Akibat Penangkapan Bebas, Lumba-lumba di Perairan Secanggang Terancam Punah
Akibat penangkapan secara bebas di perairan Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat yang merupakan salah satu wilayah zona Kawasan Ekosistem Esensial Jaring Halus (KEE-JH), menimbulkan dampak terutama terhadap spesies satwa dilindungi lumba lumba yang kini kehidupannya terancam punah.
Ironisnya larangan penangkapan telah diatur sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Namun seakan tidak dihiraukan dan pelaku umumnya pendatang itu masih terlihat bebas melakukan "eksploitasi" sehingga bukan hanya mengancam penghidupan nelayan desa pantai tapi mengancam keselamatan berbagai spesies ikan di dalamnya.
Dari informasi diperoleh wartawan, puluhan kapal/boat penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap tersebut setiap hari beroperasi siang dan malam dan kerap menimbulkan keresahan masyarakat Jaring Halus. Selain alat tangkap tersebut menimbulkan kesenjangan sosial dibanding dengan mata pencaharian masyarakat setempat yang bergantung pada ekosistem laut dengan cara alat tangkapikan tradisional, pukat tersebut juga mengusik kehidupan Lumba-lumba yang berada di kawasan tersebut.
Salah satu keberadaan Lumba-lumba jenis Pesut yang selama ini menjadi bagian dari masyarakat Jaring Halus ini merupakan jenis satwa yang dilindungi sebagai mana tertuang di dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Rustam selaku Ketua Ikatan Pemuda Nelayan Jaring Halus (IPANJAR) yang dikonfirmasi wartawan Minggu (19/4) menyebut, selaku pengelola KEE-JH mengatakan masalah ini agar mendapat perhatian serius dari pemerintah baik pemangku kepentingan maupun aparatur penegak hukum. “Karena hal ini tidak hanya menyangkut kerusakan ekosistem laut telah berdampak terancamnya kehidupan Lumba-lumba didesa kami, melainkan juga mengancam kehidupan masyarakat yang memiliki budaya konservasi ini.”
Karena, sebutnya, hampir secara keseluruhan masyarakat Desa Jaring Halus yang memiliki mata pencaharian di laut dengan menggunakan alat tangkap tradisional kini mengaku terusik dengan keberadaan kapal pukat tersebut. Hal ini juga berdampak konflik sosial seperti yang pernah terjadi pembakaran kapal penangkap ikan dengan menggunakan pukat langgai/layang yang dilakukan masyarakat Jaring Halus yang berujung kepada persoalan hukum belum lama ini, kata Rustam.
Sementara itu Kader Konservasi Alam (KKA) Nasional Ilham Iskandar Zein yang juga inisiator Kawasan Ekosistem Esensial Jaring Halus (KEE-JH) itu menambahkan, “KEE-JH adalah salah satu upaya dan cara didalam membangun keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam, untuk itu regulasi kebijakan pemerintah baik yang tertuang didalam peraturan maupun program-program hendaknya tidak hanya menjadi wacana belaka, melainkan dapat diwujudkan secara nyata.
“Kami tidak hanya merakyatkan hutan Negara melainkan akan merakyatkan laut Negara dengan mendorong Konservasi Laut di kawasan tersebut,” Ilham yang akrab disapa Jack itu.
Keunikan wilayah yang didukung dengan kelestarian mangrove di desa tersebut sebagai mana yang telah menjadi kearifan lokal yang senantiasa dilestarikan menjadi tempat berkumpulnya ikan-ikan serta berbagai spesies laut lainnya. Hal ini salah satu yang mendasari bahwa KEE-JH sebagai mana yang telah menjadi program prioritas Dirjen Pengamanan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI didalam mengimplementasikan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan Berkeadilan.
Selain itu KEE-JH ini sebut Jack, juga telah tertuang didalam Perda Kabupaten Langkat No. 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Langkat Tahun 2013-2033 dan Surat Keputusan Bupati Nomor 522.51-01/k/2014 tentang Pembentukan Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Jaring Halus (KEE-JH).