Cari

Harimau Sumatera Datangi Pasar dan Terjebak di Kolong Rumah Toko, Berjalan 40 KM Mencari Makan

Posted 17-11-2018 13:12  » Team Tobatabo
Foto Caption: Harimau terjebak di lorong di bawah ruko panggung di pasar di Pulau Burung, Riau.

RIAU - Merambahnya Harimau Sumatera ke areal perkebunan hingga memangsa hewan ternak penduduk setempat adalah kejadian yang sudah biasa kita dengar belakangan ini.

Namun bagaimana jika seekor Harimau Sumatera mendatangi pasar, yang penduduknya ramai, tentu hal ini akan membuat beragam tanda tanya. Seperti yang terjadi di Riau, seekor harimau datang ke pasar di Pulau Burung.

Harimau ini sudah dua hari terjebak di kolong rumah toko. Diperkirakan harimau tersebut berjalan puluhan kilometer meninggalkan habitatnya untuk mencari makan.

"Seekor harimau dewasa jantan, sehari bisa jalan 40 kilometer sementara kawasan hutan terdekat (dari pasar di Pulau Burung) kurang dari itu kalau diambil garis lurusnya," kata Suharyono, kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau kepada BBC News Indonesia, Jumat (16/11/2018) petang.

"Karena sumber makanan dan habitatnya terganggu, ia pasti keluar mencari makan, itu kan naluri," imbuh Suharyono.

Merambahnya harimau ke pasar, permukiman, atau perkebunan, sudah sering terjadi.

Suharyono menjelaskan jika lokasi perambahan dekat wilayah hutan, pihaknya akan mengembalikkan binatang ini.

Tapi jika masuk ke pasar seperti yang terjadi di Pulau Burung, pihaknya akan melakukan evakuasi.

Menurut rencana, harimau di Pasar Burung ini akan dibawa ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di Dharmasraya, Sumatera Barat, yang letaknya sekitar 15 jam dengan perjalanan darat.

BKSDA Riau mengerahkan 15 petugas di lapangan untuk mengevakuasi harimau di Pasar Burung, yang hingga Jumat sore (16/11) waktu setempat belum bisa dibius untuk dimasukkan ke kandang evakuasi.

Selama proses evakuasi berlangsung, petugas BKSDA memberikan air dan makanan berupa daging ayam dan sapi segar.

"Kami lempar (daging) ke dekat dia, dan dia masih bereaksi sehat, normal, reaktif dan agresif," kata Suharyono.

Kabar bahwa harimau terjebak di lorong ruko ini membuat warga ingin melihat binatang ini dari dekat, namun Suharyono memperingatkan tindakan warga yang ingin mendekat ini akan membuat binatang ini mengalami stres.

"Harimau ini kan nokturnal, binatang malam, di kegelapan dan tidak berinteraksi dengan manusia, pasti ia stres, meski saya tak bisa mengatakan secara pasti tingkat stres yang ia alami," jelas Suharyono.

Sementara itu Dokter hewan Erni Suyanti Musabine yang bergerak dalam penyelamatan harimau di BKSDA Bengkulu juga mengatakan hal senada.

Ia mengatakan warga yang berkumpul setiap ada harimau yang terjebak akan membuat binatang ini tambah stres.

"Kasian bila ada kasus seperti ini malah banyak ditonton orang, harimau liar pasti takut atau menghindar menghadapi manusia banyak," kata Yanti.

Petugas mengangkut harimau yang terjerat perangkap babi. ()

Apa yang bisa dilakukan?

Merambahnya harimau dan binatang liar lain seperti gajah ke permukiman, selain karena habitatnya yang terus berkurang, juga disebabkan oleh tindakan pemburu binatang-binatang yang selama ini menjadi sumber makanan harimau, kata Suharyono.

"Misalnya anak babi yang banyak diburu yang membuat cadangan makanan harimau menjadi berkurang. Kalau jauh berkurang, harimau pasti akan keluar dari tempat ia hidup. Ketemu anjing ia makan anjing, ketemu ayam ia makan ayam," tambahnya.

Faktor ketiga adalah kegiatan konsensi.

Kepada para pemegang konsensi, apakah itu hutan tanaman industri atau perkebunan, diminta untuk memberi ruang hidup kepada satwa.

"Kehadiran satwa jangan selalu dianggap sebagai gangguan, karena sebenarnya kitalah yang merebut ruang hidup mereka," kata Suharyono.

Jumlah harimau sumatera di Riau, dalam pantauan BKSDA, sekitar 53 ekor.

Sunarto, wildlife ecologist WWF, mengatakan harimau sumatera baik di Riau maupun provinsi lain saat ini masih mendapat tekanan dan ancaman yang tinggi dari perburuan, kehilangan habitat dan konflik.

"Kami mencatat masih banyak pemburu aktif di Riau dan di wilayah lain. Konversi hutan dan perambahan serta tekanan fragmentaai juga masih tinggi. Konflik masih terjadi secara sporadis di berbagai wilayah," kata Sunarto.

Terkait konflik, hal itu dapat terjadi pada berbagai situasi, baik saat populasi dalam jumlah yang besar maupun kecil.

Sunarto menjelaskan, secara sederhana ada tiga faktor penentu, yaitu habitat, manusia, dan harimau itu sendiri.

"Habitat yang terfragmentasi dan terdegradasi oleh gangguan manusia cenderung meningkatkan risiko konflik," katanya.

Pengetahuan dan persepsi terhadap harimau, serta perilaku atau kebiasaan sehari-hari masyarakat di sekitar habitat harimau juga menjadi faktor yang menentukan tingkat risiko konflik.

Dari sisi harimau, ada individu tertentu, seperti yang sedang menjelajah mencari wilayah teritori baru, yang juga menjadi faktor penentu.

Dalam beberapa tahun terakhir, kata Sunarto, sebenarnya sudah ada beberapa peningakatan upaya dan beberapa kemajuan yang dicapai terkait konservasi harimau, baik yang dilakukan pemerintah maupun mitra.

"Misalnya penindakan perburuan dan perdagangan satwa, peningkatan upaya pengelolaan kawasan konservasi, dan respons yang lebih baik atas beberapa insiden konflik. Namun tampaknya upaya yang dilakukan belum memadai dibanding kebutuhan dan perkembangan tantangan yang ada," kata Sunarto.

Ia mengatakan masih diperlukan upaya dan dukungan yang lebih besar dari masyarakat untuk dapat memastikan kelestarian harimau, pengelolaan, dan mitigasi (pencegahan dan penanganan) konflik yang lebih baik.

Dikutip dari Tribun Medan