Fakta Hanya 8% Boru Batak Jelek, Melawan Pesimistis Stereotip Boru Batak
Mayoritas orang Batak, terutama doli-doli, kurang yakin bahwa boru Batak dapat beradu cantik dengan putri dari aneka suku di Indonesia, mereka beranggapan bahwa boru Batak itu kurang (tidak) cantik, mereka pastikan bahwa boru Batak kurang apresiatif terhadap kecantikan.
Keluhan pria Batak terhadap boru Batak yang dianggapnya tidak apresiatif terhadap dunia solek-menyolek terekam dalam sepenggal syair lagu Batak Populer:
Adong do sada tar hira sahit di boru Hita
Na olo i ma losok rohana mangurus dirina
Parsaurangan do pe nian sai hira na matua
Gabe olo do sipata tahe da tata rohaniba
Marnida boru ni Raja na di jabu an
Pesimisme itu, sadar tidak sadar, lebih banyak dibangun oleh ama-ama, “Marhua do pola marbadak-badak. Tong na ma songon i …” oceh seorang ama terhadap isterinya. Satu kali seminggu saja ucapan ini muncul, bisa merubah suasana rumah tangga dan Si Ibu pun akan mengurangi acara rias dan alat-alat riasnya, kondisi seperti inilah yang didapati putri mereka di saat melintasi kehidupan remaja.
Sungguh tidak adil kelompok pria menuduh wanita tidak pandai merias diri seperti dilantunkan lagu Batak Populer tadi, sementara mereka juga telah menghambat pengembangan tata solek.
Pesimisme itu merendah sedikit ketika Duma Riris jungkir balik menempatkan dirinya menjadi Wajah Femina 2006. kemudian layak orang berperang, boru Silalahi kelahiran Balige 20 September 1983 ini merangkak lagi ke puncak dan meraih runner up 1 Putri Indonesia 2007.
Tidak berhenti di situ, boru Batak makin terobsesi menjauhi cap ‘boru Batak tidak cantik’, Angkora dari Tapanuli menunjukkan aslinya pada tahun 2008. Langsung bertengger sebagai Putri Indonesia, kali ini diwakili Zivanna Letisha Siregar. Aha do pe?
Kondisi ini sedikit merubah suasana di wilayah eks keresidenan Tapanuli, kelompok ibu-ibu muda semakin percaya diri bersolek tanpa banyak cemoohan. Kalau ada remaja putri minta dibelikan bedak bermerek, langsung di-ok-kan Si Bapak “Tuhorhon i …. “ katanya sama Parsonduk bolon.
Namun ajang perebutan putri cantik Indonesia yang menempatkan Angkora dari Tapanuli menjadi putri tercantik di Indonesia untuk tahun 2008 belum dapat mewarnai debat warung kopi,. “Paling dua orang itu, apa itu bisa mewakili jutaan boru Batak?” Tanya seorang muda berambut gondrong pada sebuah debat.
Pemuda lainnya menimpali, “Kalau melihat facebook, tidak ada boru Batak yang jelek” ucapnya bersemangat. “Itu kan bisa direkayasa. Lihat dulu Si Tiur, cantik kali pun dia di Facebook, tapi lihatlah aslinya…..” Balas pemuda berambut gondrong.
Seorang muda dengan penampilan santun terlibat mewarnai debat dengan argumen klise, menurutnya sangat wajar kalau kecantikan itu tidak milik boru Batak karena mereka tidak dipersiapkan menjadi pesolek, “Apalagi di pedesaan, kalau anak boru bersolek-solek, nggak jadilah panen” ucapnya. Debat panjang yang bernuansa merendahkan martabat boru Batak berlangsung alot dan tidak berujung.
Tidak terlalu sulit mendapati debat serupa di kalangan ama masyarakat Batak, seandainya dilakukan polling terhadap kelompok pria Batak maka di atas 50% pemilih akan mengatakan boru Batak itu tidak cantik dan tidak modis.
Peran lingkungan banyak memengaruhi boru Batak kurang appresiatf terhadap dunia solek-solek, lingkungan masyarakat Batak lebih setuju boru Batak menjadi orang kaya – pareme jala na mora — ketimbang menjadi seorang ratu, dan untuk menjadi kaya tidak diperlukan kecantikan, yang diperlukan adalah keuletan dan kekerasan hati. Itu keyakinan mereka.
Remaja putri Batak secara alami telah diarahkan lingkungannya, terutama oleh keluarga, menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung-jawab terhadap ketahanan pangan yang menjadi kehormatan paling akhir dalam keluarga.
Sering didapat pada masyarakat Batak ucapan-ucapan seperti: “Pos do roha mamereng Si Duma on, boi do rajaan ni on amang-amangna sogot” atau, “Ingkon na boi do dirajai boru ni Si Raja Borbor amang-amangna asa denggan ruma-tanggana” Ucapan ini mengandung harapan agar Si Duma atau boru ni Si Raja Borbor memiliki kekuatan moral dan mental menjadi kordinator keluarga dengan kekuasaan penuh di bidang pangan dan enerji bila kelak dia menjadi ibu rumah tangga.
Ucapan ini terbiasa didengar remaja putri dalam keluarga Batak sehingga membentuk kepribadiannya mengadopsi nilai dan tanggung jawab yang semestinya milik lelaki. Kondisi ini akan membuatnya menomor-duakan dunia tata solek, paling tidak tata riasnya jangan kemayu.
Dan kalaupun diupayakan kemayu, selalu akan tersisa warna yang tidak selaras dengan wajahnya karena air muka dan bola matanya sedikit menantang berkat pengaruh pembinaan yang berkepanjangan agar menjadi Kepala Badan Urusan Logistik di keluarga.
Tanggung-jawab yang diemban atas prakarsa sendiri ini dikawal secara keras dan berdipsiplin tinggi, berkat itu pula mereka memperoleh pangkat tambahan yakni, Polisi Toba.
Lain dengan pendapat Guru Keno, menurutnya itulah kecantikan boru Batak, ada di wajah Si Duma dan Si Zizi, tim juri melihat itu, “Kalau boru Batak tidak pro aktif sebagai Polisi Toba akan kelihatan jelek. Paling ada 8% boru Batak yang jelek seperti ini” ucap Guru Keno mantap. Berarti, 92% Boru Batak Cantik.