Jalan Hening Merawat Warisan Parmalim kepercayaan asli kaum Batak
KEBERSAHAJAAN, welas asih, dan semangat menaati aturan menjadi tiga pilar keyakinan yang mewujud dalam harmoni hidup penghayat Parmalim, kepercayaan asli kaum Batak. Berabad-abad, kredo ini lentur menghadapi tantangan peradaban hingga terus diwariskan ke generasi berikutnya. Di jalan hening, mereka setia merawat warisan nilai leluhur dan moyangnya.
Angin malam kian menusuk tulang, kala Pitua Silalahi (16) dan delapan remaja seusianya memasuki pelataran Bale Pasogit, rumah ibadah Parmalim di Desa Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Jarum jam menunjukkan pukul 23.35. Kaki-kaki mereka dientakkan ke lantai, seiring rancak irama gondang hasapi. Lelah tak tergurat di wajah walau siang harinya mereka menunaikan ritual Sipaha Sada hingga berjam-jam.
Mengenakan baju serba putih bersarung mandar (sarung Batak) dan ulos melintang di badan, 12 kelompok remaja, termasuk yang diikuti Pitua, menarikan tortor (manortor) di hadapan tetua Parmalim.
”Untuk lomba ini, kami berlatih gerak dan pantun selama tiga minggu. Saingannya bagus-bagus. Tapi, kalah dan menang enggak penting, yang lebih penting bisa ikut meramaikan acara dan belajar manortor yang benar,” ujar Pitua yang pelajar SMA itu.
Setelah semua kelompok pentas, tetua-tetua adat yang menyaksikan pertunjukan dari kejauhan maju satu per satu memberikan masukan. ”Gerakan saat berjinjit harusnya ritme tubuh ditarik ke atas. Bukan ditekan ke bawah,” ujar seorang tetua adat mengomentari gerakan inti tortor yang didominasi gerak jinjit berulang-ulang.
Kelompok-kelompok remaja penari tortor itu merupakan wakil desa atau komunitas penghayat Parmalim di lokasi mereka menetap. Pada Jumat (20/2/2015) itu, ratusan penghayat ”Ugamo Malim” mengikuti perayaan Sipaha Sada, upacara menyambut tahun baru penanggalan Batak, sekaligus memperingati kelahiran para pemimpin spiritual Parmalim. Ugamo dalam bahasa Batak berarti ’agama’, sementara Malim menyerap bahasa Melayu bermakna ’orang-orang dengan ilmu agama tinggi’.
Sedikitnya 500 orang dari seluruh Indonesia berkumpul di Kompleks Penghayat Parmalim di Desa Huta Tinggi yang terletak sekitar 15 kilometer sebelah timur Balige, ibu kota Kabupaten Toba Samosir. Bus-bus dan mobil berderet mengantarkan para penganut Parmalim menunaikan salah satu ritual wajib mereka itu.
Anak-anak dan para remaja penghayat Ugamo Malim atau disebut sebagai kaum Parmalim mengikuti lomba menari tortor di pelataran Bale Pasogit, pusat peribadatan Parmalim di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Jumat (20/2/2015).
Kaum muda
Menariknya, justru yang terlihat lebih banyak di antara mereka adalah kaum muda dan anak-anak. Ini pemandangan cukup langka di kelompok penghayat keyakinan lokal tradisional di tengah arus deras modernitas.
Menurut Monang Naipospos, juru bicara komunitas penghayat Parmalim, kaum muda sengaja disediakan ruang berkreasi untuk menumbuhkan kecintaan mereka kepada komunitas asal nenek moyang. Ketika menginjak usia remaja, mereka juga mulai diberi tanggung jawab dalam berbagai kegiatan adat, misalnya menyiapkan makanan bagi penghayat selama menunaikan ritual yang biasanya berlangsung beberapa hari.
Saat masih kecil, generasi muda Parmalim biasanya mewarisi keyakinan yang dianut orangtuanya. Namun, kata Monang, ketika menginjak remaja, mereka tetap diberi ruang untuk memilih apakah akan tetap mengikuti tradisi itu atau tidak.
Sopian Silalahi (22), pengikut Parmalim yang juga mahasiswa Jurusan Bahasa Jerman Universitas Medan, menuturkan, sejak kecil, dia sudah sering diajak orangtuanya mengikuti upacara di Desa Huta Tinggi. Menginjak usia remaja, dia mulai memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan budaya asli Batak dalam ritual-ritual Parmalim.
Tak hanya melebur dalam ritus, Sopian juga mengamalkan keyakinan Parmalim dalam hidup sehari-hari. Salah satunya taat aturan, di antaranya dalam berlalu lintas. ”Saya risi dengan teman-teman kampus yang merasa bangga jika melanggar rambu lalu lintas. Bagi kami, itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan,” katanya.
Di lingkungan kampus, anak-anak muda Parmalim acap berkumpul. Selain peribadahan setiap Sabtu, mereka juga bertemu untuk belajar memainkan alat musik gondang Batak, mulai dari seruling, terompet, hingga taganing (satu set gendang bernada). Lagu-lagu tradisional Batak acap terlantun saat mereka berkumpul, alih-alih lagu pop modern. Mereka juga taat pantangan, seperti tidak makan babi, anjing, dan darah hewan.
Dalam berbagai ritual, anak-anak muda ini juga menghayati tradisi seperti halnya orang-orang tua. Seperti halnya saat upacara Sipaha Sada. Mereka bergiliran menyambut para tamu dari jauh dan mengarahkannya ke bilik-bilik tempat istirahat yang berada di sekitar kompleks peribadatan.
Parmalim School Huta Tinggi Yang berdiri 1 November 1939. via viswandrosh.blogspot.com
Semangat Sisingamangaraja
Mereka juga menunaikan persiapan pelaksanaan upacara agung ini. Dua hari sebelumnya, mereka berpuasa selama sehari semalam tanpa berbuka. Awal puasa dan berbuka dilakukan dengan memakan makanan pahit, disebut mangan napaet, sebagai simbol dan sekaligus wahana kontemplasi menghayati perjuangan hidup yang penuh kepahitan dan kegetiran.
Ria Sitorus (29), pemudi Parmalim yang aktif menulis sastra, mengemukakan, dalam upacara Sipaha Sada, para remaja ikut menyiapkan bahan makanan.
Untuk mengikuti upacara, para penganut Parmalim wajib mengenakan busana khusus sesuai tingkatan mereka dalam kehidupan. Pria remaja mengenakan jas berselempang ulos dari jenis ragi hotang dan sarung ulos dari jenis bintang maratur. Pria yang sudah menikah menggunakan surban yang disebut tali-tali berwarna putih menandakan kesucian.
Pemimpin umat menggunakan tali-tali berwarna hitam yang menandakan kepemimpinan dan tanggung jawab. Perempuan diwajibkan mengenakan sarung berbentuk ulos jenis runjat, kebaya, serta selendang (hande-hande) dengan variasi corak, seperti sadum, bintang maratur, dan mangiring. Sementara tatanan rambut memakai gaya sanggul toba, yakni menggelung rambut ke bagian dalam.
Barulah saat surya tepat di atas kepala, upacara dimulai dengan masuknya Ihutan, pimpinan umat Parmalim, ke Bale Partonggoan. Lazimnya tradisi Batak Kuno, bahan-bahan untuk pelean berasal dari hewan atau hasil pertanian terpilih.
Pelean lalu dibawa ke lantai dua Bale Partonggoan secara berantai. Di tempat ini, Raja Ihutan memastikan letak dan arah pelean. Selanjutnya, dia akan kembali turun untuk memimpin upacara Sipaha Sada yang berlangsung khidmat sekitar lima jam.
Ihutan Parmalim, Raja Manokkok Naipospos, mengatakan, dalam sejarah, generasi muda memegang peran penting dalam perjuangan kaum Parmalim yang menyembah Debata Mulajadi Nabolon sebagai Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Itu dimulai dari perlawanan Sisingamangaraja XII, raja muda Batak yang juga pemeluk Ugamo Malim, untuk melindungi adat istiadat mereka dari pengaruh Barat dan kaum Padri di Tanah Minang.
Setelah Sisingamangaraja mangkat pada 1907, pengikut Parmalim yang lalu dipimpin Raja Mulia Naipospos, kakek Raja Manokkok, membangun sekolah Parmalim, semacam asrama bagi generasi muda. Di sini, selain nilai-nilai dan tradisi Batak, mereka diajari pula berhitung hingga bahasa asing.
Sekolah itu ditutup pada 1945 seiring Indonesia merdeka. Namun, jalan terjal ternyata masih menghadang sekitar 6.000 penganut Parmalin di penjuru Nusantara dalam melindungi tradisi dan keyakinan.
Mereka seolah terpinggirkan oleh bangsa sendiri, dengan sulitnya pengurusan catatan sipil administrasi pemerintahan. Seakan penghayat kepercayaan di luar bingkai hukum negeri ini. Kembali lagi ditelan sunyi, kaum Parmalim erat merawat tradisi tanpa lupa identitas keindonesiaan mereka. (Gregorius Magnus Finesso)
Sumber Kompas.com