Cari

Ketika Kearifan Lingkungan Batak Dipertanyakan

Posted 05-01-2015 13:02  » Team Tobatabo

Batak tempo dulu dikenal sangat menjaga dan menghormati lingkungan. Masyarakat tradisional Batak, yang dulu sangat menghormati tumbuhan, tanah dan danau, kini dicekoki dalil-dalil dunia modern yang menyatakan semua hanya sebagai takhayul belaka. Kini, kearifan lingkungan Batak berada di ujung tanduk.

Hal ini suatu kenyataan yang tak bisa disangkal. Bila dulu orang Batak dilarang melukai tanaman, menjaga dan menghormati pohon-pohon besar, maka kini, perambahana hutan terjadi dimana-mana. Padahal mestinya, kearifan local yang dulu telah tertanam dan ditanamkan oleh orang tua itu harus diikuti dan dipelihara.

Meski barangkali bagi perspektif modern, hal ini dianggap terlalu melebih-lebihkan, kita mesti melihat sisi positif dari kebiasaan tersebut. Misalnya saja, perilaku tersebut dulunya mampu membendung dan menjaga keasrian Samosir, menjaga keperawanan hutan di tanah Batak, menjaga tanah Batak tetap hijau dan menawan.

Namun kemudian, sejak masuknya agama Kristen, kebiasaan ini kemudian mulai pupus, karena misionaris-misionaris menggunakan langkah yang kurang tepat dalam menanamkan kepercayaan dalam diri orang Batak. Pohon besar yang dulunya adalah tempat oranag Batak tempo dulu untuk berdoa dan beribadah, mulai ditebang satu per satu demi membuktikan ‘menyembah berhala’ itu bukan jalan yang tepat.

Bangsa Batak tempo dulu adalah komunitas yang hidupnya sangat dekat dengan alam. Hal ini dibuktikan dengan falsafah orang Batak yang banyak membawa ‘alam’ untuk ‘ikut serta di dalamnya’. Sebut saja falsafah rumah Godang. Dibangun menggunakan 3 komponen yaitu batu (hot di batu na), kayu (momos di hasing na) dan ijuk (togu di pangarahutna). Tak berhenti hanya disitu, orang Batak mengangkat cicak sebagai lambang bahwa orang Batak adalah orang yang bisa mneyesuaikan diri dengan lingkungan, artinya,orang Batak bisa dengan mudah hidup dimana saja, karena ambisi, dan semangat yang dimiliki.

Kearifan lingkungan Batak yang telah ada ini, kini sudah mulai pupus, ditelan modernitas. Jumlah rumah Godang yang fungsinya tak semata-mata sebagai tempat berteduh, kini telah menjadi amat jarang. Bahkan, tak sedikit orang Batak yang tidak mengerti mengenai hal ini. Entah karena telah berbaur dengan orang pendatang atau memang benar-benar tidak ada waktu untuk mencari tahu.

Kini, kearifan lingkungan masyarakat tradisional justru berubah menjadi lahan-lahan pengembangan  pertanian monokultur. Diperlukan jiwa-jiwa yang mau mengembalikan kearifan lingkungan, menghembuskan nafas baru yang membawa perbaikan bagi tanah Batak. Barangkali, bukan dengan menanamkan mitos seperti yang orang Batak tempo dulu lakukan, namun dengan nilai yang baru, yang bisa dikemas menjadi konsumsi generasi muda zaman ini dalam menjaga lingkungan.

 

Sumber