Jika Rumah Bolon Bisa Bicara
Apa yang dijelaskan Wanson, sang penjaga Rumah Bolon, tentang sejarah keberadaan Kerajaan Purba di Simalungun setidaknya dapat memberi gambaran tentang sistem kekuasaan yang pernah dianut kerajaan di Simalungun, khususnya Kerajaan Purba.
Sebenarnya, sistem pemerintahan yang dianut etnis Simalungun—kerajaan atau monarki—meski demikian sudah mengarah pada demokrasi. Dengan demikian sistem itu bukan berarti sepenuhnya menganut sistem pemerintahan monarki absolut. Apa buktinya? Seandainya Rumah Bolon bisa berbicara tentang hal itu.
Tapi setidaknya inilah penuturan Wanson. Sejak masa pemerintahan Tuan Pangultop-ultop, kerajaan sudah menerapkan pola pengambilan keputusan dengan musyawarah hingga tercapailah mufakat. Caranya dengan mengumpulkan para penatua-penatua adat kampung dan tokoh masyarakat di sebuah tempat. Di sini jugalah undang-undang kerajaan disusun, yang sebelumnya juga telah disepakati oleh masyarakat dan raja sendiri.
Wanson lalu menunjuk bangunan tua yang diperkirakan telah berusia kira-kira 383 tahun itu, tepatnya di sebelah kiri Rumah Bolon. Di sini jugalah undang-undang kerajaan disusun, yang sebelumnya juga telah disepakati oleh masyarakat dan raja sendiri. Undang-undang itu, agar menjadi peraturan resmi kerajaan, digantungkan di Tiang Nanggar (tiang bangunan). “Ibarat dalam republik, maka inilah gedung parlemennya,” ujar Wanson.
Butuh sentuhan
Itulah Rumah Bolon dengan penuturan sejarahnya. Tapi, siapa sangka lokasi bersejarah yang sebenarnya sudah disahkan menjadi objek wisata pada 1961 oleh Bupati Simalungun terdahulu Radjamin Purba itu, kini membutuhkan sentuhan serius.
Kini, ia bahkan sepi dari pengunjung. Apa penyebabnya? Memang, geliat pariwisata yang kian merosot juga ikut menyeret Rumah Bolon sejak masa-masa terakhir ketika kondisi negara yang tidak terjamin keamanannya.
“Dulu, tahun 1990-an, ramainya pengunjung bisa mencapai 300 orang lebih. Tapi, kini dapat dihitung dengan jari dalam seminggu,” kata Wanson, yang waktu itu baru saja selesai memandu sekeluarga wisatawan Jerman. Hingga sore, ketika Jelajah Global menemaninya, tak ada lagi wisatawan yang menyibukkannya.
Akibatnya, Rumah Bolon kini sangat minim perawatan. Di sekitar lahan seluas 1 hektar lebih itu terlihat rerumputan tumbuh memanjang. Wanson mengakui, jika dulu ketika pengunjung ramai, lokasi itu selalu ditata dengan baik lantaran pemasukan masih mencukupi untuk itu. Waktu itu ada 5 karyawan yang selalu siap bekerja. Sedang, kini untuk melakukan penghematan biaya, jumlah karyawan terpaksa harus dikurangi.
Dan, meskipun ada biaya perawatan dari pemerintah melalui Dinas Pariwisata yang lalu diserahkan kepada Yayasan Museum Simalungun, masih dirasakan jauh dari cukup. “Memang ada, tapi hanya Rp 8 juta dalam setahun. Sangat tidak mencukupi,” kata Wanson. Biaya itu sudah termasuk untuk menggaji karyawan dan biaya pemotongan rumput, mesin generator listrik dan keperluan lainnya. “Sangat pas-pasan,” tambahnya.
Sebenarnya, Rumah Bolon bisa kembali bangkit, asal kembali lagi ditata dengan baik, khususnya penataan taman dan publikasi ke dunia luar. Memang pada tahun 1985 pernah sekali direnovasi, tetapi kini sebagian bangunan sudah ada yang keropos dan perlu diganti.
“Saya berharap agar pemerintah lebih peduli. Soalnya ini kan peninggalan budaya yang nilai sejarahnya cukup mewakili peradaban Simalungun dulu. Jika tidak dirawat, ditakutkan generasi mendatang tidak lagi mengenal siapa dirinya,” kata Wanson.