Cari

Merawat Konflik Kepahlawanan Datuk Sunggal Dan Sisingamangaraja XII Dalam Egoisme Batak dan Bukan Batak

Posted 23-06-2017 21:22  » Team Tobatabo
Foto Caption: Patung Sisingamangaraja di museum batak

Kurang jelas apa latar Belakang pendapat Tengku Lukman Sinar yang mengatakan bahwa Sisingamangaraja XII mendapat keuntungan dengan penyebutan Perang Sunggal atau Perang Tanduk Banua sebagai Perang Batak, yang dimana disambut “gembira” oleh mereka yang suka menyalahkan orang yang lain atas kegagalan Datuk Sunggal menjadi Pahlawan Nasional.

Sementara sesuai catatan John Anderson sendiri jelas menyebutkan bahwa Sunggal itu dihuni oleh Orang Batak dan dari Suku Karo-karo.

Yang menjadi aneh, jika seorang Sejarawan Inggris, John Anderson yang mengelompokkan bahwa orang Luar, dan para pembesar Karo merupakan kelompok Orang Kaya Sunggal, dimana kelompok ini tidak menyanggahan penyebutan Batak ini sedikitpun.

Tapi memang sejarah itu ada unsur subjektifnya, menjadikan Sejarah Sunggal dan Deli menjadi Bagian Sejarah Batak sebelum Perjanjian Belanda dengan Sultan Deli tentu akan merugikan Sejarah Kesultanan Deli, dimana pada sejarah adanya temuan penghianatan adat seorang Menantu terhadap Mertua dengan alasan duniawi.

Menjadikan Sejarah Sunggal dan Deli sebagai Sejarah Melayu (Karo Maya-maya) yang lepas dari sejarah Batak banyak digiring oleh kelompok Karo yang merasa Bukan Batak, dimana mereka pada umumnya tidak menyadari efek negatif aksi pembengkokkan cerita sejarah ini (hanya cenderung membawa emosi), hal ini akan berefek merugikan pada pada keturunan Orang Kaya Sunggal yang akan dianggap sebagai hanya Pemberontak atas Kerajan Deli.

Belum lagi Cerita-cerita Melayu (apakah beginikah adatnya atau hanya untuk sebuah legimitasi kekuasaan lewat sejarah), yang sering menunjukkan persembahan Puteri pada yang lain bisa dianggap sebagai pernyataan tunduk, hal ini bisa memutar balikkan fakta sejarah.

Adat saat itu adalah Hukum yang berlaku yang mengikat semua yang terlibat di dalamnya, sehingga penggiringan Opini akan Adat (Hukum) yang berlaku saat terjadinya suatu kejadian sebagai sejarah, akan sangat mempengaruhi penilaian dan penulisan kebenaranan Sejarah itu sendiri.

Ajaibnya hal-hal krusial seperti ini seperti diabaikan oleh para Sejarawan ataupun peminat sejarah yang seperti hanya mengikuti alur dan ada yang sengaja atau tidak telah membenturkan Kepahlawanan Sisingamangaraja XII dengan Datu Sunggal Sunggal.

Termasuk juga komentar seorang Sejarawan Tengku Lukman Sinar yang sering dikutip oleh banyak kalangan dan mengangap Perang Batak atau Batak Oorlog adalah kekeliruan sejarah.

Entah sengaja atu tidak sebenarnya penyebutan Batak Oorlog ini adalah menguntungkan posisi Datuk Sunggal yang bisa dikatakan bahwa secara Adat (Hukum) Batak dimanapun itu Datuk Sunggal punya Posisi lebih tinggi dari Sultan Deli sebagai pemberi perempuan (mertua).

Sehingga perlawanan ini tidak hanya didasari masalah penyerobotan tanah, tetapi pelanggaran besar seorang Sultan Deli.

Keluarganya kini masih mewariskan bukti sahih bahwa dia adalah seorang Batak Karo dulunya, yakni Geriten (tempat tulang belulang Nenek Moyang) tetap dijaga dan dipeliharanya sejah dari Istanan di Labuhan hingga ke Istana Maimun Medan.

Kegagalan pengangkatan Datuk Sunggal Sebagai Pahlawan Nasional dipanaskan dengan pengertian yang seperti di tanamkan bahwa Hak nya terampas oleh Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII.

Meski hanya penyebutan Batak Oorlog atau Perang Batak yang sesungguhnya terjadi antara Datuk Sunggal dengan pihak Kesultanan Deli yang di Bantu Belanda.

Hal ini penulis alami sendiri, dalam sebuah diskusi dengan Pakar Sejarah Unimed Prof. Ichwan Azhari, di dinding Facebook beliau.

Menguatkan kesalahan tersebut yaitu dengan penamaan Perang Sunggal sebagai Batak Oorlog, dan dikomentari dengan nama sentimen beberapa orang dengan adanya Jalan Sisingamangaraja XII di Medan.

Tanpa pernah berpikir bahwa yang mereka yakini Medan saat ini pada awalnya bukan Milik Datuk Sunggal tetapi milik Datuk Hamparan Perak yang masih merasa bersaudara sedarah dengan Sisingamangaraja XII, hal ini juga ditandai dengan nama Jalan Sisingamangaraja XII, dan di Tanjung Morawa masih banyak ditemukan Datuk yang merupakan seorang Batak Simalungun (Batak Timur) bermarga Saragih Dasalak.

Kegagalan pengangkatan Datuk Sunggal sebagai Pahlawan Nasional, seharusnya ditarik sebagai kegagalan atau ketidakmampuan mengangkat posisi Datuk Sunggal sebagai akibat korban kesemerawutan sejarah.

Sehingga kekuatan tekat harus diletakkan pada penggalian sejarah sebenar-benarnya, menyampaikan dan membongkar hal-hal yang belum terendus sejarah, yakni dengan satu cara yaitu meletakkan semua ego atau kepentingan bersifat pribadai atau SARA dan melemparkannya jauh-jauh.

Sekarang ini, para penggiat yang mendukung Datuk Sunggal sebagai Pahlawan Nasional lebih banyak mengeluh dari pada menerima semua sejarah apa-adanya, dengan ingin rencana ini cari aman dari dua kepentingan yang bertolak belakang yakni Melayu dan Karo (Maya-maya) atau yang bukan Batak.

Zona nyaman yang tidak akan menimbulkan kontroversi dalam sejarah yang bisa membuat retak hubungan kekerabatan (Jikalau tidak bisa menerima sejarah dengan lapang dada). Dalam hal ini semua pihak harus rela berkorban dalam egoisme pribadi untuk menghindari benturan sejarah Sisingamangaraja XII dengan Datuk Sunggal.

Datuk Sunggal Bermarga Karo-karo Surbakti dan Sisingamangaraja XII bermarga Sinambela adalah marga yang diterima secara umum dan adat sebagai semarga (disebut: Senina/sembuyak, Dongan Tubu, Semarga), hal ini banyak diperbinjangankan dan dikonfrontasi dalam blog-blog pribadi.

Sungguh Ironis, dan entah bagaimana perasaan kedua pahlawan ini di alam sana melihat perpecahan dan aksi adu domba di kalangan penerus sekarang ini.