Semsar Siahaan, Seniman yang Dianiaya Orde Baru
Berbeda dengan zaman sekarang, di era rezim Orde Baru berjaya, penganiayaan terhadap seniman jamak terjadi. Salah satunya menimpa Semsar Siahaan, pelukis dan perupa kelahiran Medan, 11 Juni 1952 jebolan Departemen Seni Rupa ITB.
Di bangku kuliah, Semsar memang termasuk mahasiswa bengal. Dia pernah membakar karya dosennya Soenaryo, patung keramat bertajuk “Citra Irian”. Akibat ulahnya ini, Semsar terkena sanksi dan gagal menyelesaikan studinya (drop out). Sebagai seniman profesional, Semsar mulai dikenal pada akhir 1970-an. Karyanya beraliran realis. Dia berusaha memindai realita kehidupan nyata masyarakat ke dalam guratan kanvas ataupun instalasi seninya.
“Dari karya-karyanya dapat dirasakan Semsar seorang yang melihat ketidakadilan sosial sebagai sesuatu yang tak diakui oleh kekuasaan, dan sebab itu harus diutarakan,” kenang Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir 7.
Manubilis adalah karya Semsar paling ikonik. Lukisan yang dipublikasikan dalam pameran tunggalnya tahun 1988 itu menggambarkan sosok bertubuh manusia mengenakan jas, bernafsu binatang, dan licik seperti iblis. Manubilis sendiri merupakan kepanjangan manusia, binatang, dan iblis yang dikoversikan menjadi satu sosok dalam lukisan Semsar.
Foto Manubilis (manusia, binatang, dan iblis) karya Semsar Siahaan. (Katalog Pameran Tunggal Semsar Siahaan, 1988/DKJ).
Sebagai kritik sosial, Manubilis menguak sisi gelap zaman Orde Baru. Ia merepresentasikan penjahat berkerah yang sekilas tampak terhormat tapi menerkam kaum lemah macam rakyat jelata, buruh, dan orang marjinal lainnya. Manubilis menjadi salah satu karya terbaik Semsar dan merupakan karya seni yang cukup kontroversial di era 1980-an.
Menurut Suhunan Situmorang, advokat cum sastrawan yang berkarib dengan Semsar, sedari muda, Semsar sudah memperlihatkan sikap kerasnya melawan rezim yang dibangun Soeharto. Dia juga menentang militerisme tanpa pernah merasa takut. Ironisnya, ayah Semsar, Ricardo Siahaan adalah seorang perwira tinggi AD berpangkat mayor jenderal.
Cacat Akibat Aparat
Pada Juni1994, Semsar menjadi seniman yang menjadi korban kebrutalan aparat rezim Orde Baru. Ketika pemerintah melalui tangan Departemen Penerangan membreidel majalah Tempo, Editor, dan Detik, Semsar termasuk aktivis yang garang berdemonstrasi. Sewaktu unjuk rasa di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat – Thamrin, Semsar dipukul dengan tongkat hingga tiga tulang keringnya patah.
Menurut pengakuan Semsar yang dirilis Radio Nederland 2 Juli 1994, petugas militer dari satuan Kodam Jaya lah memukuli dirinya. Saat digebuki, justru pihak kepolisianlah yang berupaya melindungi Semsar. Asisten Intel Kodam Jaya kemudian menyatakan permintaan maaf atas tindakan anak buahnya kepada Semsar.
“Saya tidak menyangka, bahwa tentara akan memukuli saya dengan kejam. Saya tidak pernah takut pada tentara karena ayah saya TNI,” kata Semsar dilansir Radio Nederlandyang termuat dalam buku Bredel di Udara: Rekaman Radio ABC, BBC, DW, Nederland, VoA. “Ayah sempat mengajari saya, sebagai anak tentara tidak boleh takut memperjuangkan nasib rakyat, dan (kata dia) kau harus berani mengatakan apa yang kamu anggap benar.”
Namun, Semsar harus membayar mahal aksi perlawanannya atas pembereidelan majalah itu. Salah satu kakinya patah yang berujung cacat permanen. Sejak itulah, Semsar agak pincang bila melangkah.
“Lewat karya dan suaranya, Semsar adalah oposan abadi bagi rezim Orde Baru. Bahkan, sesudah Soeharto lengser pun, ia tetap diuber orang-orang misterius—membuat ia harus melarikan diri,” tulis Suhunan dalam catatan di blognya berjudul “Semsar Siahaan, Seniman aktivis yang Kesepian”. Berkat bantuan teman dan pengagum karyanya di luar negeri, Semsar bisa mendapatkan residensi di Kanada melalui jalur Singapura.
Pada 2004, Semsar kembali dari pengasingannya. Dia menetap di Bali dan sempat menggelar beberapa pameran. Dia tak lama berada di tanah air. Si pencipta Manubilis ini meninggal dunia di Bali tanggal 23 Februari 2005 karena serangan jantung. Jasadnya kini terkubur di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta.
Ditulis oleh Martin Sitompul via Historia.id dengan Judul "Semsar Siahaan, Seniman yang Dianiaya Orde Baru"