Cari

Sastra Budaya Mayarakat Batak Toba

Posted 09-11-2014 07:27  » Team Tobatabo

PENGANTAR

“Marbisuk ma ho!” (Hendaklah kamu cerdik dan bijaksana!). Inilah falsafah kuno orang Batak Toba yang tetap aktual dalam dan bagi kehidupan masyarakat Toba hingga pada masa sekarang. Ungkapan ini sering diumbar oleh orang-orang tua dari jaman ke jaman. Falsafat ini sungguh mempengaruhi cara hidup, pola pikir, cara pandang dan tingkah laku (praktek hidup) orang Batak Toba.

Sastra Budaya Batak dapat kita gambarkan dalam  ungkapan para tua-tua orang Batak Toba: “Ansit do na halion (so dapotan) jambar juhut, alai hansitan dope na so dapotan jambar hata”, Artinya sangat menyakitkan jika seseorang tidak mendapat bagian dalam pembagian daging, tetapi lebih sakit lagi jika seseorang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara dalam pesta adat. Ungkapan ini hendak menunjukkan betapa penting dan tingginya nilai berbicara dalam budaya Batak Toba. Ungkapan-ungkapan orang bijak di kalangan Batak Toba memiliki ciri tersendiri. Hal itu tercermin dalam semua tulisan dan sastra yang dimiliki oleh suku Batak.

SASTRA MASYARAKAT BATAK TOBA

# Batak Toba Sekilas Pandang

Masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup tersebar atau tinggal di sekitar daerah Sumatera Utara, khususnya di daerah pulau Samosir dan daerah Tapanuli.

Namun demikian orang Batak telah tersebar ke berbagai penjuru dunia ini. Suku Batak Toba menjadi suku bangsa yang besar. Nenek moyang suku bangsa Batak diduga berasal dari Hindia Belakang, walau menurut mitos orang Batak yang beredar di kalangan masyarakat ini, nenek moyang Orang Batak berasal dari titisan dewa Si Raja Deang Parujar. Raja Batak sebagai manusia pertama dikirim oleh dewa ke bumi ini di gunung Pusuk Buhit, di pulau Samosir. Suku ini memiliki beberapa persamaan dengan salah satu suku di daerah Fhilipina. Karena itu diperkirakan bahwa sebenarnya keturunan Batak Toba berasa dari daerah Asia bagian Hindia Belakang. Banyak teori dan pendapat yang berbicara tentang keberadaan suku Batak Toba.

Sebagian berpendapat bahwa suku Batak mencakup lima suku: Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Dairi-Pakpak. Tetapi pendapat ini sangatlah lemah karena bukti untuk itu tidak kuat. Sebagian orang berpendapat bahwa suku ini berdiri sendiri. Memang ada kemiripan di antara kelima suku ini, misalnya memiliki sedikit persamaan dalam bahasa, adat kebiasaan. Tetapi lebih banyak perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar penentu bahwa suku Batak Toba berbeda dari suku yang lainnya itu. Dalam tugas ini penulis menjelaskan sastra yang dimiliki oleh suku Batak Toba, karena dari suku inilah penulis berasal.

# Seni Sastra Masyarakat Batak Toba.

Orang Batak Toba terkenal dengan keberaniannya untuk berbicara di depan umum dan keberanian dalam hal-hal lainnya. Sifat umum dan khas dari suku bangsa ini ialah “Si boru puas si boru bakkara, molo nunga puas ampema soada mara (artinya,seseorang harus mengungkapkan isi hati dan perasaannya, dan jika hal itu telah terungkapkan maka puaslah rasanya dan damai serta selesailah masalkah, semua masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan). Ungkapan ini umumnya mewarnai sifat orang Batak. Berkaitan dengan itulah maka orang Batak suka berbicara. Suka berbicara, berkaitan erat dengan bayak hal dalam hidup orang Batak Toba. Suku ini memiliki banyak ungkapan-ungkapan berhikmat, pepatah, pantun, falsafah, syair lagu, dll. Banyak ungkapan bijaksana di kalangan masyarakat Toba. Ungkapan bijak itu tidak kala penting dan nilainya bagi kehidupan mausia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dari sastra suku bangsa lain. Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek moyang dari dahulu hingga masa sekarang.

Makna yang terkandung dalam sastra Batak Toba berkaitan erat dengan kehidupan yang dialami setiap hari, misalnya: falsafah pengetahuan (Batak: Habisuhon), kesusilaan (Batak: Hahormaton), tata aturan hidup (Batak: Adat dohotuhum) dan kemasyarakatan (Batak: Parngoluon siganup ari). Bila diteliti secara seksama, sastra kebijaksanaan suku Batak Toba (yang disebut umpama), terdiri dari empat bagian. Pembagian itu adalah sebagai berikut: 

Filsafah (Batak: umpama na marisi habisuhon= pepatah yang berisi pengetahuan atau kebijaksanaan).

Etika kesopanan (Batak : umpama hahormaton).

Undang-undang (Batak: umpama na mardomu tu adat dohot uhum).

Kemasyarakatan (Batak: umpama na mardomu tu parsaoran si ganup ari, ima na dipangke di tingki pesta, partamueon, dll.).

 Arti dan makna umpama (pepatah) dalam suku Batak Toba sangat luas dan mendalam. Berdasarkan bentuknya ungkapan itu dapat di bagi ke dalam empat bagian besar.

Pembagian itu ialah:

Pantun (Batak: umpasa): adalah ungkapan yang berisi permintaan berkat, keturunan yang banyak, penyertaan dan semua hal yang baik, pemberian dari Allah.

Kiasan/persamaan (Batak: tudosan): adalah pepatah yang berisi persamaan dengan ciptaan (alam) dan semua yang ada di sekitar kita, misalnya: pematang sawah yang licin.

Nyanyian (Batak: endeende): adalah pepatah yang sering dinyanyikan, diungkapkan oleh orang yang sedang rindu, yang bergembira dan yang sedang sedih.

Pepatah (Batak: Umpama) adalah:

a) kebijaksanaan/kecerdikan,

b) pepatah etika kesopanan,

c) pepatah adat (peraturan :tata cara),

d) pepatah hukum.

Sastra kebijaksanaan Batak Toba :

1. Berkaitan dengan Penderitaan Manusia:

Nunga bosur soala ni mangan

Mahap soala ni minum

Bosur ala ni sitaonon

Mahap ala ni sidangolon

 Arti harafiah dan leksikal:

Sudah kenyang bukan karena makan

Puas bukan karena minum

Kenyang karena penderitaan

Puas karena kesedihan/dukacita

Sedangkan arti dan makna terdalam: Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas penderitaan yang berkepanjangan yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan menjadi apatis. Namun untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa patuh kepada orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon. 

 Jenis pantun ini ialah “pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini diungkapkan pada waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat kematian orang tua, sahabat dan famili.

2. Berkaitan dengan Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan:

Silaklak ni dandorung

Tu dangka ni sila-sila

Ndang iba jumonokjonok

Tu na so oroan niba

Arti harafiah dan leksikal:

Kulit kayu dandorung

Ke dahan kayu silasila

Dilarang mendekati perempuan/wanita

Jika tidak istri sendiri

Arti terdalam:

Dua baris terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak mendekati seorang perempuan/wanita yang tidak istrinya. Nasehat ini merupakan usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan sekaligus merupakan larangan untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki yang mendekati perempuan yang bukan istrinya dan melakukan hubungan seksual disebut berzinah. Orang yang melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya.

Jenis Sastra:

Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau pepatah nasehat (Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini digunakan pada kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa serta pada kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya orang yang berzinah dihukum secara adat.

3. Berkaitan dengan Etika Kesopanan (sopan santun):

” Pantun hangoluan, tois hamatean!”

Arti harafiah dan leksikal: Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dankebaikan; sikap ceroboh atau sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.

 Arti terdalam: sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang mulia dan bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang yang sopan memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat perlindungan dan sambutan dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang ceroboh dan sombong sulit mendapat teman bahkan sering mendapat lawan dan musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi lawan bagi orang yang seperti ini.

 Jenisnya dan digunakan pada kesempatan: Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat. Pepatah etika sopan santun. Biasanya digunakan pada kesempatan memberangkatkan anak, famili atau sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini digunakan sebagai nasehat orang-orang tua kepada anakanaknya.

4. Berkaitan dengan “Janji atau nazar” yang harus ditepati: 

Pat ni satua

Tu pat ni lote

Mago ma panguba

Mamora na niose 

Arti harafiah dan leksikal:

Kaki tikus

Ke kaki burung puyuh

Lenyap/hilanglah si pengingkar janji

Dan kayalah yang diingkari

 Arti terdalam: seorang yang mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang lenyap (mati) karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi kaya. Orang yang mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag diingkari mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari sang pemberi rahmat. Dia akan menjadi kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang berjanji. Akibat dari pelanggaran padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas pelanggaran padan (janji) tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi juga sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan di dalamnya. Padan bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau dengan saksi. Jika padan diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan maka disebut padan marbulan. Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah hari dan matahari disebut padan marwari. Nilai menepati janji cukup kuat pada orang Toba. Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya padan yang menyatakan perbuatan ingkar janji merupakan yang terkutuk.

  Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan: pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat kepada orang yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada kesempatan ketika menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan dan disampaikan oleh orang tua dari kalangan keluarga. Ini merupakan unsur sosialisasi untuk mendidik orang Toba menjadi orang yang konsekuen dalam bertindak.

5. Berkaitan dengan Kehidupan Sosial Masyarakat: 

Ansimun sada holbung

Pege sangkarimpang

Manimbuk rap tu toru

Mangangkat rap tu ginjang

Arti harafiah dan leksikal:

Mentimun satu kumpulan

Jahe satu rumpun batang

Serentak melompat ke bawah

Serentak melompat ke atas

 Arti terdalam: Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak: dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan:”ringan sama dijingjing, berat sama dipikul”. Dari ungkapan ini terbersit arti mendalam dari kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan darah.Kerukunan diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia dalam kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak saudara dan kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai dengan kode etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat diatur sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu.

  Jenis sastra: tergolong dalam kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan pesta pernikahan, pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan. 

Kekhasan Sastra Batak Toba:

a) Sastra Batak Toba lahir dari budaya Batak yang tumbuh berkat relasinya dengan alam, dunia sekitar dan orang-orang dari suku bangsa lain.

b) Pepatah atau ungkapan bijak dalam suku ini tidak diperoleh dari hasil pendidikan formal, tetapi dari pendidikan suatu perkumpulan, misalnya perguruan silat atau perkumpulan marga dan adat.

c) Sastra ini pada umumnya diwariskan secara lisan.

d) Pengarang satra ini tidak diketahui. Waktu penulisan dan tempat mengarang juga tidak dapat dipastikan.

e) Pepatah dan pantun dapat diubah-ubah sesuai dengan situasi yang ada. Tetapi harus selalu diperhatikan dan dipertahankan isi dan makna yang sebenarnya.

f) Sastra ini memiliki arti kiasan atau perumpamaan dan arti langsung (harafiah).

g) Pola sajak yang digunakan umumnya bervariasi, ada ab-ab dan ada yang bebas.

h) Ada pepatah atau sajak yang bernilai rohani, yang sangat dalam maknanya.

i)  Pepatah umumnya dikuasai oleh sebagian orang saja yang bertugas sebagai pembicara dalam adat. Orang yang bisa berbicara dengan baik dan mengetahui banyak pepatah maka dia dapat dihunjuk sebagai pembicara dalam adat. Tetapi umumnya sastra ini dapat digunakan oleh siapa saja.

Kelebihan dan kekurangan:

Kelebihan: pepatah bersifat sederhana, mudah dimengerti dan diingat oleh orang, tidak membosankan, memiliki arti harafiah dan arti terdalam yang juga memiliki kaitan dengan arti harafiah itu. Umumnya pepatah atau sastra Batak sibuk dengan masa depan.

Kekurangan: tidak semua tertulis karena itu bisa hilang dan dilupakan oleh generasi selanjutnya. Sastra ini memiliki bahasa kuno yang terkadang sulit dimengerti orang jpada aman sekarang.

BAGAIMANA ORANG BATAK SUKA/BISA LIHAI BERDEBAT;

Bukan hal yang baru lagi kalau saat ini kita melihat begitu banyaknya orang Batak yang bergelut di bidang professi pengacara. Bagaimana itu bisa? Sebenarnya kalau kita runut ke belakang, itu adalah hal yang lumrah. Bayangkan, dari dulu nenek moyang orang batak sangat ahli dalam berdebat dengan santun, juga dalam berpantun. Kalau kita mengikuti acara Adat Batak, bisa kita lihat betapa sedang terjadi ‘sengketa’ atau ‘pertempuran’ yang sangat menarik. Tentunya dalam konteks berdebat atau komunikasi adat, orang Batak mengatakan:

Purpar pande dorpi laho padimposhon, sip parmihimihim laho manegai! (Jadi sehebat apapun perdebatan dalam acara pesta adat Batak, pada akhirnya akan berakhir dengan baik, kita tentunya pernah mendengarkan: Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut!)

Salah satu sisi positif dari orang Batak adalah tegas dalam bersikap. Uniknya lagi dalam masyarakat Batak, semua adalah Raja! Artinya bila dihubungkan dengan konsep Dalihan Na Tolu, semua dari kita pada posisi Raja. Sering kita mendengarkan cuplikan kalimat: Anak ni raja do hamuna na ro, suang songoni anak ni raja do hami na didapothon muna! 

Terima kasih sama TUHAN betapa nenek moyang kita dibekali dengan keahlian (anugerah) untuk bertutur kata dan berfikir dengan baik dan sitematis. Dalam kehidupan sehari-hari hal inilah yang membuat Orang Batak itu pantang menyerah, uniknya simak umpasa berikut:

Ale Tuhan talu ma ahu maralohon dongan jala sai pamonang ma ahu maralohon musu!

Kalau kita cermati umpasa di atas, betapa Orang Batak itu sangat berbudi luhur. Tapi kalau kita lihat belakangan ini hal ini sudah hampir punah oleh penyakit yang dinamakan HOTEL: Hosom, Teal, Elat, dan Late, sudah pada stadium yang sangat mengkhawatirkan. Kalau kita runut ke belakang, berdebat dengan pantun atau berpantun dalam bahasa Batak terbagi dalam kategori: Umpasa, Umpama, Salik, Anian, Udoan, Umpama ni Pangandung, dan Umpama ni Ampangardang. Secara ringkas bisa diuraikan lagi sbb.:

UMPASA:

Umpasa adalah pantun yang berupa keinginan untuk mencapai sesuatu atau permohonan dalam bentuk Doa. Dan kalau dikaji, pantun itu ada sampirannya, yang dibuat sedemikian. Setiap baris atau kata mengandung makna mendalam dan saling terkait satu sama lain.

Contoh:

Bintang ma narumiris, ombun na sumorop Anak pe antong riris, boru pe antong torop

Pirma toras ni pongki, Bahul-bahul pansalongan Pirma tondi muna, Tutambana pangomoan

Habang pidong sibigo, paihut-ihut bulan, Saluhut angka na tapangido, sai tibu ma dipasaut Tuhan.

Dekke ni sale-sale, dengke ni Simamora, Tamba ni nagabe, sai tibu ma hamu mamora.

Mangula ma pangula, dipasae duhut-duhut Molo burju do hita marTuhan, dipadao mara marsundut-sundut

Binanga siporing, binongkak ni tarabunga Muli tu sanggar ma amporik, Muli tu ruang ma satua Sinur manapinahan, tugabena ma naniula

Dalam berpantun (umpama/umpasa – red) kata-kata yang digunakan harus sopan dan halus.

Contoh:

Binanga siporing, binongkak ni tarabunga Muli tu sanggar ma amporik, Muli tu ruang ma satua Sinur manapinahan, tugabena ma naniula

Dalam umpasa diatas kata tikus diganti menjadi satua (satua – hata andung dari tikus). Jadi dalam kita menyampaikan umpama maupun umpasa hindarilah kata-kata yang tidak pantas (hodar – red).

Contoh lain seperti: babi tidak cukup halus jika diganti dengan “pinahan lobu” tetapi “siparmiak-miak” atau “lomuk” yang arti sebenarnya “lemak”. Umpasa menghindari kata-kata yang tidak pantas, a.l. singke, sipasing, situma dan sidohar adalah nama-nama binatang yang sering dijumpai di sawah dan sering dimakan, namun tidak pantas disebutkan dalam umpasa. Sederhananya, dalam kita ber umpasa atau umpama, kita berkomunikasi dengan Tuhan, karena umpasa adalah doa restu yang disampaikan oleh manusia tetapi pengabulannya semata-mata tergantung Tuhan. Oleh karena itu perlu dilandasi bahasa dan sikap yang sangat sopan dan sakral. Berikut ini umpasa yang tidak pantas dikumandangkan yang disebut “na so marpaho”:

Eme sitamba tua ma, Parlimggoman ni siborok Debata do na martua, Horas ma hamu di parorot 

Tingko ma inggir-inggir, Bulung nai rata-rata Hata pasu-pasu i, Pasauthon ma namartua Debata

“Siborok” tidak pantas disebut karena merupakan sesuatu yang belum jadi atau metamorfosa. “Inggir-inggir” adalah semacam buah semak yang asam dan buahnya kecil-kecil yang mengandung makna tidak berharga. Oleh karena itu, kedua kata tersebut tidak relevan dengan permohonan doa restu yang lajimnya memohon sesuatu yang “jadi” dan “berarti”. Umpasa yang memakai kata-kata yang tidak pantas seperti di atas disebut “Umpasa Na So Marpaho”.

Contoh lain: “Danggur-danggur” (batu untuk dilempar) , “sibonsiri” (pemicu), “habang” (terbang), “mumpat” (tercabut), “mabaor” (hanyut), “marbonsir” (sebab) adalah contoh kata-kata yang tidak etis dalam umpasa. Misalnya: Antus nabegu soro ulu balang. Lali masiturbingan, Manuk masisoroan Mata masi urbitan, Roha masibotoan

UMPAMA

Umpama secara sederhana diartikan perumpamaan atau peribaratan.

Contoh:

Tektek do mula ni godang, serser do mula tortor Sungkun mula ni uhun, sise mula ni hata.

Manuk ni Pealangge, hotek-hotek laho marpira Sirang namaraleale, lobian namatean ina

Tampunak sibaganding, di dolok pangiringan Horas do hita sudena, asal marsipairing-iringan

Habang binsakbinsak, tu pandegean ni horbo Unang hamu manginsak,ai idope na huboto

Tujuannya umpama ini adalah penyampaian maksut hati atau tujuan supaya lebih enak didengar dan lebih mudah dipahami maksud yang akan disampaikan. Umpama bukanlah “Doa Restu” seperti umpasa.

SALIK

SALIK adalah pantun yang bertujuan untuk mengutuk seseorang atau sumpah serapah.

Contoh:

Ndang taruba babi so mangallang halto.

Holi-holi sanghalia, tading nanioli dibahen nahinabia

Jinama tus-tus tiniop pargolangan, tuk dohonon ni munsung dang tuk gamuon ni tangan

Balik toho songon durung ni Pangururan, sianpudi pe toho asal haroro ni uang

Sanggar rikrik angkup ni sanggar lahi, dongan marmihim jala donganna martahi-tahi.

Otik pe bau joring godang pe bau palia.

Pat ni lote tu pat ni satua, Mago ma pangose horas na niuba

Batu nametmet tu batu nabolon, Parsoburan ni sitapitapi Suda na metmet suda nabolon, Unang adong siullus api

Dos do sanggar dohot tolong, Dos do parmangmang dohot panolon

Bila adat dan hukum setempat tidak dapat menyelesaikan masalah, maka Raja Adat menghukumnya dengan pasa-pasa atau kata-kata kutukan. Jika pasa-pasa tidak juga mempan, maka yang lebih tinggi dari pasa-pasa adalah “Gana Sirais” dan “Gana Sigadap”. Di Jawa dikenal dengan “Sumpah Pocong” atau “Sumpah Mati”.

ANIAN

Anian artinya pantun yang ada “ekornya” atau bersayap. Kadang didasari filsafat, tapi sering juga hanya sekedar pantun enak di kuping saja.

Contoh:

Ganjang bulung ni bulu, Tingko bulung ni soit Denggan hata tu duru, Di bagasan marpanggoit

Di robean pinggol tubu, Dinahornop diparnidai

Tanduk ni ursa mardangka-dangka Tanduk ni belu margulu-gulu salohot Nangpe namarpungui sabungan ni roha Pamalo-malohon do angka na so dohot

UDOAN

Udoan adalah pantun untuk mengungkapkan penderitaan yang luar biasa.

Contoh:

Sinuruk simarombur, Di tingki ngali ni ari Taonon nama sudena i, Nunga ro soroni ari

Nunga tunduk baoadi, Songon lombu jailon i Songon anak ni manuk, Nasiok-siok i

Ndang be tarrarikkon, Bulusan ma nirogohon Ndang na tarandungkon, Bulusan ma hinasiphon

Bulan sada bulan dua, Ujung taon bulan hurung Gabe dongan do malua, Gabe iba do tarhurung

UMPAMA NI PANGANDUNG

Jaman dulu ada profesi ‘pangandung’ di Tanah Batak. Semisal kalau ada yang meninggal, pangandung akan dipanggil. Orang yang membawakan pantun tersebut akan mendapat upah, maka sang peratap diberi “Upa Pangandung”. Pantun jenis ini biasanya dilantunkan pada saat menangisi jenazah orang mati.

Contoh:

Nunga songon jarojak tarunjal, Songon tandiang na hapuloan

Binahen ni sitaonon, Na so ada tudosan

Nunga tunduk, Songon lombu jailon Songon anak ni manuk, Na so tumanda eatan

Jagaran hundul, Songon panghulhulan Jagaran jongjong, Songon pangunggasan

Sungkot so na ginjang ahu, Ponjot so nabolon i Aut binahen ni ginjanghu, Boi do paunduhonhi Aut binahen ni bolonhu, Boi do pajorbingonhi Ponjot ma pangarohaingki, Di si ulubalangari

UMPAMA NI AMPANGARDANG:

Pengertian ampa adalah kebijakan. Ardang sama dengan sanjak. Ampangardang berarti Pelantun Sanjak Bijak. Biasanya dilantunkan oleh para lelaki untuk merayu perempuan pujaan hatinya. Enak didengar. Konon Ampangardang yang piawai dapat membius kekasihnya dengan pantun sehingga terkulai ke pangkuannya.

Contoh:

Bulung hariara, Marpitor-pitor ho naarian Boru ni datulang, sian dia ho narian

Ndada sian dia, sian pansur paridian Paias-ias bohi mandapothon si pariban

Lua-lua sadari, Bahen hita muba-uba Riburpe onan pasar, Rumiburan hita nadua

Ansingsing ansising, Manang imbalo-imbalo Padenggan parhundulmu, Nunga ro manopot ho

Nunga limut-limuton, Pansur so pinaridian Nunga lungun-lungunan, Si boru so pinangkulingan

 

GABE Jala HORAS 

“Pir tondi madingin horas tondi matogu, horas ma pardalan-dalan, mangomo ma partiga-tiga!