Lumban Silintong dan Kisah Bocah-Bocah Pemburu Koin di Danau Toba
Danau Toba selalu menyajikan pengalaman menarik tersendiri di setiap sisinya. Seperti halnya dengan yang saya alami saat mengunjungi Lumban Silintong, Balige, Toba Samosir. Hal menarik apa yang saya temukan di sana? Inilah bagian akhir dari catatan perjalanan saya selama bertandang ke Balige.
Jika kamu ingin melihatindahnya tepian Danau Toba, pergilah di kala senja ke Lumban Silintong
Perjalanan saya dan teman-teman saya berkeliling Balige hari itu ditutup dengan bersantai diLumban Silintong, Balige, Toba Samosir. Energi dari mie gomak yang kami makan untuk sarapan ternyata hampir habis dibakar untuk berkeliling di Museum TB Silalahi Center dan menyambangi puncak Bukit Tarabunga. Maka, jadilah Lumban Silintong tempat pemberhentian kami selanjutnya untuk mengisi perut-perut yang sudah dangdutan keroncongan.
Lumban Silintong adalah sebuah desa sekaligus kawasan wisata yang ada di Balige, Toba Samosir. Kawasan ini menyajikan panorama tepian Danau Toba yang lengkap dengan sejumlah kafe dan rumah makannya. Gak cuma itu, di sejumlah titik juga terdapat lokasi pemandian di mana kamu bisa menikmati sejuknya air danau sambil berenang. Tempat ini juga ramai dibanjiri pengunjung tiap tahunnya ketika Festival Danau Toba diselenggarakan.
Lumban Silintong ini hanya berjarak 2 km dari pusat ibukota Kecamatan Balige. Kamu cukup menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit berjalan kaki sambil menikmati udara sejuk Balige, atau 5 menit naik bentor (becak motor). Sayangnya, belum ada angkutan umum yang menuju kemari. Saat musim hujan, siapkan jaket tebal karena udara dingin akan menyergap ketika malam menjelang.
Rasakan sejuknya air Danau Toba menyentuh kulitmu dengan langsung nyebur ke danau
Pulang dari Bukit Tarabunga yang saat itu sedang terik membuat kami ingin berenang menikmati segarnya air di permukaan danau Toba. Tapi, berhubung gak ada yang bawa pakaian ganti, jadilah kamu pulang dulu ke hotel tempat menginap teman saya yang berada di Lumban Silintong.Dari hotel, kami berjalan kaki menuju kafe yang ada di seberang hotel.
Kafe ini mempunyai dermaga kayukecil yang menjorok ke danau. Kamu bisa makan di atas dermaga sambil menikmati panorama sore Danau Toba yang elok. Mau berenang di permukaan danau? Tinggal nyebur aja deh dari atas dermaga, seperti beberapa teman saya yang nyebur tanpa ragu ke dalam danau meski akhirnya segera kehabisan tenaga.
Ingin jus yang dingin? Jangan lupa minta pakai es!
Untuk mendiamkan perut saya yang protes terus dari tadi, saya memesan indomie rebus dan jus alpukat. Satu hal penting yang saya catat: es batu di Balige itu bukan hal yang krusial saat membuat minuman. Saya memang cuma memesan jus alpukat tanpa embel-empel hangat atau dingin, karena saya saya pikir jus pasti disajikan dingin.
Tapi, saya keliru. Jus yang hadir di hadapan saya ternyata agak hangat. Sedikit di luar ekspektasi, tapi rasanya gak mengecewakan kok.Lagipula, kapan lagi saya bisa makan ditemani panorama Toba yang terhampar?
Bocah-bocah pemburu koin di Danau Toba, bermain sambil mengais receh dari wisatawan
“Tulang, Nantulang! Lempar koin, Tulang!”
Seruan bocah-bocah dari tepi dermaga mengusik kesakralan acara kami makan mie instan. Awalnya, saya nggak tahu apa maunya anak-anak ini meminta recehan dari kami. Saya malah berpikir: merekamau mengemis?
Rupanya saya salah sangka. Ternyata mereka bermaksud memperlihatkan kemampuan renang mereka dengan menantang diri sendiri untuk mengambil koin yang kami lemparkan. Dengan sigap, mereka berenang dan menyelam menangkap uang logam sebelum jatuh ke dasar danau yang dalam.
Bocah-bocah ini adalah segelintir dari anaksetempat yang tiap sore mengais rezeki dari berburu koin yang dilemparkan oleh wisatawan ke dalam danau. Sepulang sekolah, mereka biasa mendekati pengunjung Lumban Silintong untuk mempertontonkan keahlian mereka. Uang yang didapat adalah bonus, karena tujuan utama mereka adalah berlatih renang sambil bersenang-senang. Syukur-syukur kalau sepulang berenang mereka bisa jajan. Menurut teman saya, anak-anak Toba yang gak bisa berenang itu memalukan.
Pelabuhan-pelabuhan ferimenuju Pulau Samosir, seperti di pelabuhan Ajibata, Parapat, juga ramai dengan anak-anak penangkap koin ini. Remaja-remaja tanggung yang duduk di bangku SD dan SLTP ini seolah tidak punya rasa takut untuk terjun dari atas kapal hanya untuk mengambil koin yang dilemparkan penumpang kapal. Mereka sudah tahu jadwal keberangkatan kapal dan kapan kira-kira wisatawan berdatangan.
Namun, kadang tingkah mereka membuat pengelola kapal pusing. Memang, risiko tinggi menghantui para bocah-bocah ini. Tubuh mereka bisa saja menghantam karang saat terjun, atau bahkan tersedot baling-baling kapal. Tapi, bocah-bocah ini tetap melakukannya tanpa rasa takut.
Tak cuma di Lumban Silintong dan pelabuhan-pelabuhan feri menuju Pulau Samosir, kamu juga bisa menemukan bocah-bocah menangkap koin ini di hampir semua pelabuhan di mana kapal feri menyeberangkan penumpang. Di Pelabuhan Ketapang misalnya. Saat saya hendak menyeberang ke Bali, saya juga menemukan sekelompok remaja yang seolah tak punya rasa takut terjun dari atas geladak kapal feri, memungut koin yang dilemparkan ke laut.
Profesi penangkap koin ini seolah sudah menjadi tradisi yang melekat di Indonesia. Nyatanya, mereka bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan, terutama yang datang dari luar negeri. Ya, di mana lagi kamu bisa melihat bocah-bocah bernyali baja ini terjun bebas ke air demi sekeping uang logam? Tapi ngomong-ngomong, mereka lebih suka uang kertas, lho.
Wajah-wajah mereka tampak sumringah ketika kami menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan kepada mereka. Kami tak melemparkannya ke danau. Cukuplah itu menjadi bentuk terima kasih pada mereka karena sudah menghibur sore kami di Lumban Silintong.
Waktu menunjukan pukul 06.30 sore ketika kami bersiap pulang, tapi langit masih tampak cerah. Entak kapan lagi saya bisa menginjakkan kaki dan berjumpa dengan bocah-bocah mengagumkan ini. Sampai jumpa, bocah-bocah pemburu koin!
Dikutip dari Hipwee