Cari

Mangalua (Kawin Lari) Kini Semakin “Digemari”

Posted 16-12-2017 14:28  » Team Tobatabo
Foto Caption: Ilustrasi

Mangalua adalah sebuah ungkapan dalam etnografi Batak Toba. Mangalua yang berarti kawin lari adalah sebuah fenomena yang sudah sejak lama terjadi dalam masyarakat Batak Toba. Mangalua menjadi solusi ketika ada halangan atas rencana perkawinan. Pada awalnya mangalua dilarang keras dalam masyarakat Batak Toba. Sehingga hal itu sangat dipantangkan.

Bukan karena proses perkawinannya, tetapi karena biasanya muda-mudi itu telah melanggar aturan. Misalnya menikahi saudara/i nya sendiri atau masih terbilang marga yang sama. Ada juga karena marpadan (terikat sumpah) dan perbedaan status sosial.

Karena itu sanksi yang dikenakan pun cukup keras. Paling sedikit dikucilkan dari masyarakat. Lagipula otomatis posisi mereka di dalam adat (Dalihan Natolu) menjadi rancu yang pada akhirnya membuat mereka rendah diri.

Tetapi mangalua bukan akhir dari segalanya. Jika mereka kelak melunasi “utangnya” itu, keduanya akan dapat diterima seperti masyarakat lainnya.

Tetapi seiring waktu mangalua tidak seketat di masa lalu. Justru kini sering dijadikan celah bagi paranak yang lamarannya ditolak pihak parboru. Bahkan tak sedikit orangtua sekarang menyarankan agar si anak mangaluahon (membawa lari) si perempuan.

Hal itu dijelaskan budayawan Batak Toba, Johnny Sianipar kepada medanbisnisdaily.com, Senin (11/12/2017).

Johnny yang juga Raja Parhata (juru bicara) di kelompok marganya itu menyebutkan, sekarang ini orang dengan gampang memutuskan untuk mangalua. Seolah-olah tidak ada beban.

“Memang mangalua itu bukan tidak ada adatnya. Ada, hanya saja berlangsung kemudian. Tetapi sebenarnya itu jadi pilihan terakhir yang tidak bisa dihindari. Kalau bisa janganlah sampai mangalua,” katanya.

Hal sama juga disampaikan Batakolog dari Universitas HKBP Nommensen, Manguji Nababan.. Dijelaskan Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Budaya Batak Universitas HKBP Nommensen ini, mangalua dulunya dianggap tabu oleh orang Batak. Hal itu dianggap sebagai aib bagi orangtua yang anaknya mangalua. Tetapi kini seiring dengan tergerusnya peradaban dan budaya orang Batak Toba, sekarang ini banyak muda-mudi yang memilih mangalua.

“Sekarang belum apa-apa, orang sudah memilih untuk mangalua. Padahal harusnya bisa diatasi dengan kekeluargaan. Ini menandakan orang Batak Toba sekarang ini semakin luntur rasa kekeluargaannya, terutama dalam memecahkan masalah,” katanya.

Diangkat sebagai Novel

Jika dulu cerita tentang mangalua dianggap aib, kini hal itu telah menjadi inspirasi bagi sebagian orang. Salah satunya, Idris Pasaribu. Budayawan yang juga jurnalis ini mengangkat kisah mangalua dalam bentuk novel.

Dalam novel itu dikisahkan bagaimana Jogal, putra Mangaraja Parhujinjang membawa lari kekasihnya, yang juga putri seorang raja Raja Huta Bariba. Raja Huta Bariba tak lain adalah musuh bebuyutannya. Dalam novel itu juga dijelaskan bagaimana prosesi membayar “utang” adat dan dendanya. Misalnya setelah diluahon (dilarikan) pihak laki-laki akan menghadap keluarga pihak perempuan untuk membayar utang adat dan dendanya. Yang menariknya dalam novel ini dikisahkan bahwa Mangajaraja Parhujinjang dan Raja Huta Bariba adalah dua raja yang bermusuhan sejak lama.

Ketika Jogal sah menjadi menantu Raja Huta Bariba, maka posisinya dan keluarganya adalah menjadi boru bagi keluarga Raja Huta Bariba. Sementara Mangaraja Parhujinjang digambarkan sebagai sosok raja yang berwibawa dan ditakuti termasuk oleh Raja Huta Bariba. Dalam arti kini posisi Mangaraja Parhunjinjang mestinya tidak “segarang” ketika berhadapan Raja Huta Bariba. Mangaraja Parhujinjang mesti meredam dayanya. Bagaimanapun sejak itu ia adalah boru di keluarga Raja Huta Bariba. Ia harus hormat kepadanya hula-hulanya, seperti yang berlaku dalam Dalihan Natolu. (Jones Gultom)

Dikutip dari Medanbisnisdaily
 
 
 
 
 
Opini | 7 tahun yang lalu
Opini | 7 tahun yang lalu
Opini | 7 tahun yang lalu