Tapanuli Selatan daerah yang subur hijau dilembah kaki pegunungan Bukit Barisan
Tahukah Anda daerah Tapanuli Selatan adalah daerah yang subur hijau dilembah kaki pegunungan Bukit Barisan dengan mata air dan air terjunnya yang sangat mempesona sampai kepantainya Samudra Hindia juga dengan kota yang bersejarah kota Natal pesisir pantai laut Samudra Hindia dan juga Sungai Batang Gadis dengan serpihan emasnya dimana kekayaan alam yang masih terus dalam penggalian secara tradisional.
Liputan Gobatak mengenalkan “Lima Puak” ke daerah Tapanuli Selatan (Mandailing) bersama Yetty Aritonang (Paris-France) dan Pandapotan Sidabutar (Pematang Siantar-Sumutra Utara) dengan kendaraan dibantu oleh PTSI (PT. Surveyor Indonesia) cabang Medan Sumatra Utara supir Ari Saragih.
TAPANULI SELATAN
Penduduknya adalah bagian sentral dari suatu wilayah pembangunan, khususnya pembangunan sosial dan ekonomi. Pada waktu itu, penduduk Tapanuli Selatan sudah lama menyebar baik di dalam maupun ke luar wilayah Tapanuli Selatan. Persebaran penduduk di dalam wilayah Tapanuli Selatan waktu itu sudah merata sebagai konsekuensi penyebaran penduduk secara tradisional membuka huta (‘mamungka huta’) di masa lalu (sebelum dan setelah Belanda dating).
Namun gerak penyebaran penduduk Tapanuli Selatan masih terus berjalan sebagaimana wujudnya dapat dilihat pada masa sekarang. Pada waktu sekitar kemerdekaan persebaran desa-desa, kepadatan penduduk desa-desa dan kepadatan penduduk kota-kota di wilayah Tapanuli Selatan cukup kontras jika dibandingkan dengan situasi dan kondisi sekarang akibat adanya perpindahan penduduk.
Perubahan wilayah permukiman penduduk dapat dilihat sebagai akibatkan adanya desa-desa yang hilang (ditinggal penduduknya), sebaliknya ada desa-desa baru yang terbentuk, serta ada desa yang berubah menjadi kota dan sebuah kota kecil (town) berkembang menjadi kota besar (city).
Di Tapanuli Selatan pada waktu sekitar kemerdekaan Indonesia hanya Kota Natal yang dikategorikan sebagai level tiga. Kota Natal waktu itu sama pentingnya dengan Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai dan Kota Pematang Siantar di Sumatera Utara dan Kota Bukit Tinggi di Sumatera Barat.
Kota Padang Sidempuan, Kota Gunung Tua, Kota Kotanopan dan Kota Panyabungan dikategorikan sebagai kota level empat. Sedangkan kota-kota lainnya seperti Kota Sipirok, Kota Batangtoru Kota Ujung Batu dan Kota Muara Sipongi dikategorikan sebagai level lima yang hanya satu tingkat di atas huta (desa).
DATA ETNIK ANGKOLA-MANDAILING di PROVINSI SUMATERA UTARA
Etnik Angkola-Mandailing adalah dua sub etnik Batak di Provinsi Sumatera Utara. Etnik Angkola-Madailing umumnya mendiami wilayah Tapanuli Selatan (yang kini terdiri dari lima kabupaten/kota: Kab. Mandailing Natal, Kab. Tapanuli Selatan, Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Padang Lawas dan Kota Padang Sidempuan).
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 12.985.075 orang, terdapat sebanyak 13,54 persen yang berafiliasi atau mengidentifikasikan diri sebagai etnik Angkola-Mandailing. Persentase etnik Angkola-Mandailing ini merupakan etnik ketiga terbanyak di Provinsi Sumatera Utara setelah etnik Toba (20.63 persen) dan etnik Jawa (33,47 persen).
Tiga etnik besar Sumatera Utara ini, juga memiliki distribusi yang relatif sama dengan distribusi etnik di Kota Medan: Angkola-Mandailing (10.16 persen); Toba (17.12 persen); dan Jawa (33.19 persen). Dengan komposisi etnik tersebut, keragaman penduduk Kota Medan juga mencerminkan tipikal penduduk Sumatera Utara. (Statistik 2012)
LALU LINTAS DARAT
Di masa dulu, areal pemukiman penduduk yang disebut huta (desa) sudah tersebar merata di seluruh wilayah Tapanuli Selatan. Antar huta pada waktu itu sudah terhubung satu sama lain karena adanya kekerabatan (adat dan perkawinan) dan karena adanya arus pertukaran barang (barter).
Alat pengangkutan masih bersifat bersahaja seperti kuda beban, sampan dan pedati (kerbau). Jalan-jalan yang dilalui umumnya masih terbentuk karena pengaruh alam baik yang tingkatannya tampak sebagai jalan pedati (track), jalan setapak (footpath) atau tanda-tanda jejak (trail) sebagaimana bias diperhatikan dalam film-film wild west di Amerika Serikat.
Jalan-jalan ini mengikuti daerah aliran sungai, prairie, semak-semak dan diantara pepohonan di pinggir atau harus menembus hutan belantara. Oleh karena jalan-jalan ini kerap dilalui maka dalam perkembangannya terbentuk jalan-jalan penghubung yang selanjutnya menjadi cikal bakal terbentuknya jalan-jalan arteri di wilayah Tapanuli Selatan.
Ketika Belanda mulai masuk ke wilayah Tapanuli Selatan, beberapa jalan arteri yang sudah ada dikembangkan pasukan Belanda dengan bantuan penduduk (sukarela atau dipaksa) baik dengan menggunakan peralatan tradisional maupun modern seperti mesin-mesin atau traktor. Sejumlah pertimbangan yang digunakan oleh kavelary pasukan Belanda dalam membangun jalan sudah tentu berdasarkan elevasi, lalu lintas orang dan arus perdagangan dan visi misi mereka dalam memperluas daerah/kawasan yang akan dikuasai.
Pembangunan jalan modern di Tapanuli Selatan dimulai ketika pemerintah Belanda membuka jalan penghubung utama antara Natal dan Panyabungan yang kemudian dilanjutkan menuju arah Muara Sipongi dan Padang Sidempuan. Dari arah lain hal yang sama juga dilakukan dari Sibolga menuju Padang Sidempuan. Oleh karena daerah Padang Sidempuan sudah sejak lama menjadi simpul lalu lintas dari berbagai penjuru (era Inggris di Sibolga) maka dalam perkembangannya dilakukan pembukaan jalan-jalan penghubung utama dari dan ke Padang Sidempuan via Sipirok menuju Tarutung, via Gunung Tua menuju Rantau Prapat dan via Ujung Batu menuju Pekanbaru.
GORDANG SAMBILAN
Gordang Sambilan adalah warisan budaya batak Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia..
Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman raja). Gordang Sambilan hanya digunakan untuk upacara adat dan sekarang ini untuk perayaan Hari Raya Idul Fitri.
Instrumen Gordang Sambilan
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil.
Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya.
Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang Sambilan mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua tempat di seluruh Madailing. Karena masyarakat Madailing yang hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.
Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.
Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan Sibaso (memanggil roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso).
Tujuannya untuk minta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti misalnya penyakit berjangkit. Gordang Sambilan digunakan juga untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan dari Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara.
Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi) yang digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan Bombat.
Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain Gordang Sabilan. Pada masa belakangan ini Gordang Sambilan selain masih digunakan oleh orang Mandailing sebagai alat musik adat yang sakral, juga sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan Amerika Serikat.
Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang Sambilan. Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang Sambilan sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar serta untuk merayakan Hari Raya Adul Fitri.
AEK SIJORNI
Aek Sijorni adalah air terjun alam yang masih belum terlalu disentuh oleh pariwisata airnya sangat sejuk dan jernih, tempatnya tidak jauh dari kota Padang Sidempuan.. indahnya rehat sejenak setelah berjam-jam didalam mobil…
SAMPURAGA
Legenda Sampuraga seorang anak yang melupakan ibunya ketika anaknya telah berhasil dan ingin menikahi putri raja Sirambas dan ibunya berdoa maka terjadilah bencana pada saat pernikahan tersebut… dibawah ini video tempat legenda Sampuraga yang telah kami kunjungi didesa Sirambas,
SUNGAI BATANG GADIS
Sungai Batang Gadis dikabupaten Mandailing Natal sekarang ini menjadi sungai yang dikelola secara tradisional dalam pencarian serpihan emas, kami sempatkan turun kesungai dan mengikuti bagaimana mencari serpihan emas di sungai Batang Gadis…
SIPIROK
Daerah Sipirok terkenal dengan kopi dan buah “Salak”nya bagi yang belum pernah melihat pohon salak kami sempatkan untuk mengabadikannya didalam video dibawah ini,
MASA “KEEMASAN” KOTA NATAL
Di Tapanuli Selatan angkutan dan transportasi air/laut hanya ditemukan di daerah Natal dan sekitarnya. Kota Natal sebagai kota muara dan pelabuhan, peranannya sangat besar di masa lalu baik untuk menyalurkan hasil-hasil bumi untuk ekspor, juga pelabuhan Kota Natal menjadi pintu masuk produk-produk impor yang diperdagangkan di Tapanuli Selatan. Konon, Kota Natal dulunya tidak hanya sebagai pusat perdagangan tetapi juga pintu masuk penyebaran agama Islam di daerah Mandailing/Angkola. Masa-masa keemasan Kota Natal ini cukup lama yang mengakibatkan Kota Natal sebagai pelabuhan dan pusat perkembangan sosial tumbuh menjadi sebuah kota satu-satunya ‘kota besar’ di Tapanuli Selatan.
Pendudukan Jepang menjadi titik balik masa-masa ‘keemasan’ Natal sebagai kota dagang yang penting di Tapanuli Selatan dan bahkan di pantai barat Sumatera. Sejak jaman Portugis kemudian jaman Inggris hingga jaman Belanda Kota Natal tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan.
Setelah asisten residen dipindahkan ke Kota Natal dan selanjutnya dipindahkan ke Kota Panyabungan, posisi strategis Kota Natal sangat fenomenal. Kemudian asisten residen ditingkatkan menjadi Residen dan berkedudukan di Padang Sidempuan, posisi strategis Kota Natal masih tetap cukup penting.
Setelah ibukota residen Tapanuli dipindahkan ke Sibolga, posisi strategis Kota Natal mulai berkurang dan Kota Sibolga sebagai pusat perdagangan yang dulunya setara dengan Kota Natal mulai berkembang dan meningkat pesat. Akibatnya, arus barang dan orang dari wilayah Tapanuli Selatan semakin mengarah ke Sibolga. Sementara pelabuhan Kota Natal sekalipun masih tetap berdenyut tetapi dalam aktivitas ekonomi hanya berfungsi sebagai feeder untuk Kota pelabuhan Sibolga.
Ketika terjadi pendudukan Jepang di Tapanuli, kedudukan Kota Natal sebagai kota dagang yang cukup penting di masa sebelumnya mulai tampak menurun bahkan sudah menunjukkan tanda-tanda menuju titik terendah. Kini, Kota Natal sangat merana, memang bukti-bukti keutamaannya di masa doeloe masih terlihat bekas-bekasnya, namun kapal-kapal dagang sudah tidak terlihat lagi walaupun hanya sekadar mampir.
NATAL MULTATULI *Latin Multa Tuli “I have carried much”
Tulisan yang sangt terkenal Multatuli ditulis oleh Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820 – 19 Februari 1887) Beliau adalah penulis yang menceritakan kekejaman penjajahan Belanda di Indonesia.
Eduard Douwer Dekker pernah tinggal di kota Natal padahun 1842 hingga 1843 dituduh sebagai kontelir Belanda yang menulis laporan2 keatasannya tentang kekejaman Belanda terhadap jajahannya.
Masih ada rumah yang pernah ditempati beliau walau sekarang tidak diurus dan sumur yang dibuat dan dipakai oleh beliau.
PENGALAMANKU
Ditempat legenda Sampuraga aku dikunjungi oleh anak kucing yang sangat lucu tidak tahu dari mana datangnya karena tempat tersebut sangatlah sunyi jauh dari penduduk… selamat tinggal kucing yang baik… jaga dirimu… jika ada umur pasti aku akan kembali mengunjungimu dan membelaimu kembali…
Aku sangat bangga telah meletakkan telapak kakiku dan mengenalkan Suku Batak di negara Perancis “Lima Puak” Lima suku Batak : Toba, Simalungun, Karo, Pakpak dan Mandailing. Walau ini aku lakukan dengan segala kekuatan tenaga yang aku miliki tetapi telah kulakukan ya! telah kulakuan…
Sumber GoBatak.com