Cerita Pendek Batak Boru ni Tulang Bagian Pertama
“Atention please..ladys and gentelemen..,bla,…bla…bla…….”
Sayup-sayup terdengar suara merdu dari salah seorang crew pesawat,yang mengumumkan bahwa sesat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Internasional Kualanamu, mataku masih terkantuk-kantuk dan kucoba menyegarkan diri serta memasang kembali sabuk pengaman yang sejak mengudara dari Bandara Sukarno-Hatta kubiarkan terbuka agar lebih leluasa dalam tidurku.
Perjalanan selama 9 jam setelah sebelumnya transit di Dubai dan Changi di Singapura ahirnya tiba di Tanah Air, penerbangan yang melelahkan terasa sirna seketika saat roda Pesawat berjenis Boeing 777 itu, menyentuh landasan.
Saat menuruni tangga pesawat, perasanku makin membuncah
Aku tidak begitu mengenal Bandara ini, karena saat meninggalkan kampung halaman sekitar 15 tahun yang lampau, aku berangkat dari Bandara Polonia Medan, Bandara Kualanamu sangat berbeda dengan Polonia dalam ingatanku dulu.
Sambil berjalan menuju ruang tunggu bagasi, pandanganku menatap liar ke sekeliling ruangan, Disain interiornya terkesan modern dan apik,lantai dilapisi karpet bermotif minimalis, ruangan dilengkapi dengan sirkulasi udara langsung, sehingga tak perlu memakai penyejuk ruangan (AC)demikian juga pemanfaatan cahaya matahari, yang bisa langsung menembus masuk ke ruangan, sehingga dapat mengurangi penggunaan listrik diwaktu siang dan pastinya disain dan arsitektur bangunan modern Bandara, yang baru diresmikan pengoperasiannya setahun yang lalu ini, hemat energi dan ramah lingkungan.
Sampai diluar Bandara, kucoba mengikuti rekomendasi dari seorang sahabat baikku, Damanik di Roterdam, kebetulan kampung halaman-nya di Siantar, agar aku mencari Taxi resmi Air Port khusus tujuan P.Siantar, karena bisa dibooking hingga ke alamat tujuan, tentu harus mengeluarkan biaya ekstra tambahan lagi.
Kijang innova berwarna hitam ahirnya meluncur meninggalkan bandara Kualanamu, bersama beberapa penumpang lainnya menuju Pematang siantar
Sepanjang perjalanan dari Bandara Kualanamu yang kami lewati, sama sekali tidak ada perubahan yang drastis, keadaan-nya sama persis saat kutinggalkan sekitar 15 tahun yang lampau.
“ah,,tak ada yang berubah di lubuk pakam ini ya bang?”tanyaku kepada sang sopir untuk memulai percakapan yang sedari tadi tampak membisu,begitu juga dengan lima orang penumpang lainnya, ”Ya,kek gitulah bang,dari dulu sampai sekarang, tak ada perubahan,”jawab yang ditanya.
Saat berada di sei rampah,hanya satu yang menandakan perubahan kota itu, yaitu perempatan baru yang dilengkapi lampu lalu lintas
“Nah,,inilah yang berubah itu bang,,hehehe…”, kata sang sopir itu lagi kepadaku,sembari menghentikan laju mobil tepat di Trafic ligth yang tiba-tiba menyala merah sambil terkekeh.
Kami pun tiba di Bengkel,ini nama daerah antara Tebing tinggi dan Tanjung morawa,mungkin sudah peraturan perusahaan Taxi ini wajib berhenti di salah satu loket yang sudah ditentukan,untuk istirahat sejenak, atau sekedar belanja oleh-oleh, yang konon terkenal sebagai ciri khas Bengkel, yaitu Dodol bengkel.
Saat melanjutkan perjalanan menuju pematang siantar, kucoba tidur sejenak karena sepanjang perjalanan, tidak ada pemandangan untuk dinikmati,yang ada hanya deretan batang pohon karet dan kebun sawit yang membuat mata terasa kian lelah.
“Bang,,hoi bang…”
“Bang,,,”
Suara sang sopir yang sedari tadi berusaha membangunkan tidurku.
“Hah,kenapa bang,,kita sudah sampai di siantar ya?” tanyaku masih dengan setengah sadar, sambil melongok keluar jendela mobil.
“sudah bang tapi masih di Rambung merah, abang mau diantar kemana ini?”katanya melanjutkan.
“aku diantar terahir saja, sekalian mau keliling kota siantar ini dulu” jawabku semangat.
Satu per satu ke lima penumpang dalam mobil itu pun diantarkan ke alamat masing-masing, hingga penumpang yang tersisa hanya aku sendiri.
Saat berada di kota Pematang siantar suasananya terasa berbeda, udara-nya lebih dingin dan sejuk, Becak BSA berseliweran dijalan-jalan protokol, deru mesin-nya begitu khas, kendaraan roda tiga yang digunakan sebagai angkutan resmi kota ini,j uga menjadi ciri khas kota Pematang siantar selama ini, peninggalan tentara sekutu yang telah di lestarikan sebagai bagian dari peningalan sejarah Perang Dunia ke dua.
Entah kemana saja mobil ini mengantar kan para penumpang itu tadi, hingga tiba saatnya giliranku untuk di antar
“Alamatnya dimana bang”? tanya sang sopir kepada ku
“Sidamanik,,” jawabku singkat
“Bah,,itu udah di luar rute kami bang”
“Ia aku tau,,tapi bisa kan?”
“bisa bang,,tapi tarifnya sama dengan tarif ke siantar-pakam, ya itu kalau abang mau, soalnya ini sudah diluar jangkauan rute resmi kami” katanya melanjutkan.
Negoisasi tarif pun rampung, ahirnya aku diantar hingga ke sidamanik, sepanjang perjalanan dari siantar menuju sidamanik, pemandangan dikiri kanan jalan dihiasi oleh hamparan sawah yang membentang luas, suatu pemandangan yang tak pernah lagi kulihat dalam kurun waktu yang cukup lama.
Aroma asap sesekali terasa menusuk hidung dari tumpukan jerami yang sedang dibakar disana sini diareal persawahan dikiri kanan sepanjang jalan, sesekali laju mobil bermanufer dan rem mendadak untuk menghindari lobang-lobang yang menganga dibeberapa bagian permukaan jalan menuju Sidamanik.
Selama kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, ahirnya kami pun tiba di kampung yang kutuju,
Sidamanik..!!.kampung yang lama ku tinggalkan, jalan yang dulu hanya dilapis aspal kasar berkerikil, kini telah berlapis Hotmix, melewati tanah lapang Sarimatondang, yang dulunya hanya satu jalur, kini telah berubah menjadi dua jalur, dilengkapi dengan separator pembatas jalan, begitu juga dibagian sisi kiri kanan jalan utama Sidamanik itu,dibangun trotoar.
Rumah dan bagunan-bangunan disisi kiri kanan jalan telah banyak yang berubah menjadi bagunan permanen.
Saat tiba di rumah, aku disambut dengan Pelukan hangat dari Ibu, yang biasa kupanggil”Inong”
inong yang sekian lama kutinggalkan dikampung,tubuhnya kian tua dan renta, wajahnya terlihat makin keriput, sorot matanya menatap nanar memandangi tubuhku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki dengan seksama, seakan belum percaya akan kehadiranku, yang tiba-tiba sudah berdiri persis dihadapan-nya, tak kuasa aku menahan haru, hingga menitikkan air mata didekapan Inong.
Gelap kian menyelimuti kampung halamanku, suara burung Gagak dan binantang malam sesekali terdengar saling bersahutan memecah sunyinya malam.udara malam yang semakin dingin serasa menusuk hingga ke tulang, satu per satu para kerabat dan tetangga berdatangan ke Rumah kami, untuk menanyakan kabarku,juga kabar yang kubawa dari negeri seberang.
Keesokan harinya, saat mentari pagi mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur, aku bergegas bangkit dari tempat tidur untuk jiarah ke makam Among, yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami.
aroma semerbak bunga-bunga kopi berwarna putih yang sedang bermekaran disekitar makam among disertai tingkah kicau burung Sipigo diatas pohon Ingou turut menyambut kehadiranku di makam Among dipagi itu. Seketika aku langsung memeluk pusara Among, serta menumpahkan semua rasa rindu dan gundah yang selama ini terbelenggu oleh waktu dan jarak ribuan mil jauh-nya.
sejak kecil sosok ayah memang sangat dekat denganku, mungkin karena jarak umurku yang terpaut jauh diantara ke sembilan saudara-saudarku, yang terpaut lima tahun dan posisiku sebagai anak bungsu.
Tanpa kusadari Inong menghampiriku dari belakang sambil memegang pundak ku, inong tau betul apa yang kurasakan saat itu. Ucapan-nya seakan menenangkan segala kegalauan pikiranku saat kami berada didepan pusara Among, kemudian Inong membasuh wajahku dan menaburi bunga diatas makam Among.
”Pasahat ma, aha nadibagas roha mi amang”katanya lirih…
Sepulang dari makam among, aku bergegas ke rumah Tulang, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami, disana aku masih menemukan sosok Tulang yang sama seperti dulu ketika aku masih di kampung ini, guratan di wajah-nya mereflesikan usianya yang kian menua, Rambut nya kian ditumbuhi uban hingga terlihat makin memutih, gaya bicaranya tak berubah, masih seperti dulu, tegas, serius dan adakalanya meledak ledak.
Saat becerita panjang lebar dengan Tulang, tiba-tiba pembicaraan kami langsung mengarah ke jodoh.
”Ah, inilah topik yang paling kuhindari Tulang,”ujarku sambil terkekeh.
“bah, hindari gimana maksud kau,bukan nya umurmu sudah duapuluh tujuh?”
“ia tulang,,memang sudah 27,tapi kalau Tuhan belum menunjukkan jodoh buat kita lantas kita mau bagaimana?” jawabku mencari pembenaran.
“semakin jauh perjalanmu,semakin lupa kau kutengok sama kekeluargaan ini.
“Loh,,maksud tulang bagaimana?aku kurang paham maksud tulang,”jawabku pernasaran.
“Pasti pariban mu si Bintang tak kau kenal lagi sekarang kan?”
dia menyebut nama paribanku paling bungsu itu.
“hmmm,,,,, masih ingat tulang,tapi wajahnya aku sudah lupa,,”
sambil aku berdiri melihat jejeran foto-foto keluarga yang dipajang di dinding tembok ruang utama.
“Dia sudah lulus Kuliah, dan sekarang bekerja di Medan,biasanya dia pulang sekali sebulan,kebetulan minggu besok dia pulang”katanya melanjutkan.
sesekali aku menganguk-anggukkan kepala mendengar semua penuturan tulang, dan berpikir sosok si Bintang yang dulu kutinggalkan, saat masih duduk dibangku SD kelas empat itu, meski demikian aku tetap mempertimbangkan saran dan masukan yang diberikan oleh tulang, dan yang pasti seperti nya dia amat serius akan hal ini, karna aku tau persis sosok Tulang ini sejak dulu.
Keesok hari-nya sambil bercita-cerita dengan Inong, aku menceritakan apa yang kami perbincangkan kemarin sore dengan Tulang sewaktu di rumah-nya, dan sengaja mengorek informasi tentang Bintang, aku menanyakan beberapa hal kepada Inong, seperti apa sikapnya terhadap inong selama ini, belum selesai aku menanyakan hal itu kepada inong, ia langsung memotong pembicaraan ku.
“Rikkot do ho amang tu Tulang mi?”
Aku diam sejenak sembari mencoba memahami maksud ucapan Inong.
“Alana rikkot jala holong do roha ni tulang mi marnida ho, jala rikkot do si Bintang maradophon au saleleng on amang.” kata inong melanjutkan.
Sorot mataku menatap dalam ke arah inong,mencoba mengartikan ucapan yang baru saja dikatakan-nya tentang si Bintang
Inong melanjutkan, jauh hari sebelumnya mereka sudah membicarakan semua tentang rencana ini, sambil menunggu kedatanganku nantinya, walaupun kepulanganku kian tak pasti, terlebih 5 tahun terahir, saat Inong tak Menyetujui Hubungan ku dengan Suzane, warga Negara Jerman yang pernah kuceritakan kepadanya, kala itu inong sempat meradang karena tak ada sedikit pun terlintas dalam pikiran-nya memiliki menantu/parumaen seorang “Bule”.
“Jangan kau harap aku setuju..!!”
kata inong kepadaku diujung pembicaraan kami melalui telepon ketika itu dengan nada ketus.
ditambah lagi tak satu pun diantara kami anak lelaki inong yang menikah ke pariban-nya, (marboru tulang) maka ada niat Tulang dan inong untuk tetap mengikat hubungan pertalian saudara antara Inong dan pihak tulang, dengan cara seperti ini.
Baca kelanjutannya Cerpen: Boru ni Tulang Bag 2