Antitesis Karo Bukan Batak: 2. Apa Hebatnya dan Uniknya Karo?
Merga dan orang mana yang dulu jika datang ke Karo tidak merubah atau menyesuaikan dengan Merga Karo? Ini tentunya bukan hal sembarangan dan belum pernah terbaca atau mendengar legenda atau mitos yang menyatakan friksi ini ada dahulu sebelum Belanda Masuk, kurang tahu kalau friksi ini dirahasiakan.
Apakah ini adalah karena keterpaksaan? Atau karena kesadaran atau penyesuaian diri bagi para Perantau? Meski belum ada data valid tetapi saya cendurung melihat sebagai hal untuk kepentingan lebih besar untuk jangka panjang dari sebuah program nenek moyang.
Mengutip Sitor Situmorang (Toba Na Sae) bahwa Marga-marga Toba/Tapanuli semakin tidak terkontrol hingga munculnya ratusan marga sampai saat ini dan ini sangat kontradiftif dengan Simalungun yang memakai Merga Maropat (SISADAPUR = Sinaga, Saragih, Damanik, Purba), Merga Silima di Karo (Perangin-angin, Karo-Karo, Sembiring, Ginting, Tarigan), agak berbeda dengan system Silima Suak Pakpak (Klasen, Simsim, Boang, Pegagan, Keppas).
Ya… sepertinya ini diarahkan oleh pendahulu untuk lebih menyederhanakan dan lebih pada keteraturan, sejauh ini inilah yang masih saya simpulkan.
Maka kita bisa lihat bagaimana sederhannya pembagian sub suku di Pakpak dan Marga di Simalungun dan Karo. Berbanding terbalik dengan munculnya ratusan marga yang membuat semakin rumit koordinasinya di daerah Tapanuli yang membuat Belanda pun bingung untuk menata pemerintahan agar menghindari konflik horizontal antar masyarakat atau vertikal – masyarakat dengan Belanda.
Itulah awal tugas yang diberikan Belanda pada Demang/Camat WM Hutagalung untuk meneliti marga apa yang sebenarnya yang berhak di buat jadi Raja Bius (Kepala bebebarapa Kampung – Huta) untuk menghindari keributan atuapun konflik. Dan itulah sejarah lahirnya Tarombo Batak Toba dalam bentuk dokumen tertulis dari cerita-cerita lisan yang di kumpulkannya, meski masih ada kontroversi hingga hari ini.
Dari keserderhanaan Suak Pakpak, Morga Simalungun maka saya lihat Merga Silima inilah yang paling sederhana, teratur dan sampai hari ini lebih mudah untuk di koordinasikan.
Kemudian dalam hal penghormatan kepada Mertua yang benar-benar dijunjung tinggi oleh semua Puak Batak maka fakta nyata Karo-lah yang sebenarnya terdepan menjunjung tradisi ini sehingga sering kita melihat tulisan, plakat atau profil di jejaraing sosial seperti : Bre Nanginna (Artinya: Kalimbubu/Hula-hula/Tondong/kula-kula/Mora/Ibunya-nya adalah bermarga Peranging-angin, Bre Karona (Karo-Karo), Bre Tiganna (Tarigan), Bre Biringna (Sembiring) dan Bre Itingna (Ginting).
Dulu yang diluar dari kelima Bre diatas yang dikenal adalah Bre Bayangna (Perangin-angin Sebayang yang sempat ter-ekspose ingin menjadi Merga Keenam), lalu sering muncul Bre Ribuna (Karo-karo Kacaribu), agak baru yang saya dengar sudah muncul Bre Baktina (Karo-Karo Surbakti). Seyogianya hal inilah salah satu point penting yang harus di dibenahi agar Perkumpulan Merga Silima tetap sebagai yang paling sederhana dan lebih teratur kedepannya.
Dan dalam keseharian beberapa komentar sering muncul bahwa Masyarakat Karo sering meyatakan diri sebagai tidak mampu berdiplomasi (berdebat) tetapi suruhlah berperang di garis depan, maka musuh akan di buat stress. Kadang malah ada slogan pernyataan diri sebagai Prajurit Aru yang perkasa muncul untuk menambah semangat yang membara.
Dan adakah ini juga berhubungan dengan tari-tarian Karo yang kaya mulai unsur hiburan sampai hal sakral yang punya nilai artistik yang tinggi, ditambah perangkat gendang yang terkesan ukurannya kecil dibanding tempat lain dan lebih “mobile” tentunya di banding daerah lainnya? Yang seolah-oleh sebagai pernyataan bahwa Perangkat Gendang ini mudah dikemas dan dibawa kemana-mana dan setiap saat.
Dan masih perlu di kaji lagi lebih dalam apabila suara irama gendang ini jika di mainkan di pegunungan tanpa “sound systems modern”, apakah mudah di lacak lokasi keberadaan di mana dimainkan atau di desain oleh leluhur agar tak terlacak oleh orang yang tidak diiginkan? Ya.. hal ini memang masih perlu penelitian dan pembuktian lebih lanjut.
Sepertinya semua teori atau katakanlah pandangan pribadi saya dari semua diatas memunculkan Opini Karo ada di Garis Batas Perjuangan di Garis Depan Perjuangan.
Kalau ini benar maka peleburan marga-marga dari Simalungun, Pakpak terlebih Toba yang terkenal fanatismenya itu adalah untuk suatu penghormatan pada mereka yang di garis depan, penghormatan atas Para Kesatria yang menjaga Garis depan di Tanah Karo. Mengingat Alas dan Gayo sudah terikat sebagai dari daerah otonomi dari Kesultanan Aceh (Sitor Situmorang: Toba Na Sae).
Dan kenapakah karo punya sifat para sebagai para ksatria itu dan dari manakah sifat itu berasal, dan kenapa konon Karo tidak mempunyai Raja (Sibayak) saat Belanda belum hadir? Dan kalau pun ada kenapa namanya di beri Sibayak bukan Raja? (meski saat ini juga masih ada perbedaan pandangan).
Tidak ada bukti pasti ke-arah itu, tetapi mengingat cerita Benteng Putri Hijau bisa jadi sifat-sifat Ksatria ini didapat dari sifat-sifat pejuang yang berperang gigih melawan Aceh dulunya (mengutip catatan Pinto).
Dan entah kebetulan atau memang benar teritorial Karo ini adalah garis depan untuk memisahkan Tanah Batak dan Aceh yang selanjutnya diwujudkan sebagai Provinsi Sumatera Utara dan Aceh saat ini.
Lalu kenapa hanya di Karo bagaimana dengan di Selatan dimana berbatasan dengan Minangkabau. Nah inilah Fakta unik saat Batak perang Melawan Aceh, Fernand Mendez Pinto (1539) mencatat bahwa Minangkabau adalah sekutu Raja Batak . Dari Total 15 Ribu tentara yang di bawa Raja Batak bersama Pinto ke Aceh terdiri dari: 8 ribu orang Batak, dan selebihnya dari “Menancabes”, “Lusons”,” Andraquires”, “Jambes” dan “Bournees”, 40 Gajah, 12 Kereta dengan pasukan kecil dinamakan “Fauleions” – dalam tanda kutip adalah tulisan asli di buku catatan Fernand Mendez Pinto yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris.
Total pasukan 8000 orang Batak itu adalah paska setidaknya dua perang besar yang salah satunya dikatakan sebagai yang paling berdarah yang menewaskan 3 Putra Raja Batak yang di sebut di daerah “Jacur” dan “Lingua” (dalam tanda kutip adalah tulisan aslinya).
Kembali ke cerita pertahanan di Selatan tadi tadi, bisa jadi serangan Paderi ke Tanah Batak adalah sebuah kebobolan besar yang tidak ter-prediksi sebelumnya, mengingat fakta bahwa Minangkabau adalah sekutu lama Batak, mengingat juga bahwa kaum Paderi bukan mengincar Batak tapi mengincar Kaum Adat baik di Tanah Batak maupun di Tanah Minang. Kebobolan ini mirip kisah perang Salib dimana tentara Muslim fokus memperkuat benteng ke arah Eropa dan akhirnya lupa akan kemungkinan atau “menyepelekan” serangan tentara Mongolia dari Timur.
Dan kembali ke Karo, Masyarakat Karo adalah masyarakat Batak terasli mengutip pakar (maaf saya pernah baca tapi lupa link dan namanya), berdasarkan fakta masyarakat Karo adalah bagian akhir yang “ter kontaminasi” budaya luar terutama Agama Samawi.
Faktanya terlihat saat paska Gerakan 30S/PKI tahun 1965, dimana saat itu jika tidak beragama di KTP maka akan dianggap Komunis, Maka Karo dihadapkan pada pilihan Simalakama, pilihan hidup atau mati menghinggapi mereka menghadapi yang memegang kuasa dan bersenjata (keadaan yang berbeda jika sama-sama bersenjata tentunya). Ketakukan akan pembersihan bagi yang dianggap pengikut G30S/PKI dan ditambah bahwa Karo adalah sebagai basis masa Sukarnois yang sudah teruji.
Karo bagaikan benteng Budaya dan Benteng Pertahanan yang kokoh.
Dan dulu masih sempat saya dengar cerita bagaimana seorang Karo bunuh diri dengan menduduki Pisau Belati sendiri (dulu membawa belati kemana-mana adalah budaya), “hanya(?)” karena buang angin tak sengaja di depan umum.
Kesetian dan harga diri adalah sifat yang dijunjung tinggi oleh para Ksatria, dan adalah modal besar dari Karo.
Editor Leinjer S Tampbolon