Budaya Batak Zaman Dulu Menggunakan Jasa Orang Pintar?
Dibalik keindahan Danau Toba dan Pulau Samosir yang eksotis dan menawan, tersimpan banyak misteri yang kerap kita dengar dari orang yang memiliki pengalaman, kemampuan dan kekuatan khusus dari “penghuni” pulau dan danau ini.
Karena kemampuannya itu, mereka biasanya disebut “orang pintar” (na malo).
Berbagai legenda yang mengharukan, menakutkan, menyenangkan yang mereka wariskan ke tiap generasi sepertinya berpengaruh dalam pengendalian perilaku kehidupan sosial budaya masyarakat di pulau ini.
Keseharian masyarakat Pulau Samosir secara umum akrab dengan penggunaan jasa ‘orang pintar’, sejak dalam kandungan hingga dewasa.
Hampir semua proses pengambilan keputusan yang sulit menggunakan rekomendasi dari ‘orang pintar’. Terjadi ketergantungan yang akut terhadap ‘orang pintar’.
Ibu hamil menjaga janin dalam kandungan dengan peniti dan jerango yang disiapkan ‘orang pintar’. Setelah anak lahir, menanyakan nama anak ke ‘orang pintar’ supaya tidak ‘berat dibawa’ yang bisa membuat si anak sakit.
Sebagai penjaga, anak-anak dipakaikan gelang bonang manalu dan jerango supaya dijaga oleh ‘sesuatu’. Jika anak sakit, dimandikan di kuburan supaya sembuh. Beranjak dewasa, diberi anggir dan pertahanan tubuh, supaya aman dan dapat rezeki di perantauan, dan seterusnya.
Tak tanggung-tanggung, seakan merespon tesis megatrend-nya John Naisbitt di zaman digital sekarang ini, ‘orang pintar’ itu juga memiliki spesialisasi, tak kalah dengan spesialisasi di bidang kedokteran modern.
Ada spesialis pemberi petunjuk bagi yang kehilangan, spesialis mengobati patah tulang, spesialis saraf/kejiwaan, spesialis penyakit dalam, spesialis pemanggil arwah, spesialis menundukkan orang, dan spesialis membuat orang lain sakit bahkan mati.
Belum ada penelitian yang menghasilkan klasifikasi ketergantungan masyarakat Batak dalam menggunakan jasa ‘orang pintar’. Namun secara kualitatif, dapat digolongkan berdasarkan tingkat ketergantungan terhadap jasa ‘orang pintar’ ini. Sebut saja klasifikasi ringan, sedang, dan masif.
Kelompok dengan ketergantungan ringan biasanya menggunakan jasa ‘orang pintar’ untuk bertanya tentang ‘hari baik’ untuk melakukan sesuatu, misalnya kapan hari baik untuk mengadakan peletakan batu pertama pembangunan rumah, menggelar pesta adat, dan seterusnya.
Kelompok sedang, selain jasa yang biasa dikonsumsi kelompok ringan di atas, biasanya meminta jasa ‘orang pintar’ untuk segera dapat jodoh, segera dikaruniai anak, penjaga rumah, penjaga janin dalam kandungan, penjaga bayi supaya tidak diganggu ‘roh jahat’, pertahanan tubuh ketika anak hendak merantau, membuat orang lain tunduk, memilih nama anak supaya tidak sakit-sakitan, penangkal hujan ketika melakukan pesta, dan seterusnya.
Sedang kelompok masif biasanya meminta jasa-jasa ‘orang pintar’ yang lebih krusial, mulai dari menanam atau memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya supaya kebal (tahan pukul, tahan tikam, tahan peluru).
Jasa mengirimkan penyakit bahkan kematian kepada orang tertentu, dan berbagai jenis jasa yang pada prinsipnya mengintervensi eksistensi orang lain yang menjadi target.
Ketergantungan kepada ‘orang pintar’ sesungguhnya adalah paradoks masyarakat Samosir yang pada waktu yang bersamaan justru sangat masif mengejar pendidikan modern. Bukti nyata tentang ambisi menimba ilmu modern sangat terang benderang, bahkan sejak usia belia.
Banyak orangtua yang merelakan anak-anaknya yang masih belia untuk tinggal di asrama di Palipi, Pangururan, Balige, Laguboti, Siantar, Sibolga, Medan, “hanya” untuk menimba ilmu di tingkat pendidikan menengah.
Dan untuk melanjut ke pendidikan tinggi, masyarakat Samosir rela dusun dan desanya kehilangan generasi remaja-nya. Usai mengenyam pendidikan menengah, setiap tahun generasi muda belia .
Samosir secara masif pergi merantau ke Medan, Jakarta, Bandung, Bogor, Jogjakarta, Surabaya, Malang, dan kota lain di perantauan, untuk berjuang bisa duduk di institusi pendidikan tinggi terbaik di negeri ini. Dan mereka banyak yang berhasil.
Hasilnya tidak sulit dicari. Dosen dan guru besar “anak Samosir” tersebar nyaris di seluruh lembaga pendidikan tinggi terbaik negeri ini. Demikian halnya di birokrasi pusat maupun daerah, partai politik, lembaga legislatif, bahkan di dunia bisnis.
Menggandrungi dua rezim pemikiran yang berlawanan satu dengan lain pada saat yang bersamaan adalah suatu hal yang sangat aneh. Tapi itulah realitas masyarakat Samosir hari ini.
Banyak kajian kritis yang harus dilakukan untuk menguji kebenaran keyakinan ini, sehingga masyarakat Batak di Pulau Samosir dapat didorong untuk melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran dan keyakinan yang benar tanpa manipulasi situasi