Katanya Dulu Orang Batak Menulis Surat Cinta Pakai Bambu! Bagaimana Bisa?
Kebanyakan naskah Batak kuno berisi soal ilmu kedukunan (hadatuon). Namun, ada juga yang berisi hal lain, seperti percintaan. Ya, surat cinta kawan!
Surat cinta pada orang Batak ini banyak ditemukan di daerah Karo, Simalungun, dan Mandailing.
Isinya adalah ratapan (puisi) tentang percintaan yang gagal, yang disebut bilang-bilang (Karo), suman-suman (Simalungun), atau andung (Mandailing).
Uniknya, surat tersebut ditulis pada sebuah ruas bambu. Dalam 'Surat Batak' (2009), Uli Kozok mengatakan, pria Karo adalah yang paling akrab menulis ratapan percintaan (bilang-bilang) di ruas-ruas bambu.
Di Karo, kata Uli, ratapan (bisa juga soal kematian dan penderitaan hidup) ditulis pada sebuah ruas bambu yang diberi tutup dan dipakai sebagai tempat kapur sirih (tagan pěrkapurěn) atau tempat tembakau (tagan pěrtimbakon).
Sementara di Simalungun, selain pada tempat kapur sirih, ratap-tangis juga ditulis di parlilian (tempat untuk menyimpan lidi yang dipakai untuk bertenun).
Sedangkan di Angkola dan Mandailing bambu yang panjangnya bisa mencapai empat atau lima ruas biasanya dipakai untuk menulis sebuah andung.
Dalam Batak Toba dan Pakpak, menurut Uli, ratap-tangis andung juga dikenal, tetapi hanya sebagai tradisi lisan saja.
Lebih jauh, Uli menjelaskan, semua jenis tulisan Batak termasuk surat serta puisi cinta menggunakan formula-formula tertentu.
Misalnya saja, surat yang ditulis pada sebuah ruas bambu dengan panjang 15–30 cm dan diameter 2–4 cm, biasanya dimulai dengan formula pembuka ahu ma surat ni … “Saya surat [ditulis] oleh...”.
Kemudian, kata Uli, si penulis mengutarakan maksud maka ia menulis surat itu yang bisanya sangat pendek dan menutup surat dengan formula penutup seperti boti ma ‘sekian’ serta ucapan salam.