Boru Ni Raja, Sebuah Konsep Priyayi dalam Sistem Kehidupan Orang Batak
Alkisah pada jaman dahulu kala, di jaman Cinderella, seorang Raja sedang mencari seorang calon istri. Banyak keluarga kerajaan tetangga menjodohkan sang Raja dengan putri-putri mereka, namun sang Raja mencari seorang Putri sejati. A “true princess”. Bibit bobot bebet adalah penting bagi keluarga kerajaan ini demi mempertahankan silsilah sang Raja.
Dalam proses pencaharian, muncul seorang kandidat yang tampak sederhana, jauh dari kemewahan dan keglamoran seorang “princess”. Untuk itu Raja perlu memberikan test. Ia mengundang princess sederhana ini untuk menginap di istananya, dan memberinya sebuah kamar indah dengan pelayanan terbaik kerajaan.
Sang princess tidur di tempat tidur berlapis 7 kasur tebal, dan di lapisan paling bawah diletakkan sebutir kacang. Pagi harinya dalam acara makan pagi, sang Raja bertanya : “Bagaimana tidur anda tadi malam, Princess?”.
Sang Princes yang tidak tampak sebagai princess itu menjawab: “Saya agak susah tidur, Paduka, saya rasa ada sesuatu yang mengganjal di punggung saya, seperti benda kecil entah apa, tapi I will be fine …”, jawab sang Putri. Saat itu, sang Raja tahu, perempuan itulah Princess sejati yang ia tunggu.
Itu adalah satu dongeng kanak-kanak terkenal asal Swedia yang berjudul THE PRINCESS & THE PEA karangan HC Adersen, yang (sampai hari ini) sudah diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa dan dalam bentuk play dimainkan di ribuan theatre di seluruh dunia.
Setelah saya dewasa baru saya mengerti maknanya. Dongeng itu, menurut para psikolog Barat, mengajarkan anak-anak perempuan untuk sensitif. The moral of the story menurut para kritikus sastra adalah “Nobody but a real princess could be as sensitive as that”.
Waktu saya kecil hingga remaja, almarhum Ayah saya kerap kali memberitahu kami anak-anak perempuannya untuk berbuat, bertindak, berpikir, berbicara dan berperilaku seperti “boru raja” atau dalam bahasa Indonesia adalah “putri raja”.
Sungguh mampus, waktu itu saya tidak mengerti apa maknanya dan sebal setiap kali Ayah saya mengingatkan saya akan hal itu. Waktu itu, menurut saya itu hanyalah sebuah konsep konyol dalam filosofi tradisional batak.
Ayah saya sering sekali memperbaiki cara duduk saya yang kerap sembarangan, tawa saya yang terbahak-bahak, cara berpakaian saya yang seenaknya, make-up dan hairstyle saya yang dianggapnya sering berlebihan (for your info, semasa remaja saya terobsesi dengan rambut saya), lalu cara berjalan saya yang agak tergesa-gesa, bahasa Indonesia saya yang sering saya campur adukkan dengan bahasa jalanan (semisal; “gue”, “elu”, “disono”; belum lagi pemenggalan bahasa seperti: “memang” menjadi “emang”, “sampai” menjadi “nyampe”, dan sekitar 700 kata bahasa Indonesia lain yang sering saya selewengkan).
Setiap kali Ayah memperbaiki hal salah yang saya lakukan, dia akan mengatakan: “boru raja tidak akan berbicara seperti itu”, “boru raja tidak akan bertindak seperti itu”, “berlakulah seperti boru raja”, dan sebagainya. Frasa “boru raja” itu, ribuan kali saya dengar, sampai-sampai saya pikir kami ini keturunan raja-raja. Ternyata bukan.
Memasuki masa remaja dan pemuda, ayah saya juga memberikan filosofi menjadi “boru raja” dalam menyikapi keremajaan anak-anak perempuannya dalam hal berpacaran dan menghadapi lelaki. Dalam keseharian, sambil bercanda atau diskusi serius, ia bahkan dengan detail memberikan standard “boru raja” dalam bergaul dan memilih lelaki. (Goodness! Mungkin saja itu penyebab saya tidak menikah sampai hari ini, karena saya mungkin masih mencari calon “Raja” yang terekam dalam computer brain saya).
Konsep “boru raja” dikenal dalam setiap keluarga Batak. Kata itu sering dipakai dan selalu terdengar di telinga orang batak. Orang batak urban sering menganggap filosofi-filosofi kuno batak adalah produk kolot generasi lama dan meremehkannnya.
“Raja” dalam filosofi batak, seperti yang yang saya sudah jelaskan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, berarti “yang dihormati”. Keluarga batak dari pihak perempuan yang disebut hula-hula sering disimbolkan sebagai “Raja”. Simbol Raja bermakna “penghormatan”.
Istri seorang lelaki batak sering dikatakan sebagai “boru ni raja” atau “putri si raja”. Posisi “Tulang” (saudara lelaki ibu saya), adalah Raja bagi semua kemenakannya.
Praktis, sebutan “boru raja” adalah sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan” untuk perempuan batak yang dimulai sejak ia lahir. “Kehormatan” dan “penghormatan” ini meliputi banyak aspek seperti; kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dignity, pride, wisdom, tradisi dan adat istiadat, dsb.
Siapapun dia, apakah dia seorang perempuan istri Jendral atau pedagang ikan teri di pasar Senen, ia lahir didalam konsep “boru raja”.
Banyak keluarga batak mungkin tidak pernah menerjemahkan konsep “boru raja” ini kepada turun-temurunnya seperti ayah saya; the way my father did it. Tetapi dari banyak personal research yang saya lakukan, dari kampung miskin di Lontung, Samosir yang kerap kali saya kunjungi, hingga Singapore dan New York City tempat yang juga sering saya kunjungi dimana banyak orang batak yang saya kenal tinggal, mereka semua mengenal konsep “boru raja” yang sering didengungkan oleh ayah-ayah mereka.
Rachel Nasution, sahabat saya yang sangat New Yorker itu dengan berseloroh pernah mengatakan: “boru raja enggak boleh ngemis-ngemis cinta”, ketika kami berdiskusi mengenai hubungan cintanya yang putus dengan seorang pemuda yang saya kenal. Itu mungkin hanya sebuah ungkapan dari sahabat saya Rachel yang meletakkan konsep “boru raja” dalam menggambarkan “pride” (seringkali disalah artikan sebagai keangkuhan atau gengsi).
Dalam situasi bercanda yang lain ketika seorang sahabat bertanya tentang kedekatan saya dengan seorang teman lelaki yang sudah menikah yang sering berdiskusi dan berkomunikasi dengan saya lewat sms, dengan cepat saya mengatakan: “hush! Boru Raja tidak akan pernah involved dengan married man manapun!”.
Artinya, konsep “boru raja” yang saya anut itu dapat saya pastikan akan menghalangi saya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang keluar dari nilai-nilai kepatutan, etika, norma, dignity, pride, seperti terlibat affair dengan seorang lelaki yang sudah menikah misalnya, dalam konteks di atas.
Konsep “Raja” memiliki makna yang sangat luas; memasuki teritori adat, darah dan keseharian keluarga batak. Pertengkaran-pertengkaran di kalangan keluarga batak sering disudahi dengan kalimat “Raja do hita” atau terjemahannya adalah “kita adalah raja”.
Artinya, kita tidak akan merendahkan diri kita untuk mempertengkarkan hal itu, karena seorang Raja tidak akan merendahkan martabatnya dengan pertengkaran-pertengaran, perkelahian dsb. Hebat kan konsep “ke-Raja-an” dalam filosofi batak itu? Walaupun dalam prakteknya hal itu lah yang paling susah dilakukan oleh orang batak.
Mungkin konsep itu dibuat oleh opung-opung jaman dulu untuk mengatasi karakter “keras” orang batak. Apapun itu, betapapun sulitnya mengimplementasikannya, makna konsep itu luar biasa,.
Inti dari konsep “boru raja” dalam filosofi batak mengajarkan setiap perempuan batak untuk memahami nilai-nilai “kehormatan” dan “priyayi”, kata yang dipakai oleh masyarakat jawa untuk menggambarkan konsep yang sama yang diambil dari kasta tertinggi orang jawa yang berasal dari kalangan bangsawan atau darah biru.
Konsep “boru raja” juga sama dengan keadaan yang digambarkan dalam dongeng anak-anak asal Eropah, karya HC Andersen, yang saya gambarkan di paragraf pertama tulisan ini.
Keningratan bukan semata sebuah lambang “kasta” belaka, tetapi sebuah simbol kepatutan yang menjadi ukuran-ukuran tidak tertulis dalam kehidupan sehari-hari.
Saya pribadi berterima kasih pada ayah saya yang selalu mengajarkan saya dengan konsep itu sejak saya kecil dan sedikit banyak membentuk saya yang sekarang, walaupun ketika itu saya begitu membenci konsep yang saya gambarkan sebagai konsep kesombongan perempuan batak itu.
Memang tidak akan saya telan mentah-mentah begitu saja, tetapi entah mengapa, setelah dewasa, setelah saya mengerti maknanya, saya mengagumi konsep itu dengan segala kelemahannya.