Dimana Ada Ulos, Disana Ada Batak
Sebagai artefak budaya, ulos mencoba terus beradaptasi dalam titian zaman. Kesetiaan dan kreativitas petenun menjadi penggerak keberlangsungan ulos. Sebab, tanpa ulos, tiada pula yang disebut sebagai Batak.
Kabut pagi yang tipis masih membayangi permukaan Danau Toba ketika tiga petenun muda di Samosir pergi mandi dan mencuci baju. Dina Simbolon (24), Royani Turnip (19), dan Bunga Nainggolan (18) berjalan beriring sembari membawa perlengkapan mandi. Hari itu, suplai air pipa di Desa Lumban Suhi-suhi di Pulau Samosir tak mengalir. Mandi di danau menjadi solusi praktis.
Sambil mencuci baju, Nani menyetel lagu di ponselnya. Lagu era 1990-an dari Michael Bolton, ”Said I Loved You but I Lied”, terdengar di antara suara kecipak air di tepian danau. Sementara itu, Dina dan Bunga sudah asyik mandi dan berenang di danau. ”Rencana saya sebenarnya pingin kuliah di fakultas hukum,” kata Nani dengan rona wajah malu-malu.
Dalam rangka merajut impiannya itulah, Nani kini tekun menenun ulos. Uang yang terkumpul dari ulos ditabungnya untuk modal sekolah di perguruan tinggi. Bagi banyak orang Batak, pendidikan merupakan hal yang teramat penting. Orang Batak tidak sudi menderita demi mencapai pendidikan tinggi. Tidak terkecuali perempuan. Tidak heran Nani pun memendam tekad serupa.
Terbang ke New York
Seperti juga temannya yang lain, gadis muda Batak kini mulai menekuni keterampilan menenun. Menenun menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarga, selain bertani. Nani dan teman-temannya belajar menenun di bengkel tenun sederhana milik desainer tekstil Merdi Sihombing di Desa Lumban Suhi-suhi, Samosir, Sumatera Utara.
Sejak berbulan-bulan sebelumnya, bersama Lusi Nainggolan, istri Merdi, Nani dan temannya menenun ulos-ulos indah yang lalu dibawa Merdi ke New York, Amerika Serikat. Ulos-ulos sutra karya para petenun muda asal Samosir itu sejak 12 Maret hingga 27 Juli mendatang dipamerkan di Skylight Gallery, Charles B Wang Centre, Stony Brook University, New York. Pameran bertema ”Seas
of Blue: Asian Indigo Dye” itu diikuti empat negara saja dari Asia, yakni Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan India.
Merajut harapan
Dari bengkel sederhana tadi, sebuah harapan dirajut. Gadis-gadis muda Batak sudi menenun ulos sekalipun itu sebagai batu loncatan untuk meraih mimpi yang lain. Namun, setidaknya proses regenerasi petenun ulos telah menapaki jalannya. Dan, jalan itu menjadi niscaya ketika ulos dikemas Merdi menjadi bukan sekadar sebagai artefak budaya atau perangkat adat, melainkan juga sebagai komoditas mode.
Ulos secara umum menggunakan teknik ikat yang disebut gatip, yakni benang lungsi diikat sebelum dicelup pewarna, untuk mengisolasi bagian yang tak ingin diwarnai. Teknik ini memunculkan motif saat ditenun. Ulos kemudian diberi tambahan sirat, semacam pembatas di kedua ujung ulos yang dikerjakan oleh perajin sirat. Sirat biasanya mengambil motif gorga, ukiran khas pada rumah adat Batak.
Ulos karya para petenun muda binaan Merdi dibuat dari serat sutra alam dan pewarna alami dari dedaunan nila atau indigo (Indigofera tinctoria) yang banyak tumbuh subur di kawasan Danau Toba. Indigo inilah yang zaman dahulu—sebelum dikenalnya pewarna kimia—digunakan para petenun ulos. Bagi Merdi, penggunaan kembali pewarna indigo merupakan hasratnya untuk mengembalikan kekhasan sejati ulos dari masa lampau dalam konteks zaman terkini.
Beradaptasi dengan zaman juga menjadi jalan yang ditempuh tenun uis gara—sebutan untuk ulos—di Tanah Karo. Sahat Tambun, pemilik usaha tenun uis Trias Tambun di Kabanjahe, mengolah uis gara bukan sekadar untuk keperluan adat, melainkan juga aneka kerajinan dan ornamen hiasan interior. Bahkan, Sahat juga berkreasi memodifikasi motif. Salah satunya dengan memadukan motif khas Karo, yakni legot, dengan motif lurik, salah satu tenun khas Jawa. Hasilnya amatlah menawan.
Lain lagi kreasi yang dicipta petenun hiou (ulos) Bob Damanik di Pematang Siantar. Sebuah alat tenun bukan mesin (ATBM) berukuran cukup besar menyesaki bagian belakang rumahnya. Dengan alat tenun ini, Bob menenun sekaligus membuat gatip. Jalinan benang lungsi yang sudah tersusun pada alat tenun sebagian diisolasi dengan bilah-bilah bambu sesuai motif gatip. Bob kemudian mengambil pewarna dan mengecat benang yang tak terisolasi bambu. ”Lihat, tinggal cat benang langsung kering, jadi sudah gatip,” ujarnya terkekeh.
Dengan cara begitu, Bob berhemat waktu banyak dalam proses membuat gatip. Sehelai hiou bermotif tapak catur pun dapat selesai dalam waktu sehari-dua hari saja.
Kesakralan tereduksi
Menurut antropolog Universitas Negeri Medan, Bungaran Simanjuntak, tak ada catatan pasti sejak kapan orang Batak membuat tenun. Diperkirakan, tenun ulos telah ada sejak ribuan tahun lampau seiring terbentuknya masyarakat Batak itu sendiri. Ada ulos, ada Batak.
Dalam buku Seni Budaya Batak yang ditulis Jamaludin S Hasibuan (1985), teknik ikat dalam tenun Batak berasal dari kebudayaan Dongson yang berkembang di kawasan Indochina. Kain tenun ulos sejatinya merupakan selimut pemberi kehangatan. Ada tiga unsur pemberi kehangatan dalam kehidupan orang Batak zaman dahulu, matahari, api, dan ulos. Ulos dikenakan sebagai penjaga keselamatan tubuh dan jiwa pemakainya.
”Dahulu, sebelum masuknya agama dari Barat dan Timur Tengah, pembuatan ulos selalu tergantung dari pesanan dan dikaitkan dengan jiwa si pemesan. Namanya, usianya, asalnya, waktu keperluannya selalu ditanya oleh petenun. Oleh karena itu, pembuatan ulos selalu berlatar belakang kekuatan mistik sehingga ulos berfungsi protektif kepada pemakainya,” papar Bungaran.
Selain sebagai pakaian, penanda kedudukan, penanda kelompok, dan perangkat adat, ulos juga menjadi pengikat kasih sayang antar-sesama manusia. Bahkan, segala bentuk hadiah dari pihak perempuan kerap disebut ulos walaupun bukan dalam bentuk kain.
”Waktu saya menikah dan ikut suami, ibu saya memberi ulos sitolu tuho yang dia tenun sendiri, sambil berpesan, kalau saya rindu dia, tinggal peluk erat-erat ulos pemberiannya,” kata Lasma Nainggolan (58), pedagang ulos di Pasar Horas, Pematang Siantar.
Seiring zaman dan masuknya agama modern, sebagian besar masyarakat Batak tak lagi melakoni kepercayaan yang dianut para leluhur. Sejak itulah, menurut Bungaran, kesakralan ulos dari segi magis tereduksi. Kesakralan ulos beralih, dikemas dalam bingkai keagamaan, tanpa menyerap lagi unsur kemagisan.
Meski zaman terus berubah dan kepercayaan leluhur ditinggalkan, bagaimanapun sulit menjadi Batak tanpa ulos. Ulos pada masa kini mungkin memang tak lagi berfungsi magis sebagai penjaga jiwa, tetapi penjaga identitas budaya bagi masyarakat Batak. Di dalam setiap helai benangnya termuat sejarah yang menjadikan identitas Batak ada.
Oleh:
Sumber Kompas