Makna Hakiki Dan Arti Umpama, Umpasa dan Falsafah Batak
Bahasa Batak pada zaman dulu secara umum adalah merupakan bahasa lisan.
Memang cukup banyak tulisan-tulisan dalam aksara Batak yang ditemukan pada berbagai media seperti kulit kayu (laklak) yang dikenal sebagai pustaha, pada potongan-potongan bambu tulis (bulu suraton) yang dikenal sebagai parhalaan atau kalender kuno dan tondung-tondung, berbagai inskripsi pada dinding ukiran rumah tradisional Batak serta pada batu-batu makam.
Berbagai peneliti antropologi, baik berasal dari Eropa (terutama Belanda dan Jerman) maupun orang Batak, telah berupaya menggali kekayaan bahasa Batak melalui literasi aksara Batak dari pustaha laklak ke dalam huruf-huruf Latin yang dapat kita temukan dewasa ini dalam buku-buku hasil penelitian mereka.
Sehingga kita mengenal berbagai bentuk sastra Batak kuno baik berupa puisi, perumpamaan, pantun-pantun, doa-doa, dongeng atau turiturian, peribahasa.
- Umpasa adalah pantun (Hata Parjolo Patorangkon Hata Parpudi, alai sasintongna hata pasu-pasu doi songon tangiang asa pasauton ni Amanta Debata, ai ganup namanghatahon Umpasa (pasu-pasu) ingkon tongtong do diakui dibagasan rohana na Debata do silehon pasu-pasu).
- Umpama adalah Pepatah atau peribahasa (Ima hata tudosan).
- Falsafah adalah berupa kata-kata nasehat (hata ni natua-tua ima songon tudosan alai godangan doi hasil ni angka pengalaman natua-tua najolo naboi gabe poda tarlumobi tu angka naumposo).
Makna dan arti penting bagi kehidupan dan pergaulan hidup sehari-hari yang dikandung oleh umpama dan umpasa itu, dikelompokkan oleh AA. Sitompul ke dalam: ajaran dan pertimbangan, pemerintahan (kerajaan), hukum dan pengadilan, keluarga dan masyarakat, persaudaraan dan persahabatan, doa dan restu, berkat dan kebahagiaan, kedamaian, tatakrama, kasih, kebenaran dan lain-lain.
Umpama dan umpasa tumbuh dan berkembang terus sebagai sastra lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi sampai dewasa ini. Tidak ada keterangan yang dapat diperoleh tentang siapa yang menciptakannya dan kapan itu diciptakan.
Umpama dan umpasa masih cukup banyak diungkapkan dalam berbagai upacara adat Batak, baik dalam perbincangan atau perundingan adat maupun dalam pemberian doa restu, berkat maupun penghiburan dalam upacara dukacita.
Sedemikian tinggi makna filosofis yang terkandung dalam umpama dan umpasa sehingga Parkin menyebutnya sebagai ‘the floating code of precepts and mores’, ketentuan ajaran, nasihat dan aturan perilaku dalam masyarakat.
Jika sebuah umpama atau umpasa diungkapkan secara tepat dan pada saat serta peristiwa yang tepat, ia dianggap meneguhkan kekuatan batin serta kekuatan soteriologis dalam hubungan adat masyarakat Batak, bagi pihak yang menerima ungkapan itu.
Lebih jauh Vergouwen menyatakan bahwa jika suatu umpama atau umpasa mengandung konsep legal maka ia diterima oleh masyarakat sebagai ketentuan hukum. (H Parkin, 1978:138; AA. Sitompul, 1998:113; JC Vergouwen 1985:109).