Ini Dia Penjelasan Mengenai Kematian Dalam Adat Batak Toba
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian.
Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati).
Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan.
Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati:
- Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan / mate punu),
- Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar),
- Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),
- Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan
- Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).
Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga.
Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42).
Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).