Orang Batak Nekat Mau Kawin Semarga? Penuhi Dulu Syarat Berat Ini
Prinsip perkawinan orang Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya (eksogami), sehingga perkawinan dengan satu marga dilarang keras.
Kenapa dilarang keras? Sebab satu marga dianggap sebagai satu keturunan, satu nenek moyang dan bahkan satu perut (sabutuha). Namun, jika perkawinan ini terlanjur dilakukan, maka perkawian tersebut sama saja incest (sumbang).
Hukuman juga siap menanti bagi pasangan yang melakukan perkawinan semarga. Keduanya bisa diusir dari kampung (huta), dibuang dari rumpun marganya, atau bahkan dibunuh. (Ypes, 1932)
Menurut ahli adat Batak dari Belanda, JC Vergowen, larangan ini dilatarbelakangi ketakutan orang Batak akan marahnya roh-roh leluhur mereka. Akan tetapi, di antara larangan keras tersebut, adat Batak Toba ternyata tidak sepenuhnya menutup jalan perkawinan semarga.
Karena jalannya melawan arus, ketentuan perkawinan ini sangatlah berat, sehingga sangat sedikit pasangan yang berani mengambil risiko untuk menempuhnya.
Menurut Budayawan Batak, Bungaran Simanjuntak, pernikahan semarga boleh dilakukan jika kedua calon pertalian darahnya sudah jauh.
“Misalnya sudah lebih dari 7 generasi (sundut),” kata Bungaran dalam bukunya ‘Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945’.
Jika diasumsikan satu generasi adalah 25 tahun, maka perkawinan semarga boleh dilakukan kira-kira minimal 175 tahun setelah pertalian darah antar dua individu terpisah.
Tidak hanya itu, menurut Bungaran, syarat lain perkawinan semarga ini juga harus ada ‘kesulitan’. Misalnya, karena sulit mendapatkan jodoh dari marga lain lantaran terjadi peperangan di antara mereka, atau terlalu jauh jarak kampung, atau kurangnya pemuda atau pemudi dari marga lain.
Dalam konteks kehidupan orang Batak di tengah-tengah masyarakat yang kian heterogen, tampaknya ‘kesulitan’ demikian sulit ditemui. Atau kalau pun ada, hal itu bisa merupakan pembenaran saja.
Nah, jika syarat minimal 7 generasi dan mendapat kesulitan itu terpenuhi, maka harus digelar upacara Manompas Bongbong atau Tompas Bongbong (menghancurkan tembok larangan), sebagai syarat terakhir.
Karena perkawinan dilakukan semarga, jelas Bungaran, maka marga harus dipecah menjadi beberapa marga baru, sesuai dengan jumlah moyang bersaudara yang akan dipakai sebagai nama marga.
“Jadi kalau moyang yang namanya dipilih jadi marga ada 3 bersaudara, dan sundutsudah di atas 7 generasi, maka marga baru akan mejadi 3 marga,” jelas Guru Besar Universitas Negeri Medan ini.
Upacara ini memakan banyak biaya, karena bisa digelar 7 hari 7 malam atau 40 hari 40 malam, sesuai keputusan para raja atau tetua adat.
Kalau pengusul cara Manompas Bombong tidak mampu, maka usulannya akan ditolak, dan dia menerima hukuman adat dikeluarkan dari keluarga dan dari marga. “Bahkan diusir dari huta,” kata Bungaran.
Biasanya orang seperti ini pergi ke Sumatera Timur atau daerah lain, dan sering menjadi pemeluk agama lain dan juga tidak memakai marga lagi.