Sejarah Singkat Raja Marga Tarihoran
Raja Tarihoran adalah anak dari Ompu Datu Dalu yang lahir dari Ompu Boru Sitompul. Tidak dapat dipastikan tempat di mana lahir Raja Tarihoran, tetapi diduga kuat bahwa dia lahir dan dibesarkan di perkampungan Ompu Datu Dalu daerah Porsea di sekitar Lumban Gurning.
Dugaan ini didasarkan pada sejarah bahwa setelah Ompu Datu Dalu menikah dengan Ompu Boru Sitompul di daerah Silindung, mereka pindah ke daerah Porsea, mungkin di sekitar Lumban Gurning yang sekarang.
Ini diperkuat oleh fakta bahwa tempat makam Ompu Datu Dalu dan Datu Pulungan Tua berada di Lumban Gurning Porsea.
Pada umumya orang tua bangsa Batak tidak sembarang memberi nama bagi anaknya, tetapi nama yang diberi sering didasarkan pada kata yang memiliki makna filosofis atau yang berkaitan dengan peristiwa penting.
Asal kata dan arti nama “Tarihoran” tidak dapat diketahui dengan pasti dan apa makna filosofis-nya.
Akan tetapi lebih cenderung berkaitan dengan peristiwa penting yang terjadi dalam perjalanan hidup Raja Tarihoran. Apakah nama itu berkaitan dengan binatang patihoran yang senantiasa bercahaya, menerangi kegelapan di malam hari?
Menurut cerita yang banyak beredar di kalangan warga Tarihoran (yang tidak dapat dipastikan kebenarannya) bahwa asal mula nama Tarihoran ber-kaitan dengan patihoran, sejenis lipan berukuran kecil, gigitannya tidak berbisa, dan bercahaya di waktu malam apalagi jika disentuh.
Konon ceritanya, binatang ini suka masuk ke telinga manusia, menggigiti bagian dinding telinga dan mau juga bertelur dan menetas di sana.
Pada masa remaja, di suatu malam, Si Raja Tarihoran sedang lelap tidur. Tanpa dia rasakan, seekor binatang patihoran merayap mendekati telinganya dan masuk ke dalamnya.
Setelah berada di dalam, patihoran tersebut menggigiti bagian dalam telinga Si Raja Tarihoran dan tiba-tiba ia terbangun karena merasa sakit. Karena rasa sakit yang ia rasakan, dilakukanlah segala cara dan usaha oleh orang tuanya untuk mengeluarkan patihoran tersebut dari dalam telinga-nya.
Namun segala cara dan upaya yang dilakukan selalu gagal, akibatnya pati-horan tersebut sudah mulai bertelur dan menetas di dalam telinganya. Lama-kelamaan, Si Raja Tarihoran semakin merasa kesakitan.
Dalam kurun waktu yang relatif cukup lama, ia selalu mengerang kesakitan, seakan-akan dia sudah merasa putus asa, jangan-jangan patihoran yang terus menggerogoti telinganya akan membawa dia ke akhir hidupnya.
Berita penyakit yang diderita Si Raja Tarihoran tersebut telah tersiar kepada tetangga dan daerah sekitarnya, dan telah menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Maklumlah pada masa itu belum ada dokter ahli THT seperti masa sekarang.
Suatu hari, Si Raja Tarihoran tinggal sendirian di rumah dimana orang tua dan saudara-saudaranya mungkin pergi ke ladang atau berburu.
Pada saat pintu rumah mereka terbuka, masuklah seekor ayam tetangga ke dalam rumahnya. Melihat ayam tersebut masuk, tiba-tiba timbullah rasa emosi di dalam hatinya didorong oleh rasa sakit yang mencekam dirinya.
Tanpa disadari ia mengambil sepotong kayu dan melempar ayam tersebut. Rupaya potongan kayu tersebut tepat mengenai sasaran, sehingga ayam itu pun langsung menggelepar dan mati.
Melihat kejadian itu, Si Raja Tarihoran merasa sakitnya sedikit mereda. Ia berpikir sejenak, kalau dibuang ia takut ketahuan sama yang punya, kalau disembunyikan di dalam rumah dia sangsi akan membusuk dan menimbukan bau bangkai.
Akhirnya, ia merebus ayam mati tersebut agar mudah dikuliti dan dijadikan santapan lezat. Tanpa disangka, tiba-tiba seorang tetangga (mungkin si pemilik ayam) mengetok pintu rumahnya hendak minta atau mencari sesuatu.
Si Raja Tarihoran meresa terkejut dan takut. Dengan tergesa-gesa, ia mengam-bil ayam yang baru direbus dan masih berbuluh itu dan menyembunyikannya di bawah bantalnya, lalu ia tidur dengan meletakkan kepalanya di atas bantal itu.
Beberapa saat kemudian, bau ayam rebusan tersebut mulai menyebar di sekitar bantal dekat telinganya.
Tanpa diduga oleh Si Raja Tarihoran, rupanya bau ayam tersebut tercium oleh patihoran-patihoran yang ada di dalam telinganya.
Akibatnya, patihoran-patihoran tersebut mulai berkeluaran satu per satu sampai habis dari dalam telinganya untuk mencari sumber bau ayam tersebut.
Sembari merasakan bahwa patihoran-patihoran itu sedang menjulur keluar dari dalam kupingnya, Si Raja Tarihoran pun terkejut bercampur gembira, seakan-akan ia merasakan jiwanya perlahan-lahan datang kembali ke dalam tubuhnya.
Setelah semua patihoran itu keluar dari dalam telinganya, ia langsung bangkit dari pembaringannya, sambil bersorak dan melonjak kegirangan.
“Horeee, aku sudah sembuh, semua pati-horan itu sudah keluar dari kupingku” katanya dengan gembira penuh sukacita. Akhirnya ketahuanlah peristiwa mengejutkan itu kepada orang tuanya, saudara-saudaranya, dan tetangga sekitarnya.
Sejak peristiwa itu, dia dijuluki Si Raja Patihoran yang selanjutnya disebut Si Raja Tarihoran.
Kisah Raja Tarihoran dan Anak-Anaknya
Pada zaman dahulu ilmu kebijaksanaan yang dimiliki seorang ayah selalu diupayakan agar dapat diturunkan kepada anak-anaknya.
Sebagaimana telah diceritakan dalam Bab II, bahwa Ompu Datu Dalu memiliki ilmu kebijaksanaan yang cukup handal. Ia selalu berupaya menurunkan ilmu kebijaksanaan yang dimilikinya kepada anak-anaknya termasuk Si Raja Tarihoran.
Sejak remaja hingga menjelang dewasa, Si Raja Tarihoran selalu diajari dengan ilmu kebijaksanaan oleh Ompu Datu Dalu dan dinasehati agar berperilaku baik sebagai raja yang berdedikasi, disegani dan dihormati oleh semua orang.
Pekerjaan sehari-hari Ompu Si Raja Tarihoran adalah berladang dan berburu. Suatu ketika ia pergi berburu ke hutan dengan membawa panah dan ultop.
Sewaktu dia menelusuri hutan di sekitar Lumban Gurning, ia melihat seekor burung yang sangat cantik (kira-kira sebesar itik dewasa), berbulu putih bersih dan memiliki buluh menyerupai kalung keemasan di bagian lehernya.
Rupanya burung itu adalah burung patiaraja (raja dari segala burung). Ia sangat terpesona dan tertarik melihat kemolekan burung tersebut, sehingga ia tidak tega untuk membunuh burung itu dengan ultop-nya. Ia bermaksud menangkap burung patiaraja tersebut dan memeliharanya.
Ketika ia berupaya mendekati dan menangkapnya, burung patiaraja itu pun terbang rendah dan hinggap kembali kira-kira sejauh lima meter.
Si Raja Tari-horan pun terus berlari pelan-pelan dan berusaha menangkap burung itu, namun selalu gagal. Demikian ia terus-menerus mengejar burung itu sampai jauh ke tengah hutan sehingga ia merasa letih dan ingin berhenti.
Tanpa diduga, burung patiaraja tersebut tiba-tiba menghilang dari pandangannya dan tidak tahu ke mana perginya. Ia begitu kesal dan malang, seakan-akan ia baru saja kehilangan seorang bidadari cantik di tengah hutan.
Dengan penuh kekesalan, ia pun pulang kembali ke rumahnya karena hari sudah mulai sore. Sepanjang hari, ia selalu dibayang-banyangi oleh kecantikan burung patiaraja tersebut.
Beberapa hari kemudian, ia pergi lagi berburu ke arah hutan tempat di mana ia menemukan burung itu dengan harapan mudah-mudahan ia akan menemu-kannya kembali di sana.
Ternyata, ia melihat kembali burung itu hinggap dan bertengger di dahan pohon yang rindang. Si Raja Tarihoran pun merasa senang, seakan dia menemukan kembali bidadarinya yang hilang.
Ia terus mempelototi burung itu sambil berusaha mendekat untuk menangkapnya, namun selalu gagal. Dengan tingkah laku seperti jinak-jinak merpati, burung itu pun terbang melompat-lompat di antara dahan-dahan pepohonan.
Dengan rasa penasaran, Si Raja Tarihoran dengan sabar terus mengikuti arah terbang burung itu menuju ke suatu arah tertentu di tengah hutan. Sekalipun ia sudah sangat letih, ia tidak mau meniup ultop-nya menembak burung itu.
Ia selalu berharap dapat menangkap dan memeliharanya. Namun, setelah berjalan jauh di tengah hutan, tiba-tiba burung itu menghilang. Karena hari sudah mulai sore, ia pun kembali lagi ke rumahnya dengan penuh kekesalan.
Sepanjang malam, Si Raja Tarihoran selalu penasaran dan terus dibayang-bayangi oleh burung itu, sambil bertanya dalam hatinya, “Apa sesungguhnya yang hendak disampaikan atau pertanda apa yang hendak ditunjukkan oleh burung itu?”
Karena terus merasa penasaran, keesokan harinya Si Raja Tarihoran pergi lagi lebih awal berburu ke arah hutan yang sama. Ternyata ia pun melihat kembali burung itu sedang bertengger gagah, seakan menanti seseorang.
Dengan rasa senang dan penasaran, ia mendekati burung itu dan begitu sudah sangat dekat dan hendak mau ditangkap, burung itu langsung terbang dekat-dekat. Sambil melihat sekali-sekali, ia terus mengikuti arah terbang burung itu.
Tanpa disadari rupanya Si Raja Tarihoran sudah tiba di suatu parhutaan (perkampungan) di Lumban Masopang Porsea.
Begitu ia mendekati suatu tempat pemandian di dekat kampung itu, burung itu pun langsung hilang, dan ia melihat seorang gadis sedang mandi (maranggir) sambil membilas-bilas ram-butnya.
Melihat kenyataan itu, Si Raja Tarihoran merasa kaget bercampur senang. “Apa aku ini sedang bermimpi?” katanya dalam hati. Kemudian, ia mengusap wajahnya dan tetap juga melihat gadis itu sedang mengusap-usap sekujur tubuhnya.
“Ooh, rupanya yang kulihat ini adalah benar-benar terjadi” gumamnya dalam hati penuh gembira. Dengan jantung berdebar-debar dan dengan ekspresi malu-malu dan gugup ia mendekati gadis itu.
“Horas di hamu boru ni raja!” kata Si Raja Tarihoran membuka pembicaraan. “Horas ma tutu di hamu ito, anak ni raja! Ai ise do hamu tahe ito, na sian dia do hamu jala aha naeng siluluan muna?” tanya gadis itu dengan lembut. Si Raja Tarihoran sangat senang mendengar suara lembut itu dan dia merasa seperti gayung bersambut.
“Ahu do i boru ni raja nami, anak ni damang Datu Dalu, ima Si Raja Tariho-ran. Adong hubereng di tombak an sada pidong na tung mansai uli.
Ala ni ulina ndang tubu di rohangku naeng mangultop, sotung gabe mate. Marsangkap do ahu naeng manangkupsa asa hupiaro.
Alai di si naeng hutangkup pintor habang ibana jonok-jonok, sai torus huhunton gabe sahat tu inganan on, alai dung sahat di son gabe mago pidomg i ndang huida be manang tudia laho” kata Si Raja Tarihoran menjelaskan.
“Uee da ito, anak ni raja nami, unang pola sai lulu-lulu roha muna di si. Ai ahu do na marsuru pidong i laho manomu-nomu hamu tu inganan on asa boi hita pajumpang”, kata gadis itu dengan gaya memikat. Mendengar perkataan itu, hati Si Raja Tarihoran pun sangat senang dan jantungnya pun semakin berdebar-debar.
“Ia hamu tahe ito, ise do hamu jala boru sian dia do hamu?” kata Si Raja Tarihoran bertanya lagi. “Ia ahu ito, ahu ma boru ni raja i marga Sitompul sian Lumban Masopang on na margoar si Manitang Nauli” jawab gadis itu dengan jujur.
“Mauliatema boru ni raja di burju ni roha muna i, dipabotohon hamu do goar muna na uli i sangon uli ni rupa muna,” kata Si Raja Tarihoran mulai merayu.
“Aut sura undok roha ni baru ni raja i, olo gabe parsonduk bolonhu, tung las situtu do rohangku nang roha ni damang dohot dainang,” kata Si Raja Tarihoran melanjutkan rayuannya.
“Mauliate ma anak ni raja nami, sai saut ma tutu songon na nidokmi, alai adorong so i jumolo ma hita pabotohon tu damang dohot dainang asa unang lulu-lulu roha nasida di ahu” jawab gadis itu, sambil mengulurkan tangannya mengajak Si Raja Tarihoran untuk meminta restu kepada orang tuanya, dan Si Raja Tarihoran pun menyambutnya dengan senang hati.
Setelah mereka sepakat untuk menikah (marpudun saut) dan minta restu dari kedua orang tua gadis itu, mereka pun pergi meninggalkan Lumban Masopang kembali ke Lumban Gurning untuk memberitahukan rencana pernikahan mereka kepada Ompu Datu Dalu.
Setelah resmi menjadi suami-istri, mereka hidup bersama dan membuka perladangan untuk memenuhi nafkah mereka sehari hari (mungkin di sekitar Lumban Gurning sekarang).
Tidak lama setelah pernikahan mereka, tumbuhlah kehidupan baru dalam rahim Ompu Boru Sitompul dan setelah tiba bulan dan harinya lahirlah anak pertama (anak laki-laki) bagi keluarga Si Raja Tarihoran, lalu diberi nama Raja Panapang.
Ada cerita mengatakan bahwa ketika Raja Panapang hendak mau lahir, Ompu boru Sitompul sedang memperbaiki penapang (pematang) sawah mereka, sehingga anak yang lahir itu diberi nama Raja Panapang.
Tidak lama setelah kelahiran anak pertama, mengandung lagi Ompu Boru Sitompul dan setelah tiba bulan dan harinya, lahir lagi anak kedua (anak laki-laki) dan diberi nama Raja Pangalele.
Ada cerita mengatakan bahwa selama Raja Pangalele berada dalam kandungan, perladangan Si Raja Tarihoran selalu berpindah-pindah kerena selalu diganggu dikejar (dilele) orang-orang yang lebih berkuasa pada saat itu untuk memperebutkan daerah perladangan sehingga anak yang lahir itu dinamai Raja Pangalele dengan maksud, daripada selalu dikejar (dilele) orang lain, lebih baik jadi orang pengejar (pangalele) orang lain. Kadang-kadang ini penting dalam mempertahankan hidup.
Tidak lama setelah kelahiran anak kedua, Ompu Boru Sitompul mengandung lagi dan setelah tiba bulan dan harinya, lahir lagi anak ketiga (juga anak laki-laki) bagi keluarga Si Raja Tarihoran, lalu diberi nama Raja Naduma.
Ada juga cerita mengatakan bahwa pada masa kelahiran Raja Naduma, hasil perladangan dan ternak mereka cukup berhasil (maduma) sehingga anak yang lahir itu dinamai Raja Naduma.
Selain ketiga anak itu, Ompu Boru Sitompul juga melahirkan tiga orang putri bagi Si Raja Tarihoran (tentang urutan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti). Nama ketiga putri itu adalah:
1. Sigaol Siboru Pareme (Borotan Gaja), menikah dengan marga Butarbutar
2. Siboru Tiar Namora, menikah dengan marga Marpaung
3. Siboru Bintang Haomasan, menikah dengan marga Napitupulu.
Luar biasa keluarga Ompunta Si Raja Tarihoran, memiliki tiga orang putra dan tiga orang putri sehingga menjadi keluarga yang kokoh, berdiri teguh seperti di atas Dalihan Na Tolu.
Si Raja Tarihoran selalu berusaha membina ketiga orang putra dan putrinya tersebut. Mereka dibekali dengan ilmu kebijak-sanaan dan pengetahuan tentang tatanan hidup (adat) orang Batak.