Istilah Batak Bermula Dari Daniel Perret
Menurut salah seorang pengamat Kebatakan, Thompson Hs, penelitian Ichwan Azhari itu terkait dengan isu tentang Batak yang dilontarkan Daniel Perret dalam bukunya berjudul Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut.
Buku tersebut sudah diseminarkan oleh PUSSIS pimpinan Ichwan Azhari sendiri.
Dalam buku Daniel Perret, semua istilah Batak dicatat dalam tanda petik dan identifikasi “batak” dalam setting kolonial waktu itu merupakan bagian dari dikotomi antara melayu yang dianggap beradab melalui kesultanan dan keislamannya dan posisi orang-orang “batak” yang belum menganut Islam yang dianggap stereotip dari orang-orang yang tidak beradab.
“Peta dikotomi ini saya kira yang ingin diungkapkan kembali oleh Ichwan Azhari tanpa mengungkap posisi Melayu di Sumatera Utara. Kita tunggu saja sambungan penelitiannya,” ujar Thompson.
Menurut Thompson, hasil penelitian Ichwan itu juga terkait dengan kepentingan isu Batak yang diperdebatkan lagi oleh sebagian orang Karo belakangan ini.
Dalam sebuah diskusi di Padangbulan baru-baru ini, identitas Karo dalam kaitannya dengan Batak, kembali digugat. Gugatan muncul dari seorang antroplog Karo, Juara Ginting.
Juara mempertanyakan kembali latarbelakang kata Batak disematkan pada suku Karo. Menurut Juara, tak ada kaitan antara Batak dengan Karo.
Juara tak setuju jika Karo dianggap Batak, sebab Karo punya standar adat-istiadat yang mandiri. Kalaupun ada kemiripan tidak bisa langsung diklaim, harus dilihat dari banyak sisi.
“Tentu saja orang Karo tidak harus menjadi Batak. Itulah mungkin dasar lain di samping argumen Juara Rimanta Ginting yang mengambil catatan-catatan lama secara umum.
Lalu orang Toba sendiri juga bisa juga menganggap dirinya bukan orang Batak. Mamun masalahnya bukan di situ,” kata Thompson.
Masyarakat Mandailing juga menolak disebut Batak. Sebab Mandailing sudah diketahui sejak abad ke-14, menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing.
Nama Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M.
Tapi ‘Batak’ sama sekali tidak disebut dalam kitab tersebut. Nama Batak itu sendiri tidak diketahui asal-usulnya.
Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun.
Ketika Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu.
Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda.
Kembali ke hasil penelitian Ichwan. Menurutnya, konsep Batak dari misionaris Jerman semula digunakan kelompok masyarakat di kawasan Tapanuli Utara, tapi lebih lanjut dipakai Belanda menguatkan cengekraman ideologi kolonial.
Perlahan-lahan konsep Batak itu meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba.
Peneliti Belanda kemudian merumuskan konsep sub suku batak dalam antropologi kolonial yang membagi etnik Batak dalam beberapa sub suku seperti sub suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pak Pak.