Efek-Efek Negatif 'Martangan Pudi' Dalam Kehidupan Rumah Tangga Orang Batak
Keharmonisan suatu rumah tangga akan terjadi jika antara si suami dan istri saling terbuka dalam sikap, menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing dari setiap pasangannya.
Banyak yang mengatakan keluarga suku Batak terkenal dengan kesetiannya, yakni sekali menikah dalam hidupnya. Itu memang ril adanya, benar jika pasangan yang dimaksud itu dapat saling menjaga, namun tidak jarang ada juga pasangan rumah tangga suku Batak diambang kronis stadium tingkat lanjut mengarah keperceraian karena salah satu dari pasangan itu kerap tidak terbuka, suka "Martangan Pudi" atau disebut memberikan dengan diam-diam.
Bagi orang batak yang sudah menikah sikap 'Martangan Pudi' sangat tidak dianjurkan dan sangat dilarang keras, sebab adanya sikap martangan pudi adalah bagaikan Virus yang mematikan, berpotensi menghilangkan rasa percaya dari pasangannya jika sudah ketahuan , menimbulkan rasa egois, terkesan hanya mementingkan keluarga sepihak, mengutamakan kepentingan keluarganya sendiri ketimbang keutuhan rumah tangganya, tidak netral, memberikan segala permintaan dari pihak keluarganya tanpa melakukan perundingan sama sekali dengan pasangannya.
Tak jarang, pada umumnya prilaku seperti ini kerap akan menghacurkan bahterah pasangan nikah bagi suku Batak.
Bukan menutupi, ada banyak keluarga pasangan nikah suku batak hancur berantakan karena salah satu pasangan kerap melakukan Martangan pudi.
Definisi dari Martangan pudi adalah, salah satu tindakan dari pasangan nikah yang suka atau gemar memberikan bantuan/permintaan kepada pihak keluarga sendiri, tanpa diketahui pasangannya, suami atau istri.
Istilah Martangan Pudi lebih cendrung dilakukan sang istri. Bagi suku Batak, ada folsofi yang dimaksud dengan "Dalihan na tolu". Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok.
Dalam adat Batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama.
Ketiga tungku yang dimaksud tersebut adalah:
- Somba Marhulahula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri.
- Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita)
- Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman satu marga).
Maka dengan adanya Dalihan Na Tolu ini, kerukunan antar sesama suku Batak, terjalin keharmonisan yang begitu erat, namun tak jarang dalam poin 1 yang berbunyi, Somba Marhulahula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri, kerap disalah digunakan oleh pihak orang tua dari siperempuan kepada menantunya.
Mungkin karena ia merasa dihormati, maka berani melakukan intervensi kepada menantunya. Biasanya, Orang tua yang baik, akan memberikan bantuan support motivasi kepada anak perempuannya dan menantunya agar keutuhan rumah tangga anaknya tidak terbebani.
Namun ini beda, ada orang tua malah ingin merongrong keutuhan rumah tangga putrinya sendiri, seakan mengajari putrinya martangan pudi demi kepentingannya.
Tak jarang, saban hari selalu meminta bantuan materi kepada Putrinya yang sudah berumah tangga. Terang saja, sebagai anak yang baik dan berbakti luhur pada orang tua, tentu juga siapa saja akan melakukanya, jangankan memberikan berupa uang, nyawanya juga akan diberikan kepada orang tuanya.
Kendati demikian, Namun ada yang perlu diperhatikan, dimana setiap anak perempuan yang sudah menikah hendaknya jangan dibebani dengan hal-hal yang tidak masuk akal dan harusnya memakai logika. Bagaimanapun putri yang sudah dinikahkan punya kehidupan sendiri, sudah ada tanggungan, ada anak yang harus ditanggung jawab-inya.
Namun tidak semua orang tua dapat memahaminya, banyak orang tua ingin semaunya tanpa meperdulikan, memperhatikan, perasaan dari para menantu laki-lakinya.
Mengapa itu bisa terjadi, ataukah mungkin karena si mertua merasa Hula-hula (Raja) dalam kultur keluarganya hingga mampu melakukannya?, ada dugaan mungkin itulah faktornya.
Memang sangat ironis sekali jika itu terjadi. Padahal demi kelangsungan kehidupan rumah tangganya, si suami hampir tidak mengenal waktu, rela pontang-pantang kesana kemari mencari mengais rezekinya demi se suap nasi dan menyisihkan sedikit penghasilannya untuk masa depan anak-anaknya dan itu wajib harus dihargai.
Maka itu jadilah istri baik yang bijak, hargai pengorbanan dari suami jangan suka 'Martangan Pudi' jika rumah tangga ingin tetap bertahan.
Nah, bagi para perempuan-prempuan Batak yang sudah berumah tangga, maupun bagi yang hendak mau berumah tangga, hendaknya perihal ' Martangan Pudi ' ini, dapat menjadi perhatian dan dihindarkan sejauh mungkin.
Bukan melarang untuk membantu sanak keluarga pihak sendiri, itu bisa saja dilakukan jika pasangan (suami) tahu dan menyetujuinya.
Apapun yang terjadi, terbukalah kepada pasangan nikahmu, katakan Ya jika Ya, katakan tidak jika tidak, jangan dikatakan Tidak namun kenyataannya Ya. Jika itu terjadi, pasti panjang urusannya. Hendaknya jangan ada dusta diantara pasangan suami-istri. Ingat ! 90℅ perceraian yang terjadi bagi suku batak, bukan karena selingkuh atau ingin menikah lagi, namun terjadi karena tidak ada saling mempercayai lagi. Terima kasih semoga artikel ini bermanfaat untuk anda. (Ag)
Penulis : Agus Budi Tambunan.