Willem Iskander: Guru Modern Tanah Batak
Pada 1857, Asisten Residen Alexander Philippus Godon yang berdinas di Tapanuli Selatan itu hendak cuti ke Negeri Belanda. Ketika Godon hendak mengajak seorang Batak untuk ikut, seorang remaja belasan tahun menawarkan diri untuk diajak. Nama remaja itu: Satie.
Godon yang cukup lama berdinas di Tapanuli sama sekali tidak asing dengan Satie. Suatu ketika, di sekolah dasar di Panyabungan yang ikut didirikan Godon sebagai pejabat daerah, Satie sempat memperlihatkan kecerdasan yang membuat Godon kagum. Setelah mempertimbangkan masak-masak, Godon pun membawanya.
Setelah pelayaran panjang, mereka tiba di Amsterdam. Yang pertama kali dilakukan Godon untuk Satie di Belanda adalah mengusahakan pakaian hangat untuk Satie. Tak lupa, Satie juga diajari memakai sepatu. Tujuan mereka yang pertama adalah Desa Vreeswijk. Di sana tinggal seorang guru bernama Dapperen.
Setahun kemudian, Satie — yang punya gelar Sutan Iskandar — sudah terbiasa dengan kehidupan di Negeri Belanda. Dia pun pindah dan menetap di Arnhem.
“Di Arnhem itulah Satie memeluk agama Kristen, (dan) menambahkan namanya dengan nama Raja Belanda, menjadi Willem Iskander”. Kalimat itu bisa dibaca dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008) yang disusun Harry Albert Poeze dengan sumbangan tulisan dari Cees van Dijk dan Inge van der Meulen (cerita tentang Poeze, baca: Juru Kunci Tan Malaka).
Masih menurut buku yang sama, semua orang disebut menaruh hormat kepadanya. Ia rajin, patuh, dan tingkah-lakunya tidak tercela. Ada yang menaruh harapan kepadanya sebagai orang yang bisa menyebarkan agama Kristen ke Tanah Batak.
Karena makin dikenal, dan kian banyak pula orang yang membicarakannya, Godon dan Guru Besar Millies akhirnya mengisahkan sosok Satie gelar Sutan Iskandar yang sudah menyandang nama Willem Iskander itu kepada Menteri Daerah Jajahan, Jan Jacob Rochussen, pada 1858. Godon dan Millias berharap pemerintah kerajaan Belanda bersedia menyekolahkannya dan menjadikannya guru.
Gayung pun bersambut. Pada 1859, Satie yang sudah berusia 19 tahun itu akhirnya masuk sekolah latihan di Amsterdam di bawah bimbingan Guru Kepala Dirk Hekker. Tahun berikutnya, dia pun mendapatkan Akta Guru Bantu.
Setelah mendapatkan Akta Guru Bantu itu, dia sempat disekolahkan lagi. Tujuannya agar keterampilannya semakin meningkat. Namun ia tidak sempat menyelesaikan pendidikan lanjutan karena alasan kesehatan. Dia dipulangkan ke Hindia Belanda pada 1861. Satie atau Willem Iskandar berlayar ke tanah airnya dengan kapal Petronella Chatarina.
“Setibanya di Betawi pada bulan Desember 1861, Willem Iskander menghadap Gubernur Jenderal van den Beele. Willlem Iskander mengutarakan maksudnya mendirikan sekolah guru di Mandailing, dan memohon bantuan Gubernur Jenderal agar cita-citanya itu terlaksana,” tulis Basyral Hamidy Harahap dalam Greget Tuanku Rao.
Gubernur Jenderal van den Beele menyetujui permohonan itu. Beele menulis surat pengantar (katebelece) yang ditujukan kepada Gubernur Pantai Barat Sumatra, van den Bosche. Bermodal katabelece itulah, setelah tiba di Padang, Willem bisa langsung menemui van den Bosche untuk membicarakan lebih lanjut rencana pembangunan sekolah guru. Setelah itu barulah dia melanjutkan perjalanan ke kampungnya di Mandailing.
Ia tiba di Mandailing pada awal 1862. Willem pun benar-benar mewujudkan niatannya. Sekolah guru itu didirikannya di Tanobato, kini terletak di Kecamatan Panyabungan Selatan, Kabupaten Mandailing Natal. Daerah sejuk itu, saat Willem mulai merintis sekolah pada usia 22 tahun, adalah jalur ekonomi yang penting menuju Pelabuhan Natal. Sekolah itu izin pendirian sekolah pun keluar melalui sebuah besluit pada 5 April 1862. Selanjutnya, keluar pula besluit 24 Oktober 1862 yang menetapkan sekolah itu sebagai: Kweekschool Tanobato.
“Dengan gotong-royong masyarakat setempat, gedung sekolah yang amat sederhana didirikan,” tulis Basyral Hamidy Harahap dalam pengantarnya di buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk (1976), buku kumpulan puisi Willem Iskander. Sekolah itu memulai tahun ajaran barunya pada Oktober 1862. “Melalui Kweekschool Tanobato (inilah) Willem Iskander mendidik cendekiawan-cendekiawan muda pribumi selama 12 tahun,” tulis Basyral lagi.
Di Kweekschool Tanobato itu, menurut Basyral Harahap dalam Greget Tuanku Rao, para siswa diajari dasar-dasar berhitung, membaca, menulis, bahasa Belanda, bahasa Melayu, bahasa Mandailing, matematika, fisika, ilmu ukur tanah, ilmu bumi, dan ilmu pemerintahan. Huruf yang dipelajari tak hanya Latin, tapi juga aksara Mandailing dan Melayu.
Saat itu belum banyak sekolah di Sumatera. Selain di Tanobato, di Sumatera kala itu sudah ada Kweekschool di Bukittinggi, saat itu dikenal dengan nama Fort de Kock.
“Bulan Juni 1866, van der Chijs memeriksa keadaan Kweekschool Fort de Kock yang didirikan Asisten Residen pada 1856. Van der Chijs sangat kecewa. Pasalnya sekolah yang dipimpin Abdul Latip Sutan itu tak lebih dari sekolah dasar biasa,” tulis Basyral Harahap.
Abdul Latip Sutan adalah anak pegawai kolonial di Kota Gadang. Ia sebenarnya tidak punya kualifikasi sebagai guru. Dalam kurun waktu 1856 hingga 1866, sekolah itu hanya menghasilkan 10 orang lulusan saja.