Buku Sonduk Hela ini sebuah pembelajaran bagi orang yang mau mengetahui Batak lebih banyak
Bermula dari kegelisahan masayarakatnya akan hilangnya bahasa daerahnya. Serta di sisi lain, bahasa serapan demikian cepat menguasai Bahasa Batak. Membuat perkiraan dalam waktu tidak lebih dari 25 tahun lagi, Bahasa Batak akan lesap di tempatnya sendiri.
Kegelisahan itu, terbukti, ketika berada di pelosok kampung, anak-anak sudah memakai Bahasa Indonesia. Bukan hanya sesama anak-anak, di dalam keluarga juga sudah mulai memakai Bahasa Indoneia. Tentu saja dengan menggunakan dialeknya yang khas.
Rasa gelisah ini, langsung diterjemahkan oleh para penulis-penulis Batak. Diawali oleh lahirnya kumpulan puisi dengan dwi bahasa (Indonesia - Batak) bertajuk Situriak Nauli.
Kelahiran kumpulan puisi itu, dijawab pula oleh penulis fiksi yang sudah dikenal, Saut Poltak Tambunan. Sebuah novel dan kumpulan cerpen dilahirkannya dalam Bhasa Batak.
Bahkan salah satu dari bukunya itu mendapat penghargaan dari Rancage Award, untuk sastra daerah.
Sebelum Sonduk Hela sudah ada pula penulis seperti S. Mida Silaban dan Rose Lumbantoruan. Kali ini muncul kumpulan cerpen berjudul Sonduk Hela yang ditulis oleh Tansiswo Palambok Pusupusu.
Ada sepuluh cerita pendek di dalam Sonduk Hela. seperti, Sonduk Hela, Marguru tu Datu, Martuhan do Hami Jala Martangian, Mar-Medan, Bondar Paridian, Di Tonga ni Dua Ina, Masisagak, Holong Pamuhai, Mago Pusaha dan Ingonghu Sidua Marga.
Dari ke sepuluh cerpen ini, penulisnya memilih Sonduk Hela menjadi judul bukunya. Tentu saja penulis memiliki pendapat, kenapa judul buku itu harus Sonduk Hela.
Ternyata Sonduk Hela memang memiliki kisah tersendiri yang menarik dan unik serta memiliki kompleksitas tersendiri.
Buku Sonduk Hela memang menarik untuk dibaca dan diikuti, karena banyak Bahasa Batak yang sudah jarang terdengar, diungkap kembali.
Seperti apa yang dikatakan oleh Saut Poltak Tambunan. Jika mau belajar budaya Batak dan sastra Batak, memang harus lebih dahulu belajar Bahasa Batak.
Sastra Batak tak akan muncul bila tidak belajar Bahasa Batak. Budaya Batak tak akan klop, jika tidak belajar Bahasa Batak.
Di sisi lain, bahasa menunjukkan bangsa/bangso. sebelum Indonesia merdeka Batak dikenal sebagai sebuah bangsa yang disebut bangso.
Kata bangso di sini, bukan berarti bangsa seperti Bangsa Amerika, Bangsa Indonesia dan sebagainya. Kata Bangso dalam pengertian yang sangat luas adalah kebangsaan, perilaku, budaya dan adat tradisi. Jika disebut ‘Bangso Batak’, maka keseluruhan tentang Batak ada di dalamnya.
Batak memiliki perlambang seperti bendera sejak dahulu kala, yakni Putih - Merah - Hitam. Pengertiannya, putih adalah nirwana/surga atau keabadian. merah adalah keduniawian dan hitam adalah Mati/kematian.
Batak memiliki aksara tersendiri dengan alphabet yang kuat serta aturannya. Di Indonesia yang masih terjaga aksaranya, adalah Batak dan Jawa.
Selebihnya, kalau pun dikatakan memiliki aksara, mungkin sekian ratus tahun lalu dan kini sudah tak dipergunakan lagi.
Batak masih banyak yang menggunakan aksaranya, bahkan dalam berbagai ritual ke-Batak-an, aksara itu tetap melekat.
Sangat disayangkan, kini aksara itu tidak dipergunakan lagi di sekolah-sekolah. Tidak seperti tahun 1960-an sampai 1970-an. Aksara Batak dipelajari sebagai muatan lokal.
Kegelisahan itu pulalah, membuat Tansiswi Siagian yang lahir di Aceh pada 11 Agustu 1961 ini berjuang mempertahankan Bahasa Batak.
Bahasa Batak yang sudah jarang terdengar diungkapnya naik ke permukaan kembali. Gaya bahasanya yang enak dibaca dan mudah diikuti, membuat buku ini “wajib” dimiiki dan dibaca. Setidaknya oleh orang Batak sendiri.
Ketika dua batak bertemu, Kau marga apa, tanya seseorang. Yang ditanya pun menyebutkan marganya.
Kau dari mana (Maksudnya darimana asal margamu)? Yang ditanya tanda segan menjawab, kalau dia marganya dari Tebing Tinggi.
Hal-hal yang memalukan seperti ini, sering terjadi di kalangan Batak, karena tidak pernah mau mendalami sejarah dirinya, apalagi sejarah rumpun marganya.
Sonduk Hela, mengungkap banyak kejanggalan dan memberikan petunjuk secara lembut kepada pembacanya.
Sebagai orang Medan, rasanya penulis berterima kasih kepada Ransiswo Siagian yang bersusah payah menuliskan kumpulan cerpen Sonduk Hela.
Jangankan menulis, membaca dalam bahasa daerah, penulis juga gelagapan. Dapat dipahami, betapa Tansiswo Siagian bersusah payah menuliskan bukunya ini. Buku Sonduk Hela ini sebuah pembelajaran bagi orang yang mau mengetahui Batak lebih banyak. Horas.