Mangampu Sebuah Tradisi Menerima Anggota Keluarga Baru Dalam Adat Batak Toba
Mangampu anak berarti menerima seorang anak yang bukan anak kandung menjadi anak yang sah menurut adat.
Apabila anak yang diampu (diterima, diadopsi) tersebut adalah seorang yang tidak mempunyai marga, maka harus dipenuhi tatacara adat supaya menjadi resmi.
Anak tersebut (terutama anak laki-laki) harus diadathon, artinya harus mengikuti upacara adat peresmian yang harus dihadiri oleh:
- Dongan sabutuha. Pengakuan, persetujuan, dan pengesahan merekalah yang menentukan bahwa anak yang diadopsi tersebut telah diterima menjadi teman semarga.
- Hula-hula. Pihak ini turut mengakui atau menyetujui bahwa putrinya (istri dari tuan rumah yang menerima anak) dianggap sebagai ibu kandung dari anak yang diadopsi tersebut.
- Boru. Untuk menjadi saksi dalam acara penerimaan anak tersebut.
- Raja (pemimpin kampung). Sebagai pihak keempat yang fungsinya berada di luar Dalihan Natolu, untuk memperkokoh pengesahan dan sekaligus sebagai saksi yang dapat bertindak secara lebih obyektif.
Mangampu boru berarti menerima seorang wanita yang tidak berasal dari suku Batak menjadi seorang wanita Batak secara adat.
Misalnya, seorang pria bermarga MARBUN menikah dengan seorang wanita dari suku Sunda. Dia ingin agar istrinya menyandang salah satu marga dari suku Batak agar dapat diterima sepenuhnya dalam masyarakat Batak.
Untuk itu, harus diikuti prosedur mangampu boru sebagai berikut :
- Pria bermarga MARBUN tersebut memilih salah satu marga yang diinginkannya untuk menjadi marga istrinya. Biasanya marga yang dipilih adalah marga dari pihak hula-hula, yaitu marga ibunya atau marga neneknya dari pihak ayah (marga ibu dari ayahnya).
- Misalkan marga pilihannya adalah marga MANALU. Keluarga MARBUN ini kemudian meminta persetujuan dari pihak keluarga MANALU.
- Apabila persetujuan itu telah diperoleh, maka pihak keluarga MANALU tersebut menjadi pihak yang mangampu.
- Keluarga MARBUN menyampaikan sulang-sulang (sajian makanan berupa nasi dan daging) kepada keluarga MANALU.
- Keluarga MANALU lalu menyatakan bahwa mereka menerima wanita Sunda tersebut menjadi wanita bermarga MANALU yang sah, dengan memberikan ulos (kain tenun tradisional Batak) kepadanya sebagai lambang pengakuan.
- Kemudian dilakukan upacara peresmian perkawinan menurut adat, yang sama halnya dengan mangadati (peresmian perkawinan bagi pasangan mempelai Batak yang telah berumahtangga namun belum memenuhi adat Batak, misalnya perkawinan yang hanya diberkati pengurus keagamaan saja atau yang terjadi secara kawin lari).
Mangampu hela berarti menerima hela (menantu pria) yang tak mempunyai marga menjadi putra suku Batak menurut adat.
Hal seperti itu terjadi bila seorang wanita dari suku Batak menikah dengan seorang pria yang bukan dari suku Batak. Menurut kebiasaan orang Batak, adalah pantang (tidak boleh) menyebut atau memanggil nama menantu pria.
Seorang mertua hanya boleh menyebut atau memanggil marga menantu prianya. Untuk mengatasi hal itu dan hal-hal lainnya seperti kekakuan dan kejanggalan dalam pergaulan akibat dari tidak adanya marga, ditempuh prosedur sebagai berikut :
- Pihak menantu pria melakukan pendekatan kepada pihak amangboru dari istrinya.
- Amangboru tersebut dapat bertindak sebagai ayah angkat dari sang menantu pria. Ia mengundang dongan sabutuha dan teman-teman semarga lainnya dalam suatu perjamuan adat.
- Dalam perjamuan adat tersebut, diutarakan maksud dan tujuan anak angkatnya untuk menjadi calon teman semarga mereka, dalam rangka hubungan kekerabatan dengan hula-hula yang memberi anak perempuan kepada anak angkat itu.
- Karena untuk mengadopsi seorang pria yang tak bermarga menurut adat diperlukan pemenuhan tata cara adat yang agak berat, maka biasanya pihak dongan sabutuha dari amangboru tersebut untuk sementara hanya dapat menerima anak angkat itu sebagai calon teman semarga.
Status calon teman semarga ini sudah memadai, karena dengan demikian proses pengintegrasian ke dalam masyarakat Dalihan Natolu sudah dapat berjalan dengan baik sambil menunggu peresmian marga di kemudian hari.