Surat Presiden Jokowi kepada DPR Agar Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Komunitas masyarakat adat dari beberapa lokasi di Sumatera Utara mendesak pemerintah dan DPR RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat.
Desakan itu berkumandang, di antaranya tetua ata tokoh dari masyarakat adat Huta Matio, Huta Simenahenak, dan Keturunan Ompu Ponggok Simanjuntak dari Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara.
Kemudian tetua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Nagori (Desa) Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumut.
Masing-masing komunitas masyarakat adat turut malaksanakan ritual adat di lokasi makam leluhur dengan memanjatkan doa kepada Tuhan pencipta semesta dan ruh leluhur.
Ritual adat ini dipimpin tokoh adat Parsaoran Siagian.
"Memohon semoga Tuhan melindungi dan memenuhi keinginan masyarakat adat di Matio agar pemerintah mengesahkan RUU Masyarakat Adat," ucap Parsaoran Siagian.
Terpisah, Ketua Lamtoras Judin Ambarita mengtakan, warga masyakarakat adat Sihaporas, khususnya keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, mendesak pemerintah dan DPR RI, supaya sesegera mungkin mengesahkan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat menjadi undang-undang yang sah berlaku.
"Kami berharap Undang-undang Masyarakat Adat ini nanti berpihak pada masyarakat adat, yaitu mengakui keberdadaan lembaga masyarakat adat dan wilayah adat," kata Judin Ambarita.
Setelah undang-undang itu nanti disahkan, ujar Judin, Lamtoras pun berharap Pemerintah Kabupaten Simalungun dan DPRD Simalungun membuat produk hukum di tingkat daerah.
"Kami meminta dengan hormat, agara Bupati dan DPRD Simalungun mengeluarkan Perda tentang masyarakat adat, termasuk agar mengakui keberadaan tanah Adat Sihaporas yang mengikuti tradisi Batak Toba di kabupaten Simalungun," ujar Judin.
Saat ini RUU Masyarakat Adat sedang dibahas oleh pemerintah untuk disahkan sebagai produk hukum yang menjamin dan memberi kepastian hak bagi masyarakat adat di seluruh nusantara.
Dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat ini, Presiden Joko Widodo telah mengirim suratnya ke DPR RI tertanggal 18 April 2018.
Presiden Jokowi juga telah menugaskan Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Menteri Desa, Menteri Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah untuk membahas RUU tentang Masyarakat Adat tersebut.
Sementara itu, Ketua BPH AMAN Wilayah Tanah Batak, Roganda Simanjuntak menegaskan, bahwa RUU tentang Masyarakat Adat merupakan janji Presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawacita.
"Berulangkali Presiden Jokowi di setiap pertemuan menyampaikan keseriusannya untuk mendukung terbitnya RUU ini," ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat adat sangat menaruh harapan penuh pada RUU ini agar dapat terlindungi dan diakui.
Ia menjelaskan, di mana banyak sekali masyarakat adat yang dikriminalisasi, digusur dari wilayah adat, hutan adatnya dikonversi menjadi tanaman monokultur. Padahal masyarakat adat sudah ratusan tahun mendiami, mengusahai wilayah adat yang dititipkan oleh leluhur masyarakat adat.
"Ini tanah masyarakat adat yang sudah diwariskan oleh leluhurnya secara turun temurun yang sudah beratus tahun lamanya," ucapnya.
Dukungan itu juga datang dari dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan.
Ia langsung menyampaikan harapannya kepada calon gubernur Sumut, Djarot Syaiful Hidayat.
Abdon menyampaikan, untuk lebih memahami isu-isu penting dalam penyusunan program kerja untuk pembangunan Sumatera Utara ke depannya, khususnya soal tanah masyarakat adat.
Secara detil, ia kemudian menyebutkan poin-poin masukan untuk agenda perbaikan Sumut:
1. Agar pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) periode yang akan datang, menjamin kepastian hak dan akses rakyat atas sumber-sumber agraria dan sumber daya alam (SDA) melalui pengakuan masyarakat adat, reforma agraria dan perhutanan sosial, termasuk pengembalian dan redistribusi lahan seluas 2,4 juta hektar untuk dimiliki dan/atau dikelola untuk peningkatan produktivitas rakyat dan pemulihan daya dukung alam.
2. Agar Pemprovsu memprakarsai dan mendorong pembentukan PERDA Masyarakat Adat di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan Putusan MK 35/2012, Perpres 88/2017, dan Permen LHK 32/2016.
3. Pembentukan Tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) dengan memastikan keterlibatan organisasi-organisasi masyarakat adat dan organisasi tani untuk menjamin kepastian hak dan penyelesaian sengketa agraria di kawasan perkebunan dan kawasan hutan, sebagai pelaksanaan Permen ATR 10/2016.
4. Pembentukan Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Tim Inver PTKH) untuk percepatan pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS), demi terlaksananya Perpres 88/2017 dan Permenko 3/2018.
5. Membangun “Satu Peta SUMUT” untuk memastikan penyelenggaraan pelayanan administrasi pertanahan dan perijinan yang transparan, bebas korupsi dan bebas sengketa agraria (One Map Policy/Kebijakan Satu Peta Nasional)
6. Menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan berbasis kerakyatan/komunitas.
7. Agar membangun eko-wisata berbasis komunitas di Kawasan Danau Toba dan Kawasan Ekosistem Leuser.
8. Adanya upaya untuk memulihkan jatidiri, kedaulatan dan kemandirian komunitas adat/desa.
Masyarakat dari 13 Desa Menolak Kehadiran PT DPM di Dairi-Pakpak Bharat
Terkait masalah lahan masyarakat adat, 13 desa menolak keras kehadiran PT DPM di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumatera Utara, Zubaidi berjanji akan menindaklanjuti tuntutan Forum Masyarakat Pencinta Lingkungan (Formatpetaihi) tentang peninjauan izin dan operasional PT Dairi Prima Mineral di Dairi dan Pakpak Bharat.
Hal ini disampaikan dalam diskusi bersama Formatpetalihi, BAKUMSU, PDPK dan WALHI Sumut di kantor dinas ESDM Sumatera Utara, Medan, Selasa (22/5/2018).
Formatpetalihi yang merupakan forum masyarakat dari 13 desa di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat menjelaskan, sejak 2008 lalu warga masyarakat di 13 desa merupakan korban kerusakan lingkungan dan konflik pertanahan akibat keberadaan PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) .
Desa tersebut yakni Lae Rembong, Lae Ambat, Lae Panginuman, Sumbari, Bonian, Bongkaras, Tungtung Batu, Longkotan, Palipi, Markelang, Lae Haporas, Lae Lubung dan Sinar Pagi.
Selain mendesak kepala ESDM untuk segera meninjau ulang keberadaan PT DPM, tuntutan lainnya dari Formatpetaihi adalah realisasi hak kelola rakyat atas hutan mengingat adanya kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) yang merupakan pemerintah pusat.
Ketua Formatpetalihi Sami Sitorus menyampaikan, bahwa mereka sangat bergantung pada tanaman pertanian dan kehutanan (agroforestry).
"Keberadaan pertambangan di kawasan hutan yang secara turun-temurun berfungsi sebagai penyangga ekosistem terutama sumber daya air sudah mereka rasakan dengan berkurangnya produksi hasil pertanian," ujar Sami Sitorus.
Selain itu, kata Sami, terdapat beberapa kasus penyakit kulit yang diduga akibat aliran sungai yang tercemar limbah logam.
" Hal Ini sangat dikhawatirkan akan hilangannya mata pencaharian karena perubahan pola hidup masyarakat menjadi buruh-buruh industri tambang," jelas Sami.
Sebelumnya, Koalisi Advokasi Tambang dan Penyelamatan Hutan Dairi-pakpak Bharat yang terdiri dari BAKUMSU WALHI Sumut, PDPK dan HARI dalam kertas, posisinya menyimpulkan bahwa pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk usaha pertambangan tertutup kepada PT DPM.
Hal itu sangat bertentangan dengan fakta keberadaan masyarakat yang telah melakukan kegiatan budidaya tanaman pertanian dan kehutanan jauh sebelum kedatangan perusahaan tambang.
"Ini berpotensi akan semakin menghilangkan sumber pendapatan masyarakat dari sektor agroforestry sehingga jelas bertolak belakang dengan upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memulihkan hutan rakyat dan peningkatan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan mencetak sawah," tegas pernyataan Koalisi Advokasi Tambang dan Penyelamatan Hutan Dairi-Pakpak Bharat, yang diterima Tribun-Medan.com, Selasa (22/5/2018).
Selain itu, menurut pernyataan tersebut, terdapat fakta bahwa masyarakat merasa tertipu dan dirugikan pasca transisi kepemilikan lahan dan ganti rugi karena adanya pengabaian perusahaan dan pemerintah atas keberadaan masyarakat di kawasan hutan. Hal ini memicu konflik karena adanya klaim atas tanah baik antar keluarga maupun komunitas adat/marga.