Cari

Ketika Orang Tak Lagi Percaya dengan Para “Penjaga” Danau Toba

Posted 18-12-2017 13:10  » Team Tobatabo
Foto Caption: Ilustrasi

Dalam kebudayaan Batak Toba banyak sekali simbol kekuatan yang direpsentasikan sebagai tokoh-tokoh supranatural. Di antaranya ada yang dianggap terkait dengan sejarah perabadan orang Batak Toba sendiri, maupun sekadar legenda. Di dalamnya terdapat nilai-nilai kearifan lokal. Kini cerita-cerita itu sekadar dianggap dongeng belaka.

Seperti disebut di atas, dahulunya masyarakat Batak Toba mengenal sosok-sosok “gaib” yang berdiam di tempat-tempat tertentu. Misalnya di beberapa kawasan Danau Toba.

Seperti di Teluk Bakkara, ada dikenal Namboru Parsidalu-dalu. Di wilayah Janji Raja-Sabulan dikenal sosok Si Boru Saroding, Sibiding Laut dan Siboru Menakenak. Dan di sekitar danau dekat Aek Rangat, Pangururan ada Nai Etang. Sementara di sekitar danau Ambarita dan Simalungun ada Nantinjo.

Baca juga Kisah Legenda Namboru Boru Saroding Penghuni Tao Palipi

Masing-masing tokoh ini memiliki kisah tersendiri dan menjadi legenda di masyarakat sekitarnya.

Misalnya cerita tentang Si Boru Saroding, yang mati di Danau Toba di Palipi, ketika ia hendak menyeberang. Menurut sebuah legenda, kematiannya disebabkan karena siasat saudaranya sendiri yang sakit hati kepadanya.

Sampai kini sebagian masyarakat yang tinggal di kawasan danau itu meyakini arwah Si Boru Saroding menjadi penunggu di kawasan danau itu dalam rupa ular besar. Masyarakat yang tinggal di sekitar itu meyakini bila Si Boru Saroding akan memperlihatkan dirinya bila akan ada bencana di kawasan itu. Sosoknya juga akan muncul bila ada masyarakat yang berperilaku buruk. Termasuk bila air danau dibiarkan kotor.

Karena penghormatan masyarakat begitu tinggi terhadapnya, membuat masyarakat tidak berani berlaku tidak sopan apalagi ketika sedang menyeberangi danau yang ditungguinya. Cerita yang kurang lebih sama juga melatarbelakangi sosok-sosok yang lain. Yang pasti kehadiran sosok penjaga danau ini telah menciptakan sebuah nilai-nilai positif dalam konteks ekologis.

“Legenda-legenda semacam ini dulunya mewarnai kehidupan masyarakat Batak Toba. Ia menjadi dasar hukum tidak tertulis, yang membuat masyarakat tidak pongah. Lebih beradab dan tahu menempatkan dirinya di alam ini.

“Nilai baiknya adalah masyarakat belajar untuk sopan, tidak angkuh dan menghormati lingkungan tempat tinggalnya,” jelas budayawan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatra Utara, Irwansyah Harahap, kepada medanbisnidaily.com, beberapa waktu lalu.

Dijelaskannya, legenda dalam kajian kebudayaan merupakan dasar hukum yang mengarahkan manusia untuk lebih bermoral. Sayangnya, sekarang ini legenda-legenda seperti itu tidak dirawat dan malah dianggap sesat. Padahal, nilai-nilai yang dikandungnya mengandung unsur kebaikan dan pengetahuan. Jadinya sekarang ini orang dengan sesuka hati memperlakukan Danau Toba. Membuang sampah, limbah bahkan tidak takut lagi berkata-kata kotor saat sedang menyeberang danau.
Mitos ke Logos

Perlunya mengangkat pengetahuan yang ada dalam mitos-mitos orang Batak Toba menjadi sangat penting sekarang ini. Karenanya, nyatanya secara ilmu pengetahuan, sejumlah mitos itu justru dapat diterima secara sains.

Misalnya dalam cerita “Tombak Sulu-sulu” di Bakti Raja, Humbahas. Situs ini berupa gua batu yang dalam cerita turun-temurun disebutkan sebagai tempat ibunda Sisingamangaraja I mendapat wangsit dari Tuhan. Bahwa kelak ia akan memperoleh anak laki-laki yang menjadi penguasa di sekitar itu.

Nyatanya setelah diteliti, situs itu adalah bagian jejak geologis letusan Gunung Toba purba. Hal ini disampaikan Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Sumatera Utara, yang juga tim percepatan Geopark Kaldera Toba, Ir Gagarin Sembiring.

Apa kaitannya dengan cerita, itulah yang harus digali untuk menemukan nilai-nilai kearifan dan sejumlah pengetahuan yang ada di dalamnya.

“Artinya selalu ada alasan sains mengapa sebuah tempat/benda disakralkan masyarakatnya. Karena ilmu pengetahuan belum berkembang di masa lalu, masyarakat setempat membahasakan sesuai nalar mereka di kala itu. Sekarang tugas kita mengangkat mitos itu menjadi logos, tanpa harus mengabaikan nilai-nilai lokal yang sudah berkembang sebelumnya,” katanya.

Tags