Sistem Patrilineal dan Implementasinya Dalam Suku Batak Toba di Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem kekeluargaan di dalam hukum adat ada tiga yaitu Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral. Patrilineal yang merupakan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari keturunan pihak laki-laki yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan bertanggungjawab. Matrilineal, sistem garis keturunan yang menarik garis keturunan dari garis keturunan ibu yang juga jika tejadi sesuatu pihak ibu yang bertanggungjawab. Sistem tersebut dianut oleh masyarakat minangkabau. Sedangkan Bilateral sendiri tidak ada dominasi antara pihak laki-laki dan perempuan. Sistem ini dipakai oleh masyarakat suku jawa.
Banyaknya masalah telah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat terutama hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan adat istiadat yang berbeda mengalami hal tersebut dengan beragamnya etnis budaya yang ada.
Teori-teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan terutama dalam Hukum Kekerabatan dan Waris Adat sering diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Namun antara teori yang ada dengan fakta dilapangan acap kali terjadi ketidaksinkronan. Antara teori dan prakteknya tidak sesuai, meski dalam beberapa hal memang sesuai tetapi banyak juga yang sama sekali tidak berhubungan.
Melihat hal tersebut, penulis kiranya ingin membahas mengenai fenomena yang terjadi dalam masyaraat tersebut. Dalam hal ini yang ingin dikaji lebih dalam adalah sistem patrilineal dalam lingkungan masyarakat di Sumatera Utara, suku Batak pada khususnya. Di Sumatera Utara memang mayoritas penduduknya adalah suku Batak. Suku Batak yang dikategorikan sebagai adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola.
Batak yang ingin dikaji lebih dalam adalah Batak Toba. Suku yang mayoritas hidup di Pulau Samosir, Tapanuli Utara dan sekitarnya ini mengenal sistem patrilineal dalam menarik garis keturunannya. Sistem yang saat ini hidup di daerah Sumatera Utara tersebut ingin dibandingkan apakah pelaksanaannya di lapangan sama dengan teori yang ada. Untuk lebih spesifiknya akan dipelajari lebih dalam Suku Batak Toba didaerah Tapanuli Utara serta meninjau ulang Sistem Patrilineal tersebut bagaimana prakteknya dalam kehidupan masyarakat Suku Batak Toba tersebut.
Rumusan Masalah
Dengan adanya latarbelakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah :
- Apakah teori yang ada sesuai dengan fakta yang ada dilapangan dalam implementasi Sistem Patrilineal?
- Bagaimanakah Sistem Patrilineal yang hidup dalam masyarakat Suku Batak Toba didaerah Pulau Samosir, Tapanuli Utara dan sekitarnya?
B. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut tujuan permasalahannya adalah :
- Mengkaji teori yang ada melihat kesesuaiannya dengan fakta yang ada dilapangan dalam implementasi Sistem Patrilineal
- Meninjau ulang Sistem Patrilineal yang hidup dalam masyarakat Suku Batak Toba didaerah Pulau Samosir, Tapanuli Utara dan sekitarnya
Suku Batak Toba
Di provinsi Sumatera Utara terdapat berbagai suku bangsa yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Salah satu sukubangsa yang terbesar di daerah tersebut adalah suku Batak. Masyarakat Batak sebenarnya terdiri dari beberapa anak suku walaupun secara umum lebih sering hanya disebut orang Batak. Di propinsi ini juga berkembang suku bangsa Melayu di daerah pesisir timur dan suku bangsa Nias di Pulau Nias di sebelah Barat pulau Sumatera. Suku Batak yang hidup didaerah Sumatera Utara adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola.
Suku bangsa Batak diperkirakan merupakan keturunan kelompok Melayu Tua (Proto Melayu) yang bergerak dari daratan Asia Selatan, dalam upaya mereka mencari tempat yang lebih hangat pada masa Antar-Es. Gerakan nenek moyang kelompok Proto Melayu itu sebagian menetap di wilayah Sumatera Utara sekarang, dan sebagian lagi mewujudkan perjalanan ke Kalimantan dan Sulawesi. Bahkan berdasarkan penelitian, sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan sampai ke Filipina.
Dalam perkembangannya, masyarakat yang sudah mulai bercocok tanam itu berpencar dan mendirikan pemukiman yang satu sama lain dipisahkan oleh pegunungan yang tinggi, jurang yang dalam, dan hutan yang lebat, sehingga kontak antar mereka sangat terbatas. Kurangnya interaksi diantara mereka boleh jadi juga disebabkan kerena masing-masing kelompok telah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga masing-masing mengembangkan pola adaptasi setempat yang kini menunjukkan keanekaan kebudayaan di Sumatera Utara.
Orang Batak menganut sistem kekerabatan yang menghitung garis keturunan secara patrilineal, yaitu memperhitungkan anggota keluarga menurut garis keturunan dari ayah. Orang-orang yang berasal dari satu ayah disebut paripe (satu keluarga), pada orang Karo dinamakan sada bapa (satu keluarga), sedangkan pada orang Simalungun disebut sepanganan (satu keluarga).
Bermula mereka hidup dalam perkauman yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang mengusut garis keturunan dari ayah, dan mendiami satu kesatuan wilayah permukiman yang dikenal dengan huta atau lumban. Biasanya kesatuan kerabat itu berpangkal dari seorang kakek yang menjadi cikal bakal dan pendiri pemukiman, karenanya juga disebut saompu. Kelompok-kelompok kerabat luas terbatas saompu yang mempunyai hubungan seketurunan dengan nenek moyang yang nyata maupun yang fiktif membentuk kesatuan kerabat yang dikenal dengan nama marga.
Hubungan sosial dengan sesama marga diatur melalui hubungan perkawinan, terutama antara marga pemberi pengantin wanita (boru) dengan marga penerima pengantin wanita (hula-hula). Untuk mempertahankan kelestarian kelompok kerabat yang patrilineal, marga-marga tersebut tidak boleh tukar menukar mempelai. Karena itu hubungan perkawinan satu jurusan mamaksa setiap marga menjalin hubungan perkawinan dengan sekurang-kurangnya dua marga lain, yaitu dengan marga pemberi dan marga penerima mempelai wanita.
Marga-marga atau klen patrilineal secara keseluruhan mewujudkan sub-suku daripada sukubangsa Batak. Pertumbuhan penduduk dan persebaran mereka di wilayah pemukiman yang semakin luas serta pengaruh-pengaruh dari luar menyebabkan perkembangan pola-pola adaptasi bervariasi dan terwujud dalam keanekaragaman kebudayaan Batak dan sub-suku yang menggunakan dialek masing-masing.
Berlandaskan pada hubungan perkawinan yang tidak timbal-balik itulah masyarakat Batak mengatur hubungan sosial antarmarga dengan segala hak dan kewajibannya dalam segala kegiatan sosial mereka. Organisasi itu dikenal sebagai dalihan na tolu atau tiga tungku perapian. Marga pemberi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam upacara maupun kegiatan adat terhadap marga penerima mempelai wanita.
Dengan demikian ada keseimbangan hubungan antara perorangan dengan kelompok yang menganut garis keturunan kebapakan. Walaupun seorang wanita yang menikah akan kehilangan segala hak dan kewajibannya dari hak marga asal dan berpindah mengikuti kelompok kerabat suami, namun marga asal tetap mendapat kehormatan sebagai pemberi mempelai wanita yang amat penting artinya sebagai penerus generasi.
Sistem religi yang dianggap asli oleh para pendukungnya ialah sipelebegu. Menurut keyakinan penganutnya, alam semesta beserta isinya ini semula diciptakan oleh Ompu Mulajadi Nabolon yang berdiam di langit lapis ke-tujuh. Dunia dibagi atas banua ginjang yang dikuasai oleh Batara Guru, dan banua tonga yang dikuasai oleh Mangala Bulan. Selain itu orang Batak percaya akan adanya tondi (jiwa) dan begu (roh atau arwah) disekeliling tempat hidup manusia.
Orang Toba mendiami daerah sekitar danau Toba, pulau Samosir, dataran tinggi Toba, Silindung, sekitar Barus dan Sibolga sampai ke daerah pegunungan Bukit Barisan. Antara Pahae dan Habinsaran di Sumatera Utara. Wilayah ini sekarang termasuk ke dalam Kabupaten Tapanuli Utara. Jumlah populasi sekarang sekitar 700.000 jiwa, dan mereka mengembangkan variasi lokal kebudayaan dengan ciri-ciri yang menyolok di bidang arsitektur perumahan.
Masyarakat Suku Batak Toba memakai hubungan sosial antarmarga dengan segala hak dan kewajibannya dalam berinteraksi. Marga memberikan kedudukan terhadap setiap individu dalam suku Batak. Marga yang didapatkan setiap keturunan dalam keluarga suku Batak Toba adalah marga dari ayah. Dengan demikian ada keseimbangan hubungan antara perorangan dengan kelompok yang menganut garis keturunan kebapakan.
Misalnya seorang ayah yang bermarga Hutasoit menikah dengan ibu yang bermarga Silalahi, maka anak mereka akan memakai marga Hutasoit. Untuk seorang wanita yang menikah dengan yang bukan semarga dengannya akan menjadi bagaian dari pihak laki-lai yang menjadi suaminya. Wanita tersebut akan kehilangan segala hak dan kewajibannya dari marga asalnya. Namun marga asal tetap mendapat kehormatan dalam keluarga pihak laki-laki tersebut.
B. Sistem Patrilineal
Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Dimana jika terjadi masalah maka yang bertanggungjawab adalah pihak laki-laki. Sistem kekeluargaan ini dianut oleh bangsa Arab, Eropa, dan suku Batak yang hidup di daerah Sumatera Utara.
Kata Patrilineal seringkali disamakan dengan patriarkhat atau patriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti “ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah”. Sementara itu patriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti “ayah” dan archein (bahasa Yunani) yang berarti “memerintah”. Jadi, “patriarkhi” berarti “kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki“. Dari pengertian tersebut jelas terlihat perbedaan makna dari kedua kata tersebut. Patrilineal mengarah ke garis keturunan dan patriarkhat lebih menjurus kearah kekuasaan. Meski kedua hal tersebut sama-sama memiliki kaitan dengan pihak laki-laki.
Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas yang akan mengkaji teori yang ada melihat kesesuaiannya dengan fakta yang ada dilapangan dalam implementasi Sistem Patrilineal. Maka setelah meninjau ulang dengan berbagai referensi yang ada antara teori Sistem Patrilineal yang dikaji dalam Hukum Kekerabatan dan Waris Adat dengan fakta yang ada dalam masyarakat suku Batak Toba maka dapat diberikan beberapa pernyataan sebagai berikut :
Antara teori Sistem Patrilineal yang dikaji dalam Hukum Kekerabatan dan Waris Adat dengan fakta yang ada dalam masyarakat suku Batak Toba terdapat kesesuaian.
Tidak ada perbedaan sama sekali antara teori yang ada dengan implementasinya dilapangan.
Mengenai rumusan masalah yang kedua yaitu meninjau ulang Sistem Patrilineal yang hidup dalam masyarakat Suku Batak Toba didaerah Pulau Samosir, Tapanuli Utara dan sekitarnya. Berdasarkan fakta dilapangan bahwa Sistem Patrilineal yang ada di daerah tersebut pada dasarnya adalah sama dengan teori yang ada. Meski memang dalam penerapannya terkadang disesuaikan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Ketika akan diterapkan harus sesuai dengan teori yang ada dan ternyata tidak tepat dengan situasi dan kondisi yang ada maka akan menimbulkan masalah.