Kisah Boru Lopian Sinambela Putri Sisingamangaraja XII Dan Tor Naginjang Lumban Gaol
Dalam buku yang ditulis oleh Drs Gens G Malau dan Dr Payaman J. Simanjuntak, APU. “Lopian boru Sinambela” hal 66 terbitan Partukkoan Dalihan na Tolu. Jelas sekali terlihat fungsi dari Bius Huta Paung yang menjadi basis pelatihan pasukan sukarela Baginda Raja yang dilatih oleh pendekar-pendekar Atjeh disana.
Sebagai bukti, disana ada sebuah Tambok (danau kecil) bernama tambok Atjeh. Mungkin tambok atjeh sekarang tak seindah masa itu lagi. Bius Huta Paung menerima pasukan Raja itu, Sebagai konsekwensi ikrar bersama yang disepakati bersama tahun 1883 di Bakkara.
Selanjutnya, Sisingamangaraja XII dan Ompu Tor Naginjang (Barita Mopul) sepakat menjadikan Huta Paung sebagai basis latihan bagi pemuda-pemuda Batak. Pasukan relawan ini dilatih para hulubalang dari Atjeh.
Suasana di Huta Paung yang menjadi basis pertahanan garis belakang, ketika itu sangat ramai. Pada dasarnya Huta Paung adalah mata rantai jalur tradisional yang menghubungkan jalur Bakkara, Huta Paung, Dairi atau sebaliknya.
Menurut tutur/ turi-turian yang kami dapat mengenai Boru Lopian dengan Tor Naginjang adalah sebuah hubungan yang direstui semua fihak. Baik itu bius Bakkara maupun Huta Paung. Mereka berdua adalah pasangan yang serasi.
Hubungan dua orang yang diharapkan dapat meneruskan dan menegakkan harkat bangso Batak ini, tidak main-main. Ompung mereka berdua telah bersumpah untuk bahu membahu melawan pendudukan Belanda.
Artinya mereka adalah anak-anak yang tak luput dari sumpah tersebut. Sebagai mana umumnya bangso Batak yang terkenal teguh pada sumpahnya. Pada tahun-tahun itu, beberapa bius sudah mulai menjadi elaborator Belanda.
Seperti menjadi penghubung bagi Belanda dan Sisingamangaraja XII demi menarik keuntungan sendiri.
Dengan demikian Belanda semakin dekat dengan jejak Raja Sisingamangaraja.
Mengetahui hal tersebut , Raja dari Bakkara ini sangat berhati-hati dalam memberikan kepercayaan. Demikianlah Tor Naginjang mendapat kepercayaan dari keluarga Sisingamangaraja untuk mendampingi Lopian paribannya itu.
Namun seperti umumnya hubungan marpariban, yang sering dihinggapi cerita mistis. Akhirnya mati dan tidak diketemukan jasadnya sampai saat ini.
Ketika Raja dan pasukannya yang tinggal belasan orang itu terdesak dari Sionom hudon di Dairi, Tor Naginjang yang sudah sekarat, karena mengalami luka-luka yang parah. Terpaksa dengan berat hati dia ditinggalkan disebuah desa.
Pancur "Boenggoek Nabolon" Huta Paung
Namun, sampai kini tak ada satupun yang dapat menemukan jejak jasadnya. Nasib kedua kekasih tersebut memang ironis. Di sisi lain mereka berdua telah menggenapkan sumpah leluhur mereka.
Dengan tidak menyerah kepada Belanda sampai titik darah penghabisan. Disusul kemudian kematian sang Raja tahun 1907. Dibukanya jalan jalur Dolok Sanggul-Sidikkalang, sebenarnya memutus Bakkara dari jaringan aliansi biusnya, yang tradisional.
Disilah kepicikan Belanda terbugkus rapih sehingga orang tidak lagi beroriantasi pergi ke Bakkara. Sampai pemerintahan yang sekarang berkuasapun, jalur ini tetap tidak dibuka.
Perkembangan dari cerita sejarah sekitar pengungsiannya ke Sionom Hudon, Raja dari Bakkara itu sepertinya berjalan sendiri tanpa dukungan dari keturunan Barita Mopul yang mempunyai pengaruh sampai ke Dairi, sangat tidak masuk akal.
(Halaman 77 buku boru Lopian) Di Huta Paung, mereka menemui Raja Lumba Gaol yang sebelumnya sudah menerima sebahagian pasukan baginda dilatih dan bermukim disana. Hubungan keduanya cukup akrab, dan ada ikatan pamili.
Kutipan dari hal 77 ini cukup untuk menjelaskan bahwa si Boru Lopian adalah Pariban kandung dari Tor Naginjang. Kekerabatan bukan satu-satunya alasan kebersamaan mereka.
Ikrar politik yang dicanangkan Ompung mereka berdua, yaitu Sisingamangraja XI dan Barita Mopul, Ompu Tor Naginjang di Ri Nibolak 1883 itu lah yang mengikat mereka. Hal ini sering dilupakan orang bahwa kalau Ompu-Ompu kita Martonggo tu Debata adalah sumpah yang akan terus dibawa oleh keturunanya.
Monumen Boru Lopian Sinambela
Demikianlah jalan hidup Si Boru Lopian dan Si Tor Naginjang sebagai Pariban yang sejak semula dibangun dengan kesadaran Politik bercampur dengan mistisifikasi “Dalihan na Tolu”. Berikutnya hal 113
Ketika Welsink mengajak Sisingamangaraja bertemu di Parbuluan. Ajakan itu ditolak Raja atas nasehat Ompu Babiat Situmorang bersama ama ni Mopul (koreksi) Barita Mopul. Dua tokoh ini mempunyai pengaruh sampai Dairi.
Karena semangkin banyak saja orang yang tergiur dengan janji-janji Welsink. Pada tangal 27 Oktober 1890 Guru Somalaing pardede dan Modigliani naik perahu (Ducth} menuju Bakkara.
(Catatan Modigliani dalam Toba Na Sae hal 334). Pada kesempatan tersebut , saya berhasil meyakinkan mereka bahwa kalau mereka bersama dengan saya, maka roh {begu} itu tidak perlu ditakuti’
“Tetapi di atas sana juga `musuh`,”kata mereka. Kemungkinan besar pendapat mereka itu benar, sebab di balik gunung itu terletak Huta Paung dan Parsingguran, tempat pasukan Sisingamangaraja masih berkeliaran {bergerilya, S.S}.
Kutipan dari buku Sitor Situmorang dari Toba Na Sae di atas tadi, membuktikan bahwa Bius Huta Paung memang telah menjadi basis perlawanan yang cukup lama. Mengingat kesepakatan pertemuan pimpinan Bius di Ri Nibolak Lintong Bakkara 1883.
Maka secara politis, bius Huta Paung adalah aliansi politik bius Dinasty Bakkara yang paling dekat. Baik itu ditinjau secara geografis maupun tingkat keamanan bagi keluarga Sisingamangaraja XII.
Sedangkan Parsingguran adalah Huta yang dihuni marga {Marbun no2} Banjar Nahor yang saat itu, masuk dalam bius Huta Paung.
Cover Buku Lopian Putri Sisingamangaraja XII
Pada waktu itu juga Tentara Belanda dalam hal ini Marsose, tidak dapat melanjutkan pengejaran terhadap Sisingamangaraja XII dari Bakkara ke Huta Paung, karena medan yang terjal, dan pasukan Sisingamangaraja sudah berada di posisi ketinggian Bukit, hulubalang serta panglima-panglima perang Atjeh sudah siap melakukan penyerangan, apabila pasukan Marsose memaksa diri mendaki ke arah Parsingguran.
Belanda tahu akan posisi yang kurang menguntungkan itu. Oleh karena itu, mereka tidak mau mengorbankan pasukan secara sia-sia. Karena jika marsose naik ke Parsingguran, tak ada tempat untuk berlindung karena kontur tanah disana hanya ditumbuhi ilalang, menanjak dan mendaki bukit.
Hal ini terlalu beresiko, maka pasukan Belanda pun terpaksa harus kembali berputar lewat rute Lintong ni Huta Siborong-borong menuju Dolok Sanggul, Matiti, ke Huta Paung.
Saat itu belum dibuka, jalan raya lintas Dolok Sanggul-Sidikalang. Sesampainya Di Huta Paung, Belanda sangat murka dan membakar kampung Lumban Ganjang berikut Jabu Siharunungon warisan yang sudah berusia ratusan tahun tersebut. Belanda marah karena Raja dan keluarganya sudah diungsikan ke Dairi.