Pandangan Setiap Orang yang Mengatakan Orang Batak Itu Lari Dari Tantangan Dan Rintangan!
Ucapan sahabatku itu sangat membekas dalam benakku. Membuatku jadi obsesif. Benarkah orang Batak penakut ?
Sebelum pendapatnya itu menyusup seperti virus dan menggerogoti kebanggaanku sebagai orang Batak, gambaranku mengenai manusia Batak adalah serba maskulin dan macho : pemberani atau bravado, jugul (keras kepala), parhata sada (tanpa kompromi, harus seperti maunya), tahan menderita dalam jangka panjang demi meraih cita-cita, sanggup hidup soliter di tengah-tengah lingkungan yang asing dan tak bersahabat, bersedia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin, berani berinisiatif dan mengambil keputusan yang inkonvensional saat terjadi krisis, ngotot dalam menjaga martabat dan harga diri, selalu yakin bakal menang dalam setiap kompetisi (over confident, dan cenderung underestimate terhadap kompetitor), dan secara umum merasa superior (megalomania) terhadap etnis lain.
Berdasarkan pengalamanku selama periode singkat tinggal di Tapanuli; saat sekolah dasar; yang lalu kubandingkan dengan pengalamanku sejak SMP hingga dewasa di Jakarta; menurutku orang Batak lebih jantan, gentleman dan fair ketimbang etnis lain.
Semasa SD di Tapanuli aku sangat sering berkelahi, tapi waktu SMP di Jakarta aku tak berani lagi berkelahi. Pasalnya, di Jakarta orang suka keroyokan dan main belakang, sebaliknya di Tapanuli orang menantang secara terbuka, berduel satu lawan satu, dan mematuhi aturan main.
Gambaran itulah yang aku sodorkan ketika pada suatu hari di tahun 90-an berdebat dengan Brigjen Soemarno Soedarsono, yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Lemhanas.
Belajar dari pengalaman menyakitkan ketika aku kalah telak dalam perdebatan dengan sahabatku seperti aku tuturkan di atas, aku langsung menyodorkan sejumlah bukti yang meyakinkan bahwa orang Batak pemberani.
Lihat, kataku kepada Soemarno, dari perang gerilya Sisingamaradja XII di hutan Tele dan Dairi sampai Operasi Woyla di Bangkok yang dipimpin oleh Sintong Panjaitan, orang Batak tak pernah alpa membuktikan wataknya sebagai etnis pemberani.
Bahkan, seniman yang berperangai lembut seperti Cornel Simanjuntak ikut bertempur dalam perjuangan kemerdekaan.
Pada sebuah pertempuran di Jakarta, Cornel diterjang peluru pasukan Belanda, lalu menjalani perawatan berbulan-bulan, mati sebagai pahlawan, dan akhirnya dimakamkan di Yogyakarta.
Orang Batak tidak hanya berani bertempur secara fisik, tapi juga secara mental dan bahkan hingga batas kesadaran eksistensinya. Lihat, kataku lagi kepada Wakil Gubernur Lemhanas itu.
Meskipun Cornel sangat mencintai Tano Batak, namun tak jadi soal baginya dikubur di mana saja. Kerelaan ini bersumber dari ujaran yag menjadi pegangan bagi semua orang Batak yang akan merantau : Dang mardia imbar tano hamatean. ‘Tak ada bedanya dikubur di mana saja’
Orang Batak juga berani melompati rintangan di perbatasan kotak-kotak agama, dibuktikan oleh arsitek F Silaban yang dengan penuh dedikasi merancang bangun Masjid Istiqlal.
Mana ada orang Indonesia dari suku lain yang telah mencapai pencerahan setinggi itu ?