol penghormatan hasuhutan kepada undangannya khususnya hula-hula.

Maksudnya: untuk menjamu hula-hula pihak tuan rumah tidak membeli daging kiloan (rambingan) tetapi rela mengorbankan nyawa satu ekor hewan.

Sebagai balasnya hula-hulaakan memberikan ikan (dengke) dan beras. (Dahulu disebut boras sipir ni tondi atau beras penguat roh, sekarang bagi komunitas Batak-Kristen harusnya disebut boras parbue atau beras buah kehidupan).

Sering kita saksikan pada jaman sekarang sewaktu menyerahkan tudu-tudu sipanganon atau penanda perjamuan pihak keluarga akan beramai-ramai memegang piringnya dan kalau mereka terlalu banyak jumlahnya akan saling memegang bahu, seolah-olah ada sesuatu yang hendak dialirkan.

Padahal kesaksian orang tua-tua pada jaman dahulu tidak begitu. Tudu-tudu sipanganon cukup diletakkan di tengah-tengah ruangan di hadapan undangan terhormat!

Bagi kita orang Kristen lebih baik tudu-tudu sipanganon diletakkan di tengah tengah ruang agar tidak menimbulkan salah tafsir seolah-olah makanan itu memiliki kekuatan magis atau menjadi medium penyaluran berkat.

Sebab tudu-tudu sipanganon itu hanyalah simbol penghormatan kepada undangan bahwa jamuan dilakukan dengan khidmad dan sepenuh hati. Tidak ada kekuatan magis yang hendak dialirkan di sana.

Sebagai simbol pengormatan, tudu-tudu sipanganon seharusnya pertama kali disampaikan kepada Allah dan kemudian kepada manusia.

Sebab itu dalam even pertemuan Kristen-Batak sebaiknya kita lebih dulu berdoa makan sebelum menyerahkan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula. Itulah tanda bahwa kita lebih taat dan hormat kepada Allah daripada kepada manusia (Kis 5:29)

2. Sapa

Sapa adalah piring kayu berdiameter lebih-kurang 40 cm. Pada jaman dahulu keluarga nenek moyang kita makan duduk lesehan di lantai menggunakan satu sapa. Lazimnya 1(satu) rumah memiliki 1(satu) sapa.

Bapa, ibu dan anak-anak makan di satu sapa dengan tertib, sopan dan hormat. Peranan sapa sebab itu mirip dengan meja makan di rumah kita orang moderen. 1 satu) rumah 1(satu) meja makan.

Yang terpenting bukanlah sapa atau meja makan itu an sich tetapi kesatuan keluarga yang menggunakan sapa atau meja makan itu.

Tentu saja kita sekarang tidak mungkin lagi kembali ke tradisi sapa. Namun acara makan dan doa bersama satu keluarga inti harus tetap kita hidupkan dan laksanakan.

Mungkin bagus jika kita komunitas Kristen-Batak dapat menjadikan sapa sebagai simbol kebersamaan keluarga inti: ayah, ibu dan anak-anak. Sebab ada kecenderungan kita hanyut dengan ritus-ritus keluarga besar (na saompu, parmargaan) dan mengabaikan peranan keluarga inti sebagai dasar atau tiang kehidupan.

3. Marmeme

Pada jaman dahulu ibu-ibu marmeme, mengunyahkan makanan untuk anak-anaknya yang masih kecil. Makanan lebih dulu dikunyah si ibu kemudian secara cepat dan trampil langsung dimasukkan ke mulut si anak kecil.

Persis seperti burung atau hewan lainnya. Bagi kita orang moderen mungkin ini dianggap menggelikan, kurang higienis atau “jorok”.

Namun pada jaman dahulu marmeme adalah wajar dan merupakan tanggungjawab orangtua. Sebagaimana menyusui, marmeme sangat meneguhkan hubungan emosional antara orangtua.

Ada satu umpama yang dalam tentang marmeme: dompak marmeme anak, dompak marmeme boru. Artinya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki atau anak perempuan.

4. Manulangi & Upa-upa

Kultur Batak mengenal istilah manulangi, yaitu menyampaikan makanan yang lezat kepada orangtua atau hula-hula. Dahulu motivasi memberi makanan ini selain untuk menyenangkan hati orangtua atau hula-hula, juga untuk menyampaikan permohonan kepada yang diberi makan.

Apalagi ketika memberisulang-sulang hariapan atau perjamuan purnabakti atau pensiun dari adat kepada seorang tua, sebetulnya lebih kental dengan kepentingan anak-anak daripada kepentingan orangtua yang sudah lanjut usia itu. Disinilah iman Kristen harus menerangi dan menggarami kultur manulangi.

Acara manulangi haruslah berdasarkan kasih agape atau kasih tanpa pamrih (holong na so marpambuat) dan hormat tanpa syarat (hormat na so marsiala) kepada orangtua.

Mangupa-upa adalah kebalikan dari manulangi. Yaitu dari orangtua kepada anak, dari hula-hulakepada boru. Tujuannya terutama untuk menguatkan, meneguhkan dan memberi semangat kepada anak atau boru yang sakit, terkejut atau baru lepas dari bahaya.

Pada jaman pra-kristen orang yang sakit, lemah, terkejut, celaka dianggap ditinggalkan oleh roh-nya (tondi-nya) karena itu perlu diupa-upa agar rohnya kembali: “mulak tondi tu ruma”. Sebab itulah nenek moyang kita kadang memberikan beras ke atas kepala anak atau borunya.

Istilah boras si pir ni tondi menunjuk kepada pemahaman bahwatondi (roh) si sakit harus dikuatkan dan didinginkan. Istilah boras si pir ni tondi ini tidak cocok lagi dengan kekristenan kita yang menghayati kesatuan pribadi (tubuh-roh). Selain itu bagi kita yang beriman kepada Kristus makanan (sipanganon) tidak lagi dianggap memiliki kekuatan magis atau menjadi medium berkat.

Sumber kesembuhan, kekuatan dan keselamatan kita adalah Tuhan Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit. Boras hanyalah simbol hahorason!

Sebab itu acara mangupa-upa bagi kita adalah kebaktian atau ibadah memohon kesembuhan atau kekuatan kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus.

Makanan upa-upa hanyalah simbol kasih dan perhatian kita kepada yang sakit dan bukan medium (parhitean) berkat. Dalam mangupa-upa perhatian kita harus tetap tertuju kepada Kristus yang tersalib dan bangkit.

Jelas dan tegas bagi kita Kristus itulah satu-satunya sumber kehidupan.

5. Mangan Indahan Na Sinaor atau Parpanganan Na Badia

Kultur Batak mengenal apa yang dinamakan mangan indahan na sinaor, atau perjamuan pendamaian (pemulihan hubungan).

Jika ada dua orang atau kelompok yang terlibat konflik maka mereka akan menyelesaikan konflik melalui makan bersama yang biayanya dipikul oleh kedua belah pihak.

Bagi kita komunitas Kristen-Batak tentu tidak ada larangan menyelenggarakan makan bersama sebagai tanda perdamaian ini. Namun, kita harus menyadari bahwa sesungguhnya Kristuslah yang mendamaikan kita (Efesus 2:13-18).

Karena itu Perjamuan Kudus (ekaristi) itulah sesungguhnya perjamuan pendamaian yang sejati. Melalui Perjamuan Kudus pertama-tama dan terutama kita diperdamaikan dengan Allah dan sebagai dampaknya diperdamaikan dengan sesama, diri sendiri dan alam lingkungan kita.

Dalam Perjamuan Kudus tubuh dan darah Tuhan hadir dalam dan bersama-sama roti dan anggur yang kita makan. (con-substansia).

Roti dan anggur tidak berubah wujud namun tubuh dan darah Tuhan hadir bersama-sama roti dan anggur itu. Sebab itu pada saat Perjamuan kita memang benar-benar menerima tubuh dan darah Tuhan Yesus: sumber pengampuan dosa, pendamaian, kehidupan yang kekal, sukacita, dan damai sejahtera kita.

Dalam gereja purba (I Kor 11:17-22) dikenal perjamuan kasih (agape). Sebelum Perjamuan Kudus, maka jemaat lebih dulu makan bersama, yang bahannya dikumpulkan dari yang dibawa oleh masing-masing anggota.

Lambat-laun tradisi ini menghilang. Namun sebenarnya baik jika dihidupkan kembali oleh gereja-gereja berlatar belakang budaya Batak dan modernitas yang sangat haus akan kebersamaan dan persekutuan (communion).

Pertanyaan terakhir: siapa yang paling berat menanggung biaya tradisi makan (marsipanganon) Batak ini? Apakah jamuan-jamuan makan ini membebaskan (meringankan) atau malah memberatkan (menekan) komunitas Kristen-Batak itu sendiri terutama yang ekonominya lemah?

6. Semua Boleh Tapi Tidak Wajib

Apa kata Alkitab tentang makanan? Yesus mengatakan bahwa segala sesuatu boleh dimakan, yang najis bukanlah apa yang masuk melalui mulut tetapi apa yang keluar dari mulut (perkataan). (Mat 15:11) Segala sesuatu dapat dimakan dan diminum, tidak ada yang haram. (Kol 2:16). Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman. (Roma 14:17). Tidak ada jenis makanan yang mendekatkan atau menjauhkan diri kita dari Allah (I Kor 8:8-10).

Kita boleh makan dan minum apa saja (termasuk daging bercampur darah, atau alkohol) dengan ucapan syukur. Dan kita tidak diijinkan menjadikan kebebasan itu sebagai batu sandungan bagi orang lain.

Kita harus menguasai diri dan tidak boleh diperhamba oleh makanan atau minuman (termasuk bir atau anggur!). Karena itu kita juga tidak boleh menjadikansangsang (daging babi yang dicincang dan dimasak memakai darah) sebagai tanda kekristenan kita. Ingat: tanda bukti kekristenan kita yang sesungguhnya adalah kebenaran, damai sejahtera dan sukacita abadi oleh Roh Kudus. (Roma 14:17).

Oleh Pdt Daniel T.A. Harahap

Dikutip dari Rumametmet.com