Penasaran Sensasi Nikmat Telur Buaya di Penangkaran Buaya Medan
Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memiliki banyak potensi pariwisata. Salah satunya obyek wisata Penangkaran Buaya di Asam Kumbang, Sunggal, Medan. Adalah Lo than Muk yang telah berusia 80 tahun bersama keluarganya yang merawat penangkaran yang memiliki sekitar 2000 ekor lebih buaya ini. Penangkaran buaya milik Lo Tham Muk ini telah berdiri sejak 1959.
Berawal dari hobi, Ia kemudian membeli 12 ekor buaya. “Kemudian terus berkembang hingga akhirnya sampai 2000 ekor seperti saat ini,” jelasnya. Bagian belakang rumah Lo Than Muk dijadikan sebagai kolam-kolam tempat penangkaran buaya. Terdapat 78 bak dan satu tempat semacam danau dimana buaya dapat dengan leluasa hidup di air dan bermain ke darat.
Namun, untuk menjaga keamanan, Lo Than Muk juga membangun tembok panjang di bagian belakang. Total lahan seluas dua hektar yang terletak di Jalan Bunga Raya II ini tentu tidak cukup menampung buaya sebanyak itu sehingga dalam satu kandang yang sempit terlihat puluhan buaya berukuran sedang saling menumpuk. Menurut Lo Than Muk, kondisi tersebut akibat kekurangan dana karena tidak adanya bantuan dari Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Pemerintah kota Medan sendiri sama sekali tidak membantu kesulitan yang dialami objek wisata yang sebenarnya cukup potensial ini. Alasannya karena dari pemerintah sendiri tidak mempunyai dana.
Selain itu, pengelola tempat ini juga kekurangan sumber daya manusia. Padahal di depan pintu masuk terpampang logo Dinas Parwisata Pemko Medan. Pintu tersebut memang bantuan pemko beserta pagar yang dibangun 15 tahun silam. “Selain itu tidak ada lagi bantuan dari pemko, ya kata mereka (Disbudpar) tidak ada dana,” Lo Than Muk (4/9). Sehingga untuk melakukan pegembangan hampir tidak mungkin dan saat ini pihak pengelola hanya fokus agar obyek wisata tersebut dapat bertahan.
Adapun biaya yang dipungut untuk bisa melihat buaya dengan mata telanjang adalah berkisar Rp.5000 untuk dewasa, dan Rp.2500 untuk anak-anak. Dari uang masuk pengunjung itulah, Lo Than Muk harus memberi makan 2000 ekor buayanya mulai dari yang tua sampai anak-anaknya. Beliau harus menyediakan bahan makanan seperti bebek, ayam, dan telur. Biaya yang dikeluarkan untuk makanan buaya-buaya disini berkisar satu juta rupiah dalam sehari. Bila pengunjung sedang sepi, makanan buaya tersebut dikurangi takarannya. Pengunjungnya sendiri berjumlah 50 orang per hari, namun bisa mencapai 100 hingga 200 pengunjung di hari libur.
Terlihat juga beberapa orang asing diantara para pengunjung tersebut. Salah satunya adalah Franka yang berasal dari Belanda. Dia mengungkapkan kekecewaannya karena tempat ini sama sekali tidak bagus dan tidak terawat terutama masalah kandang dan perawatan tempatnya. Meskipun buaya-buaya tersebut hanya diletakkan di dalam kolam-kolam kecil namun pihak pengelola mengatakan belum pernah ada kejadian buaya-buaya tersebut menyerang pengunjung. disana terdapat juga beberapa tulisan peringatan untuk tidak memasukkan tangan ke dalam kolam-kolam tersebut.
Menurut Lo Than Muk, penangkaran buaya ini pertama dipoles pada masa kepemimpinan Walikota Medan Bachtiar Djafar dengan mengguanakan APBD, setelah itu tidak pernah lagi. Dari situ, nama penangkaran ini terbenam seiring dengan kondisinya sekarang. Namun Lo than Muk tidak pernah patah semangat dalam mengelola penangkara buayanya walau dengan biaya yang terbatas.
Telur Buaya Digagalkan
Salah satu cara agar penangkaran ini tetap eksis bertahan, Lo Than Muk tidak lagi menambah jumlah buaya dengan cara menggagalkan telur-telur buaya tersebut sehingga tidak sempat menetas menjadi anak. Telur Buaya di Penangkaran Buaya Asam Kumbang Medan kini tidak ditetaskan lagi oleh pengelolanya tapi di konsumsi.
Ini untuk mengurangi populasi dan biaya perawatan buaya di Asam Kumbang yang membutuhkan daging segar sebanyak 1 ton per hari. Tak heran, rata-rata biaya penangkaran buaya di Asam Kumbang ini mencapai Rp 1 juta per hari. “Terpaksa telur-telur buaya tersebut kini kami konsumsi sendiri untuk lauk makanan sehari-hari,” katanya.
Pawang buaya, Supriyadi mengatakan, banyak peminat buaya yang datang untuk membeli buaya, tetapi pemiliknya tidak menjual buaya tersebut karena binatang ini hanya untuk dipelihara dan dilarang oleh pemerintah untuk diperjualbelikan. Namun ia menyayangkan selama ini tidak ada bantuan pemerintah untuk membantu pemeliharaan dan pelestarian buaya.
Pengunjung dapat menikmati suasana pemberian makan buaya yang dilakukan satu kali dalam sehari pada pukul 17.00 WIB. Kini usia tertua buaya di Asam Kumbang mencapai 50 tahun. Tak hanya berharap pada pemerintah, perhatian masyarakat Kota Medan tentu amat diharapkan Lo Than Muk. Di tengah minimnya obyek wisata di ibukota Sumatera Utara ini, penangkaran buaya ini tentu bisa menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat Kota Medan. (Khairil Hanan Lubis)