Batu Parsidangan dan Kisah Orang Batak Makan Orang
Di Pulau Samosir, Sumatera Utara, wisatawan bisa mendengar kisah orang Batak makan orang. Jangan menduga macam-macam dulu. Hal itu berawal dari cerita tentang Batu Parsidangan untuk menghukum orang-orang jahat.
Bukan hanya keindahan alam yang ditawarkan Pulau Samosir, Sumatera Utara untuk Anda. Tetapi juga sumber pengetahuan akan sejarah Batak masih sangat kental di sana.
Anda menyukai wisata sejarah, artefak kuno, dan semacamnya? Kalau begitu mungkin Anda pernah mendengar istilah orang Batak makan orang. Istilah tersebut bisa jadi bukan hanya sekadar istilah belaka, setelah Anda mengunjungi Batu Parsidangan yang terletak di Pulau Samosir.
Begitu menginjakkan kaki di areal wisata Batu Parsidangan, Desa Siallagan, Pulau Samosir, Sumut Anda akan langsung disambut dengan ramah oleh warga setempat. Mereka juga merupakan penutur sejarah Batu Parsidangan.
Konon, pada zaman Raja Siallagan masih memeluk kepercayaannya, raja menerapkan hukuman yang sangat keji untuk mengadili penjahat atau pelanggar adat setempat, seperti pencuri, pembunuh, pemerkosa, atau lawan perang. Untuk menentukan hukuman, Raja Siallagan beserta permaisuri dan tetua adat mengadakan rapat di tengah perkampungan.
Letaknya berada di bawah pohon suci Hariara. Di mana terdapat kursi-kursi yang terbuat dari batu dan melingkari meja batu. Tempat itulah yang kini dinamai Batu Parsidangan.
Rapat tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menentukan hukuman apa yang tepat untuk terdakwa. Menggunakan kalender adat Batak, Raja Siallagan bersama tetua adat menentukan waktu rapat dan juga waktu untuk mengadili terdakwa.
Apabila terbukti melanggar dan terdakwa tersebut harus dihukum pancung, maka terdakwa dibawa ke rangkaian Batu Parsidangan kedua. Tempat itu ada di belakang rangkaian pertama. Rangkaian batu pertama dan kedua tidak begitu berbeda. Hanya saja, terdapat batu panjang cekung tempat untuk memancung terdakwa.
Tata cara hukuman pancungnya pun tidak asal tebas lalu selesai. Tapi, masih harus melewati berbagai macam proses.
Penutur sejarah mengatakan pertama-tama, terdakwa ditutup matanya dan tangannya diikat menggunakan kain ulos. Kemudian terdakwa direbahkan pada sebuah batu datar yang cukup tinggi. Selanjutnya, tubuhnya akan disayat-sayat untuk menguji ilmu kebal yang dimilikinya.
Apabila tidak berdarah, maka raja akan mengambil kekuatan terdakwa dengan tongkat sakti. Lalu akan disayat-sayat lagi tubuh terdakwa itu. Apabila masih kebal maka prosesi tersebut akan dilakukan berkali-kali hingga kekebalannya menghilang.
Prosesi selanjutnya adalah terdakwa dibawa ke batu cekung dengan asumsi bahwa ilmu kekebalan yang dimilikinya telah sepenuhnya hilang. Dalam posisi siap untuk dipancung, hadir algojo yang harus memancungnya hanya dengan sekali tebas.
Algojo tersebut akan berteriak "Horas! Horas! Horas!" Lalu ia menebaskan pedangnya ke leher terdakwa hingga kepalanya terelepas dari badannya.
Masih belum ngeri? Masih ada prosesi selanjutnya, yaitu dibelahnya badan terdakwa!
Pada proses pemancungan, rupanya telah disediakan cawan di bawah leher terdakwa untuk menampung darah segar yang mengucur dari lehernya. Setelah dirasa cukup, tubuh tanpa kepala terdakwa tersebut lalu akan direbahkan lagi di batu datar tempat pertama ia disayat-sayat.
Setelah direbahkan, algojo kemudian akan membelah tubuh tanpa kepala itu secara vertikal. Diambilnya jantung dan hati, serta dagingnya, kemudian dipotong-potong kecil dan dimasukkan ke dalam cawan yang berisi penuh darah terdakwa.
Konon menurut cerita, cawan yang berisi darah segar, potongan daging, hati dan jantung itu akan diberikan kepada seluruh orang yang menonton pengadilan berdarah itu untuk dimakan. Demikian kisah yang diyakini, tapi jangan salah paham dulu dan memandang sebelah mata.
Menurut kepercayaan yang ada saat itu, apabila orang memakan daging, hati, jantung, dan darah terdakwa yang dipercaya memiliki ilmu tinggi konon orang yang memakannya akan mendapatkan ilmu yang lebih tinggi. Setelahnya, bagian tubuh yang tersisa akan dibuang ke Danau Toba dan kepalanya dibuang ke dalam hutan yang jauh.
Istilah orang Batak makan orang bisa jadi muncul karena sejarah Batu Parsidangan tersebut. Kalau Anda merasa tertantang untuk mengunjungi situs sejarah ini, datanglah ke Batu Parsidangan di Pulau Samosir!